Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Hutaaaang lagi
Wajahnya memelas banget. Ayahnya mendadak masuk rumah sakit, ampir kena setruk. Sekarang ia butuh uang untuk menebus resep, yang diletakkannya di meja kerjaku. “Separoh resep ini harganya 200 ribu rupiah. Aku tahu aku masih punya utang sama kamu. Tapi ke mana lagi aku cari pinjaman? Kamu satu-satunya sahabatku. I’in, mati idup bokap gue tergantung kebaikan ati lu.”
Kepingin sekali aku memaki-makinya. Sayang orang Kristen ga boleh mengumpat. Dua bulan yang lalu dia pinjam 150 ribu buat beli baju karena mau kondangan ama pacarnya. Air matanya ampe keluar saat itu. Dia malu kalo pergi kondangan ga pake baju baru. Janji bayar akhir bulan. Seminggu lewat tanggal gajian, belon juga dia ke meja gue. Waktu ditagih, jawabnya entar-entar melulu. Gajian berikutnya malah dia pergi mandi lulur. Sekarang mau pinjam lagi. Pake ngancam lagi. “Mati-idup bokap gue di tangan lu.” Jadi kalo bokapnya tewas karena ga diminumi obat, itu salah gue? Gimane nyantolnye? Aku sih masih punya uang di tabungan untuk jaga-jaga keadaan darurat. Kalau aku pinjamkan dia, kapan baliknya? Ga dipinjamin kok rasanya berdosa banget.
Situasi yang bikin gue o’on itu pasti juga dialami banyak orang. Waktu kamu belon dapet kerja, tetangga ga ada yang nyapa kamu. Giliran kamu udah kerja, tiap pagi pergi pake baju seragam perusahaan beken, mereka berebut nyapa kamu. Ada juga yang ngirim kue ke rumah padahal ga ade yang ulang taon. Begitu akhir bulan lewat, mereka dolan ke rumah cerita sepatu anaknya bodol, tagihan listrik belon kebayar, bapaknya anak-anak kena pehaka, yang ujung-ujungnya “pinjami uang dong.” Satu orang dipinjami, yang lain belerot di belakangnya. Ga dikasi, jangan kaget kalo sikap mereka berubah drastis. Pujian mereka berubah jadi cacian, “Percuma aja pergi ke gereja tiap Minggu kalo kejem ame tetangge,” bahkan fitnah, “Pantes aje makin kinclong, abis tiap ari pulang malam dilembur ame bos mudenye.” Sebagai orang Kristen kita memang berkewajiban menolong orang susah. Aku juga tidak berkeberatan meminjamkan uangku. Tapi apa enggak kapok kalo waktu ditagih malah ngajak duel?
Jangan menenggelamkan sekoci penolong.
Matius 5:42 mengatakan “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” Apakah dengan ayat ini setiap orang bisa menodong kita? Entar dulu dong.
Ketika kita meminjamkan uang kepada seseorang, yang pertama-tama harus diingat adalah uang itu belum tentu kembali. Sebab apabila ia betul-betul tidak mampu mengembalikannya, apakah kita boleh mengambil kompornya, gelas-piringnya, meja-kursinya, daun pintu rumahnya? Ulangan 24 :10 bilang ga boleh, “Apabila engkau meminjamkan sesuatu kepada sesamamu, janganlah engkau masuk ke rumahnya untuk mengambil gadai dari padanya.” So, ketika mulut kita bilang : “Nih, aku pinjamkan uang ini kepadamu” diam-diam hati dan pikiran kita harus omong “Nih, aku berikan uang ini kepadamu.” Dengan prinsip dasar ini, janganlah meminjamkan uang tanpa menghitung terlebih dahulu kekuatan keuangan kita. Jangan sampai setelah kita menolong orang, kita sendiri kelabakan cari hutang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri. Kalo kamu cuma kuat ngangkat 2 orang, jangan ngegendong 5 orang. Pasti kamu rubuh dan jadi tahu penyet kejatuhan mereka.
