Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Buaian Bunaken
Dermaga Bunaken (foto: Purnawan Kristanto)
"Hah...Snorkling? Nggak ah, saya nggak bisa berenang." Itu adalah ucapan spontan saya saat diajak untuk snorkling di Bunaken.
"Pergi ke Manado itu belum sah kalau belum ke Bunaken," bujuk pendeta Djenny Oppa Ratuliu yang menjadi tuan rumah selama kami mengunjungi Manado. "Kalau sudah di Bunaken, maka tidak afdol kalau tidaksnorkling," lanjutnya,
"Nggak afdol ya nggak apa-apa deh daripada tenggelam," sahut saya.
"Bapak tidak usah khawatir. Aman kok, Nanti memakai pelampung dan dipandu oleh instruktur," rayu pak Ezri, suami pdt. Djenny.
Benar juga sih. Sudah jauh-jauh ke Manado, masa' melewatkan kesempatan emas ini. Bagi saya, kepergian ke Manado ini adalah mimpi yang menjadi nyata. Sudah lama saya memimpikan untuk bisa mengunjungi ujung pulau Sulawesi ini. Tahun lalu, ketika punya kesempatan sekolah perdamaian di Davao, Filipina, sempat tebersit ide untuk sekalian mampir ke Manado. Jarak antara Manado dengan Davao cukup dekat. Namun saya tidak punya nyali untuk mewujudkan ide itu mengingat perjalanan ke Filipina adalah pengalaman pertama saya pergi ke luar negeri. Kebetulan ada teman yang seperjalanan yang sudah pernah pergi ke Filipina. Jadi saya putuskan untuk ikut rute teman saya dulu.
Sarapan bubur Manado
Setahun kemudian, kesempatan itu datang. Saya diundang oleh Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) untuk memberikan pelatihan menulis. Usai pelatihan, pdt. Djenny mengajak kami berwisata seputar Manado. Senin pagi (27 Mei), perahu katamaran yang kami sewa sudah bersandar di pantai Sindulang. Sebelum berangkat kami sarapan bubur Manado atau oleh warga setempat disebut tinutuan. Bubur ini merupakan campuran antara beras, ubi, jagung, mi, dan sayur-sayuran. Itu sebabnya disebut tinutuan karena dalam bahasa Manado artinya "campur-campur."
Pukul 8 pagi, kapal yang dikemudikan jemaat GMIM mengangkat sauh. Kami diberkahi dengan cuaca yang sangat bagus. Langit cerah. Laut sangat tenang. Bahkan nyaris tanpa ombak. Dari Manado, kapal berlayar menuju gugusan Bunaken. Di tempat ini ada 3 daratan yang ebrdekatan yaitu Bunaken, gunung Manado Tua dan taman nasional Bunaken. Kami mengarah ke dermaga Bunaken yang ditempuh selama 45 menit. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan kapal-kapal pengangkut wisatawan.
Tampak di kejauhan gunung Manado Tua. Bunaken ada di sebelah kanannya
Perahu pengangkut wisatawan
Menyaksikan terumbu karang di kapal
Beberapa ratus meter menjelang dermaga, kapal mulai melambat. Awak kapal menurunkan kotak kaca di bagian dasar kapal. Kapal yang kami tumpangi berjenis katamaran, yaitu dia biduk yang dirangkai samping-menyamping, sehingga ada ruang kosong di bagian tengah. Pada bagian dasar kapal dibuat doa lubang segiempat dengan penutup dari kaca. Melalui kotak kaca ini kami bisa mulai menikmati keindahan terumbu karang di Bunaken. Kami menyaksikan berbagai macam hewan laut yang berwarni-warni dan beraneka bentuk. Saya hampir menangis menyaksikan keindahan ini.
"Tuhan itu begitu baik, sehingga mendengarkan doa saya yang sebenarnya tidak saleh-saleh amat ini," kata saya dalam hati.
"Eh lihat ada kura-kura!" teriak salah satu penumpang.
Kami bergegas bergerak ke arah samping kapal. Dan benar, seekor kura-kura terlihat sedang berenang dengan anggunnya. Karena cuaca cerah, sinar matahari bisa menusuk langsung ke dalam air menciptakan tali-tali cahaya yang indah. Dari atas kapal kami menyaksikan batas antara karang dengan tubir laut. Terumbu karang di Bunaken ini cukup dangkal, namun ketika sampai di batasnya, tiba-tiba ada jurang yang sangat dalam. Saya langsung teringat sebuah syair lagu yang menggambarkan kasih sayang Tuhan. Saat Tuhan mengampuni dosa umat-Nya, dia melemparkan dosa manusia jauh ke dalam tubir laut. Itu artinya kalau Tuhan mengampuni manusia, maka Dia tidak akan mengungkit-ungkit lagi karena sudah dibuang ke dalam jurang yang sangat dalam.
