Tersesat di jalan yang benar
Tersesat di jalan yang benar.
Saya lahir di keluarga Kristen separuh. Mami saya orang percaya, pergi ke gereja, berbahasa roh dan berbuat baik ke orang lain itu adalah sifat alamiah dia. Nenek saya juga sama. Kakek saya tidak berbahasa roh tapi lainnya sama. Jadi dari sisi Mami saya keturunan Kristen banget. Papi saya bisa dibilang tidak peduli Tuhan. Papi saya pergi ke gereja, ikut sidhi dan dibaptis karena cinta sekali dengan Mami saya. Boleh dibilang cinta setengah mati. Nenek dan kakek Papi saya adalah penganut agama Tionghoa. Mereka sembahyang didepan meja abu dan mengikuti tradisi leluhur. Kenapa Papi saya bilang tidak peduli Tuhan? Karena Papi menunjukkan bahwa dia percaya cuma supaya bisa kawin sama Mami. Sesudah kawin beberapa tahun Papi tidak pernah lagi ke gereja. Papi cuma mencari duit dan bersenang-senang saja. Iman percaya Mami tetap mempengaruhi Papi. Papi pernah pergi ke dukun. Sesudah dimarahi sama Mami dia berhenti. Papi tidak pernah menyeleweng dengan wanita lain. Papi cuma sekali-kali mabuk. Papi kalau main judi juga cuma pasang taruhan kecil buat iseng. Papi tidak pernah kembali ke agama Tionghoa dan dia juga tidak pernah mengajarkan hal rohani apapun ke saya. Hal-hal rohani saya pelajari dari ibu saya. Ibu saya awalnya adalah penganut ajaran Reformed dan pergi ke Gereja Kristus Bogor sejak kecil. Tapi nenek masuk ke gerakan awal Pentakosta di Indonesia. Akhirnya Mami juga masuk ke aliran Pentakosta awal.