Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jika Yesus Calon Presiden Republik Indonesia

Bayu Probo's picture

Saat ini politikus Indonesia sedang
ribut-ribut membuat berbagai gerakan politik. Ada yang melakukan
pembusukan karakter musuh politiknya, ada juga yang sibuk “merangkul”
orang-orang miskin dan berusaha mencari muka, serta berbagai tingkah
menggelikan sekaligus memprihatinkan lainnya. Itu semua digunakan
sebagai senjata untuk memenangkan pemilu tahun 2009. Di antara
berbagai cara untuk meraih massa dan dukungan, ada satu cara yang
disebut sebagai kampanye orasi di hadapan massa yang dikumpulkan di
suatu tempat tertentu.

Lalu bagaimana seandainya—hanya
seandainya—Yesus mencalonkan diri menjadi presiden republik ini?
Apakah yang Dia kampanyekan? Harga BBM tidak akan naik lagi, bahkan
turun? Pendidikan gratis bagi semua anak usia sekolah? Pelayanan
kesehatan gratis? Bebasnya penderitaan di dunia ini dan anugerah
kemakmuran melimpah ruah bagi orang-orang yang memilih-Nya? Apakah
seperti yang sering kita dengar dari para selebritis politik ucapkan;
tetapi setelah kekuasaan mereka dapatkan janji-janji itu mereka
lupakan? Dalam benak saya, seandainya Dia mengampanyekan rasa aman
dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia, pasti akan ditepati.
Dan, rakyat Indonesia pasti makmur sejahtera seperti yang mereka
angan-angankan. Namun benarkah demikian?

Kampanye yang Mengejutkan

Ada dua kesempatan bagi Yesus untuk
melakukan kampanye besar-besaran. Dan, yang mengejutkan dua-duanya
tidak seperti yang kita inginkan. Jelas tawaran Yesus ini bukan
tawaran menuju kenyamanan seperti yang sering digembar-gemborkan para
politikus dan pemimpin negara kita.

Hampir bisa dipastikan Yesus tidak akan
terpilih sebagai presiden Republik Indonesia dengan cara-Nya ini. Dan
kenyataannya memang demikian, Dia bukanlah Sang Ratu Adil yang
digambarkan Raja Jayabaya dari Kediri yang akan membawa bangsa ini ke
kegemilangan dan kemakmuran.

Bahkan para pengikut-Nya sekarang,
orang-orang Kristen—termasuk saya, berusaha menghindari
perkataan-Nya ini karena konsekuensi yang harus ditanggung mereka
eh... kami. Mari kita perhatikan di zaman Yesus.

“Kesempatan” pertama Yesus
“berkampanye” saat dalam puncak kepopuleran, setelah berbagai
mukjizat penyembuhan, yang menyebabkan banyak orang
berbondong-bondong mengikuti-Nya ke mana pun Dia pergi. Akhirnya Dia
mengambil waktu untuk menyampaikan pernyataan misi-Nya di dunia ini
dan menawarkan sesuatu kepada kerumunan orang yang ada di
sekeliling-Nya itu. Seperti yang digambarkan oleh Lukas, orang-orang
itu datang untuk mendengarkan Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit
mereka; juga mereka yang dirasuk roh-roh jahat berharap menerima
kesembuhan. Dan mereka semua berusaha menjamah Dia (Lukas 6:18,19) .
Pada saat itulah Yesus mengucapkan pernyataan-Nya.

“Hai rakyat miskin, sengsara, dan
tertindas, kalian semua beruntung. Sebab dalam kesengsaraanmu hanya
Allah yang paling tepat untukmu bergantung. Jika kalian berseru
pada-Nya, kamulah yang bakal menikmati Kerajaan Surga,” kalimat
pembuka yang menyentak yang diucapkan Yesus ini pasti akan membuat
orang-orang yang mendengar tersedak dan tercekat karena tersinggung.

Bagaimana mungkin seseorang yang
seharusnya membela rakyat dan mengusahakan kesejahteraan bagi mereka
malahan berkata begitu? Pribadi yang seharusnya membebaskan mereka
dari penjajahan kesengsaraan dan ketertindasan malahan mengejek
mereka dengan mengatakan mereka beruntung. Memangnya Dia siapa?

Jika saya hadir di tengah kerumunan,
saya pasti bagian dari sekumpulan orang-orang sengsara itu. Orang
tidak sengsara hampir bisa dipastikan tidak mau mengikuti gerombolan
aneh ini. Mereka sudah cukup dengan diri mereka sendiri.

Jika saya hadir di tengah kerumunan,
saya mengharapkan banyak pada Yesus. Mungkin saya diserang penyakit
yang tak kunjung sembuh, mungkin saya orang miskin berharap mendapat
sedikit kelegaan dari Yesus. Atau, saya tertarik dengan
ajaran-ajaran-Nya.

Tersentak? Pasti saya tersentak. Bukan
pernyataan pembelaan kepada si sengsara, tetapi Dia malah mengucapkan
kalimat-kalimat klise yang sudah sering diucapkan para nabi ribuan
tahun sebelumnya. Semua orang sudah tahu kalau orang-orang tertindas
jika berseru pada Allah akan mendapat pembelaan. Namun kami, orang
Yahudi, sudah beratus tahun memohon pada Allah supaya dibebaskan dari
penjajahan Romawi, tetapi jawaban-Nya adalah para pemimpin politik
dan agama yang saling intrik dan mencari keuntungan diri sendiri.
Saya bertekad menoleransi ucapan-Nya tadi, siapa tahu Dia berubah.
Saya anggap Dia 'keselo lidah'.