Batas antara terumbu karang dan tubir laut
Dermaga
Narsis dulu
Naik ke atas kapal
Begitu merapat di dermaga, kami bergegas menuju persewaan peralatan snorkling. Kami memilih dan mengenakan swimsuit. Setelah itu menenteng sepatu katak dan masker selam. Setelah berfoto sejenak di depan pintu masuk, kami naik kapal lagi untuk diantarkan menuju tempat menyelam yang jaraknya hanya sekitar 400 meter dari dermaga.
Di atas kapal kami mengenakan rompi pelampung. Setelah itu, instruktur memberikan petunjuk cara mengenakan masker dan bernapas menggunakan alat snorkling. Masker harus dikenakan dengan rapat menutupi wajah. Rambut tidak boleh masuk ke dalam masker karena bisa menyebabkan air laut masuk. Untuk mengetes apakah masker sudah rapat atau belum, kami diminta untuk menarik napas menggunakan hidung. Jika karet yang menutup hidung tertarik ke arah hidung, maka masker sudah dapat. Selama di salam air kami harus bernapas melalui mulut dengan menghirup udara yang masuk lewat pipa yang digigit di dalam mulut.
Instruktur lalu terjun lebih dulu ke dalam air untuk memberikan petunjuk cara menyelam. Karena sudah mengenakan rompi pelampung, maka kami pasti akan mengapung. Selanjutnya posisi diatur secara telungkup dengan memasukkan wajah ke dalam air. Dalam posisi ini, kita sudah bisa menyaksikan keindahan terumbu karang di dalam laut.
Satu-persatu kami turun ke dalam laut. Saya sengaja mengambil giliran paling akhir untuk mengamati seberapa jauh bahayanya. Maklum, sejak kecil saya tidak diajari berenang dan sampai sekarang pun saya belum bisa berenang. Jangankan untuk masuk ke dalam laut, untuk masuk ke dalam kolam renang saja saya tidak berani.
Bersiap turun
Melihat teman-teman yang sudah lebih dulu turun, tampaknya tidak begitu berbahaya. Saya tidak mau melewatkan keasyikan ini. Maka dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian, saya memutuskan untuk turun ke dalam laut meskipun jantung berdegup kencang. Saya pasang kaki katak di kaki, lalu menapak turun lewat tangga kapal.
Sesampai di dalam air, instruktur memberikan arahan.
"Santai saja. Rileks, tidak perlu panik," kata-kata instruktur ini menumbuhkan rasa percaya diri. Dia mengatur posisi badan saya agar telungkup lalu menyuruh untuk membenamkan kepala ke dalam air. Mula-mula agak canggung karena harus bernapas menggunakan mulut. Beberapa tetes air laut sempat masuk ke dalam mulut dan terasa asinnya. Instruktur kemudian menyodorkan pelampung berbentuk lingkaran untuk kami pegangi. Mereka menarik pelampung ini ke lokasi-lokasi dengan pemandangan yang indah. Kami tidak perlu mengayuhkan kaki.
Horeeeee.....akhirnya menyelam juga
Kami dibawa hingga sampai ke tubir laut. Di pinggir jurang laut itu terlihat sekali perbedaan kedalaman laut. Kebetulan saya berada di sisi laut yang dalam. Saya merasa takut namun ingat perintah instruktur agak tidak panik. Saya berpegangan erat pada pelampung supaya tidak terbawa arus sembari berharap instruktur menarik ke arah terumbu karang.
Setelah beberapa menit menikmati keindahan terumbu karang, instruktur mengajak kami untuk menyelam ke dasar terumbu. Untuk itu, kami harus melepaskan pelampung. Kami diminta menahan napas, kemudian intsruktur akan membawa kami menyelam. Sesampai di bawah, kami harus berpedangan pada sebuah batu agar tidak cepat mengapung lagi ke atas. Di bawah laut sudah bersiap fotografer yang akan memotret adegan ketika kami menyelam.