Agar sekoci penolong tidak tenggelam, maka aku mempergunakan rumus matematika ini untuk menyediakan D3 - dana darurat diakonia. Setelah disisihkan 10% untuk persembahan bulanan, maka gajiku tinggal 90%. Sepertiganya, yaitu 30%, aku tabung. Angka sepertiga ini aku contoh dari ketentuan KPR - kredit pemilikan rumah, yang mengharuskan angsuran bulanan tidak melebihi sepertiga gaji pemohon kredit. Mereka yakin dengan 2/3 gaji seseorang masih bisa hidup layak. Dari tabungan ini aku sisihkan sepersepuluhnya untuk D3, atau 3% dari seluruh gajiku. Jadi kalau gajiku 500 ribu rupiah, maka setiap bulan aku menyisihkan 15 ribu, dan dalam setahun akan menumpuk menjadi 180 ribu rupiah. Ini berarti aku hanya punya kesanggupan meminjamkan (=memberikan) uang sebanyak 180 ribu rupiah kepada mereka yang berkesusahan. Lebih, ga bisa, kecuali nanti pada akhir tahun kedua dan semua yang berhutang kepadaku ingat untuk mengembalikannya.
Teliti sebelum memberi pinjaman.
Penelitian ini tentu tidak harus seperti yang dilakukan oleh bank. Kita tidak perlu meneliti apakah rumahnya milik sendiri atau kontrakan, lantai rumahnya keramik atau semen, pinjam uang itu sudah hobinya atau enggak, dia bisa dipercaya mengembalikan pinjaman itu atau tidak.
Karena our hidden agenda is to give, maka yang harus diteliti adalah untuk apa uang itu. Lebih baik kita mengutamakan kebutuhan yang sangat gawat dan tidak bisa ditunda. Misalnya biaya pengobatan, biaya pendaftaran anak ke sekolah baru, biaya makan dalam kasus kepala rumah tangga baru kena pehaka.
Kemudian, perdalam penelitian ini dengan bagaimana ia akan membelanjakan pinjaman itu. Aku sering jengkel bertemu orang susah yang pake aji mumpung. Tahu ga punya uang, anaknya didaftarkan di sekolah favorit. Lalu bayarnya uang sekolah setiap bulan bagaimana? “Ah, itu urusan nanti. Asal aku hidup suci, Tuhan pasti buka jalan,” jawabnya enteng mengutip lagu Sekolah Minggu. Taruhan deh, iman lu nggak segede dia punya.
Tahu ga punya uang, anaknya kena flu dibawa ke dokter spesialis. “Abis, anak saya udah jodoh ame dokter itu. Udah pernah saya coba ke dokter laen, ga sembuh.” Kepingin sekali aku langsung menumpangkan tangan ke atas kepalanya. Bukan untuk memberi berkat, tapi untuk menjitaknya.
Kalau aku tak berhasil merubah pola berpikirnya yang mewah ini, ya maaf saja, aku tidak meminjaminya uang. Percaya deh, ga sejahtera berurusan dengan orang yang sedang “menjual kemiskinan”nya. Miskin, tapi bergaya.
Jangan memungut bunga.
Sekecil apa pun bunga itu, jangan diberlakukan. Dia pinjam bukan untuk bisnis. Lagipula masyarakat akan menganggap kita rentenir. Memang kelihatan aman dari tuduhan lintah darat, bila kita mengenakan dia bunga sekecil bunga deposito di bank, misalnya 6% setahun, atau kita bulatkan 1% sebulan, yang berarti setiap pinjaman 100 ribu akan kena bunga 1000 rupiah sebulan. Resiko yang akan muncul adalah dia tidak merasa wajib mengembalikan pinjaman itu selama ia sanggup membayar bunganya. Bukankah ini juga prinsip perbankan?