Manifesto yang Mengguncangkan

“Kesempatan kedua” Yesus
mengungkapkan misinya di hadapan orang banyak saat kerumunan
orang-orang yang mengikuti-Nya mendapat keajaiban besar. Lima ribu
laki-laki (atau setidaknya ada 1.500 orang) dikenyangkan hanya dengan
lima roti dan dua ikan. Peristiwa itu memicu eforia. Orang banyak
yang sepertinya melihat harapan berujar, “Sungguh, inilah Nabi yang
diharapkan datang ke dunia!” (Yohanes 6:14-BIS). Kalau dalam bahasa
orang Indonesia, “Ratu adil yang akan membawa bangsa ini menuju
kemakmuran sejati.”

Kerumunan orang yang dikenyangkan
dengan mukjizat itu bergerak memaksa Yesus menjadi raja memimpin
mereka. “Jika mereka bisa dikenyangkan, mukjizat apa lagi yang
bakal mereka nikmati bersama raja yang satu ini,” pikir mereka.
Israel jaya raya seakan tampak di pelupuk mata mereka.

Namun Yesus menyingkir (Yohanes 6:15).
Sebenarnya dengan segala kemampuan yang Dia miliki, bukan hal susah
untuk mewujudkan impian rakyat kecil itu. Namun mengapa Dia
menyingkir? Kita tidak tahu jawabannya, Matthew Henry hanya
mengatakan bahwa itu adalah bentuk dari kerendahhatian-Nya dan
perlawanan terhadap pencobaan yang akan menggeser panggilan-Nya di
dunia. Philip Yancey menyebut itu sebagai pencobaan Iblis dalam
bentuk lain. Penafsir yang lainnya mengatakan Yesus mendoakan
orang-orang itu supaya mengerti kemuliaan Allah.

Kerumunan orang itu tidak berputus asa
dan terus mencari-Nya. Dan saat itulah Yesus mengucapkan
manifestonya. Seperti seorang politikus menawarkan pernyataan politik
terbuka kepada khalayak, Yesus menyerukan, “Akulah roti hidup;
barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, barangsiapa
percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” Sebuah pernyataan yang
menuntut kesetiaan total, tidak hanya demi kemakmuran dan
kesejahteraan yang menjadi mimpi rakyat. Ucapan Yesus itu menuntut
pendengarnya melompat dari perjuangan politik menuju kemerdekaan
jasmani yang mereka impikan, ke arah perjuangan batin yang menuntut
kepercayaan mutlak kepada Yesus. Perjuangan batin tersebut berarti
mereka harus yakin bahwa mereka akan melewati lembah kesengsaraan
dengan keyakinan bahwa di akhir zaman akan beroleh kemuliaan. Hanya
sayang, mereka gagal melihat penyeru manifesto yang mengguncangkan
itu berasal dari Allah. Jika hadir di situ, saya pun pasti gagal
melihat juga.

Yesus, yang seluruh keseharian-Nya
sudah saya ketahui, anak Yusuf tukang kayu, orang Galilea yang tidak
sopan, latar belakang-Nya begitu meragukan, telah menuntut terlalu
banyak. Dia belum membuktikan apa pun, tetapi bergerak terlalu cepat
menginginkan kesetiaan mati seakan semuanya sudah berlangsung. “Hei,
ini belum akhir zaman Bung!” batin saya berontak. Seperti yang
lain, akhirnya saya pun undur (Yohanes 6:66). Kandidat lain pun
menang tanpa perlawanan berarti.

Yesus yang Memilih

Dua pernyataan-Nya itu membuat saya
berpikir ulang. Apa arti memilih Yesus dan memutuskan mengikut-Nya?
Dengan segala tawaran yang seakan tidak masuk akal dan tidak menjawab
kebutuhan riil, keuntungan apa yang bisa saya dapat dengan
memilih-Nya? Apakah benar yang diucapkan-Nya? Lompatan kepercayaan
yang dituntut-Nya sangat jauh. Menuntut keyakinan tinggi bahwa semua
yang Dia ucapkan benar terjadi.

Sayangnya, bukan kita yang memilih
Yesus sebagai pemimpin. Yesuslah yang memilih. Jika kita sekarang
mempunyai Yesus sebagai juruselamat, sebenarnya Dialah yang memilih
kita. Dan seperti yang diungkapkan Paulus dalam Filipi, kita dipilih
Yesus bukan hanya untuk percaya kepada-Nya, melainkan juga untuk
menderita bersama-Nya (Filipi 1:29).

Jika sekarang ini kita masih
mengikuti-Nya, itu adalah anugerah. Keyakinan kita untuk terus
percaya pada Yesus adalah karya Allah sendiri (Filipi 2:13) yang
membuat kita mampu percaya bahwa seluruh ucapan Yesus adalah
kebenaran. Dan, jika saya hidup di Indonesia di tahun 2009 dengan
segala pencobaan untuk mengingkari iman, tetapi sejauh ini mendapat
anugerah untuk terus percaya pada Yesus, itu adalah berkah luar
biasa. Bagaimana dengan Anda?