Dan seperti yang sudah-sudah, saya mengambil giliran terakhir sambil mengamati teman-teman yang lebih dulu. Instruktur mengambil aba-aba kepada teman saya untuk mengambil napas panjang, lalu dia meloncat di atas punggungnya agar bisa tenggelam ke dalam air. Selanjutnya tugas pemotret yang mengambil momen dalam hitungan detik. Sebelumnya sudah disiapkan remah-remah biskuit sehingga ikan-ikan berenang mendekat dan ditangkap oleh kamera.
Menyelam tanpa masker
Satu persatu teman-teman mulai menyelam. Dan ketika tiba giliran saya, ternyata nyali itu sudah hilang terseret arus. Saya belum berani melakukan penyelaman itu. Bagi saya, masuk ke dalam air laut saja sudah menjadi lompatan besar atau quantum leap bagi saya. Saya dilahirkan dan dibesarkan di wilayah yang terkenal karena sering kurang air, yaitu Gunungkidul. Jangankan untuk belajar renang, untuk kebutuhan mandi saya kami kadang mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Memamg ada sungai dan telaga di dekat rumah kami, tapi hanya terisi pada musim hujan. Itu saja berwarna kecoklatan sehingga orangtua melarang saya bermain di sungai atau telaga. Maka dapat ditebak maka satu-satunya gaya renang yang saya kuasai adalah gaya dada. Maksudnya, melambaikan tangan sambil berteriak "dadaaaaaaaaaa..." lalu lenyap dalam air.
Saya memutuskan untuk tidak menyelam untukm mengantisipasi tiba-tiba merasa panik saat berada di alam air. Semoga keputusan saya ini tidak membuat kecewa pdt. Djenny yang sudah bersusah payah menyiapkan kegiatan ini.
Memberi makan ikan
***
Lewat tengah hari, kami mengakhiri kegiatan snorkling karena perut sudah keroncongan. Pdt. Djenny sudah menyiapkan makan siang yang lezat khas Manado. Kami menikmati santap siap di atas kapal yang terayun-ayun dan terseret arus karena tidak membuang jangkar. Kapal-kapal pengangkut wisatawan memang dilarang membuang jangkar karena bisa merusak keindahan terumbu karang.
Setelah perut kenyang, kami melepas swimuit. Selanjutnya berbelanja oleh-oleh. Sayangnya tidak banyak pilihan cendera mata yang bisa dibawa pulang. Yang tersedia hanyalah kaos, gantungan kunci dan gelang. Harganya cukup masuk akal. Sepotong kaos berkerah dibanderol seharga Rp.60 ribu.
Dalam pelayaran pulang, iseng-iseng saya bertanya biaya untuk berwisata ke Bunaken ini. Ongkos yang paling besar adalah menyewa perahu untuk menyeberang ke Bunaken. Biayanya antara sekitar Rp. 1-1,5 juta tergantung jenis kapal. Kemudian wisatawan harus merogoh kocek untuk membayar retribusi masuk (Rp. 2500 untuk wisnu alias wisatawan nusantara), sewa alat selam (sekitar Rp. 75 ribu/orang), membayar honor instruktur, sewa kamera dalam air (Rp. 350 ribu), mandi, dll. Kesimpulannya, butuh biaya besar untuk berwisata ke Bunaken. Itu belum termasuk ongkos pesawat dan biaya penginapan. Yang membuat saya saya bersyukur adalah saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk menikmati keindahan bawah laut Bunaken. Tuhan telah menggerakkan hati pdt. Djenny Ratuliu dan pak Ezri untuk menyiapkan semua kebutuhan kami dan memandu kami dengan sukacita. Semoga kebaikan Tuhan melimpahi keluarga ini.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 6539 reads
Bunaken
Wah wah, makin sering liat poto2 dari bunaken jadi makin pengen kesana. Cuman mahal juga yak? Pak Pur, bisa ajarin berenang 'gaya dada'nya ndak? :)
Rusdy: Wisata mahal
Cukup mahal. Untuk menyeberang saja harus sewa kapal. Konon bisa sampai 1,5 juta. Belum lagi sewa peralatan snorkling dan fee untuk instruktur.
Berikut cara renang gaya dada:
1. Tulisa surat wasiat
2. Sampaikan kata-kata terakhir.
3. Berdiri di pinggir laut, sambil mengangkat tangan.
4. Lambaikan dengan penuh penghayatan.
5. Ucapkan "Dadaaaaaaaaa" sambil melompat ke air.
------------
Communicating good news in good ways