Resiko yang paling mengerikan, diam-diam ia meminjamkan uang itu kepada orang lain sambil wanti-wanti, “Ini uangnya aku ambil dari mbak I’in. Aku kena bunga 10% sebulan. Karena kamu sahabatku, uang jasaku 5% saja. Jadi, jangan lupa, kamu bayar bunga kepadaku 15% ya.” Biar orang kampung, perkara jualan duit pintarnya ga kalah sama pialang di Bursa Efek Jakarta. Dia makan dagingnya, gue nelen tulangnya.
Buat surat bukti pinjaman.
Sadis? Ah, enggak, hanya untuk catatan saja di secarik kertas, tanpa meterai, dan dia menerakan tanda tangannya di situ. Apa gunanya?
Untuk senjata penangkal bila ia mau pinjam uang lagi sementara pinjaman sebelumnya belum dilunasi. “Uang saya ‘kan masih di tangan mbak, bagaimana saya bisa meminjami uang lagi.” Lucunya, ada yang masih ngotot, “Saya mau pinjam 125 ribu. Yang 50 ribu buat ngelunasi pinjaman yang dulu, yang 75 ribu buat bayar tunggakan listrik.” He he, maunya.
Tetapi bagaimana bila ia betul-betul membutuhkannya? Kembalilah kepada 2 prinsip utama, kita memberi, tanpa menenggelamkan sekoci penolong. So, kalau masih ada sisa dana, mengapa tidak kita tolong dia?
Jangan membedakan orang.
Galatia 6:10 “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” sering dipergunakan untuk menolak memberi pinjaman, “Dia tidak seiman dengan kita, mengapa aku harus susah-susah membantu.” Atau untuk pengijilan-paksa lewat bantuan, “Saya pinjami uang kalau sampeyan mau ikut saya ke gereja. Kalau sampeyan sekarang sudah ke gereja, ya pindah dulu ke gereja saya.”
Padahal firTu itu bilang “kepada semua orang, dan dahulukan mereka yang seiman.” E, giliran yang datang orang segerejanya, orang itu disuruh pergi ke rumah pendeta atau majelis gerejanya. Makanya sekarang susah cari orang yang mau jadi majelis. Sudah capek, nombok lagi.
Di pihak peminjam, ada yang menggunakan ayat ini untuk memeras. “Kalau aku tidak dibantu, aku keluar dari gereja yang tidak mematuhi Firman Tuhan ini.” Kalau dia sudah terlanjur jadi aktivis gereja, bingunglah majelis gereja. Mau ditolong dana ga ada. Tidak ditolong orang ini “asset” gereja. So, kalo kamu mo pinjam atau minta uang gereja, tempati dulu posisi kunci dalam kegiatan pelayanan. Misalnya jadi satu-satunya pelatih paduan suara. Pasti gereja akan memenuhi apa pun permintaan kamu karena takut paduan suara bubar jika kamu pindah ke gereja lain. Boleh dicoba kok! Kalo berhasil jangan lupa transfer 10% ke rekening gue ya, itung-itung advice fee.
Jangan malu menagih bila sudah jatuh tempo,
agar ia tahu uang kita ga berlebihan. Tagihlah dengan sopan. Ingatlah bahwa pengembalian uang itu semata-mata untuk memulihkan dana darurat diakonia kita agar kita bisa menolong orang lain yang memerlukannya.
Setelah dua kali menagih dan ia belum bisa membayar, tawarkan untuk mencicilnya.
Tetapi bila cara mengangsur juga tidak berhasil, jangan menagih lagi. Tapi juga jangan sewot “Daripada gue kesel, makan deh tu duit! Gue iklas kok.” Surprise lho, setelah hampir setaon ada yang menemui kita membayar sisa hutangnya yang udah kita lupain. Percaya deh, masih banyak orang miskin yang atinya bersih.
Jangan menjadi perantara.
Amsal 22 :26 berkata “Jangan engkau termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang menjadi penanggung hutang.” Maksud hati menolong orang, buntut-buntutnya kamu repot ditagih orang yang punya uang sementara orang yang kamu tolong belum bisa melunasinya.
Jika kamu sudah kehabisan dana darurat diakonia, sementara “pemohon kredit” sudah “kehabisan nafas,” diam-diam tanpa sepengetahuan pemohon kredit, kontaklah teman baikmu yang kondisi keuangannya kamu pandang bagus. Jual ide pokok kita, memberi tanpa menenggelamkan sekoci penolong, dan mintalah (repeat: minta, bukan meminjam) uang darinya. Kalau kelak uang itu bisa kembali, bawalah uang itu kepada sobat ini dan tanyalah dia “Ini duit mau kamu terima kembali, apa tetap digabung dalam dana darurat diakonia-ku?”
Bukankah memiliki “D3” jauh lebih baik daripada setiap ada orang susah datang ke rumah kita, kita membawa masalahnya ke gereja (“kan gue udeh bayar persepuluhan”) yang akhirnya membuat repot para majelis? Mereka harus rapat dulu berminggu-minggu dan begitu mereka oke, e e orang susah itu sudah terkapar tak tertolong lagi. Jika Tuhan Yesus menghadirkan diri-Nya di depan pintu rumah kita, memberi kesempatan kita mempraktekkan kasih agape, kasih tanpa pamrih, mengapa tidak kita urus sendiri? Sayang bila Tuhan Yesus berlalu tanpa masuk ke rumah kita, duduk dan makan bersama kita. *****
- Inge Triastuti's blog
- 6135 reads
satu lagi dari Inge
Sepotong tempe
Sepotong tempe di atas meja makan yang dipenuhi aneka macam steak mungkin saja menjadi menarik karena menyalahi kaidah yang berlaku. Tetapi ijinkanlah ia ada di meja makan ini agar dapat dinikmati sekedar selingan makanan berat.
Sebuah Perhitungan Yang Menarik Mbak Inge
Nanti saja
Duh, hati rasanya berbunga mendengar ada yang berencana menyiapkan D3. Bagian saya nanti saja, karena perasaan sih yang bakalan mendaftar jadi nasabah Anda akan banyak.
Salut... dua jempol...
BIG GBU!
Di pintu ada ketuk yang sendu
Aku tidur, tetapi hatiku bangun, agar aku mendengar Kekasihku mengetuk pintu. (adaptasi Kidung Agung 5:2)
waduj jadi tersindir nih
Indahnya kidungmu
Dear Clara,
lama aku dalam senyap
menyusuri jalan setapak
mengikuti langkah-langkah kecilmu
meresapi merdu dendang kisahmu
hingga
lenyap penat penghalang langkah
sirna curiga pengabur arah
tersibak ilalang penutup tunas- tunas asa
dan dari atas suara gaib bergaung:
“mengapa tidak bersenandung,
kala menikmati indahnya ia berkidung?”
Mbak Inge: Tuhan tidak pintar matematika
Mbak Inge,
saya setuju sekali...
tak perlu takut hari esok apalagi soal materi, kan semuanya sudah disediakan di hadapan kita....
Nggak perlu kita memikirkan apa yang bukan bagian kita.
Ngomong-ngomong, saya pernah menulis sebuah blog di sabda yang judulnya Tuhan tidak pintar matematika.Yang bisa dibuka di www.sabdaspace.org/tuhan_tidak_pintar_matematika
GBU
Dear Clara, that is one of your beautiful songs
yang sudah lama saya baca. Ada satu lagi, yang sampai saya ingat setiap ada kendala dalam hidup saya, cerita tentang jalan ke puncak tak selalu mendaki. Kalau kita suka mendaki gunung, kita juga akan tahu jalan mendaki harus selalu berbatu-batu agar kita dapat sampai ke puncaknya. Bila kita selalu mencari jalan halus, itu pun ada, tetapi tidak akan merubah ketinggian posisi kita.
Thx, dan tetaplah menulis renungan-renungan pendek. Saya menikmatinya lo.
Salam.