Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

"Bapak Bicara Pake Bahasa Apa Ta?"

ebed_adonai's picture
“Pak, bapak bicara pake bahasa apa ta, pak?” demikian tanya putri ragilku pada suatu hari, dengan penuh rasa ingin tahu dan pandangan yang berbinar-binar. Saat itu aku baru saja habis berbicara dengan inang di telepon (pembicaraan di telepon itu merupakan bagian dari kisahku yang lain di sini), dengan menggunakan bahasa daerah kami, Batak Toba…
“Ada deh, Ndut,” jawabku saat itu ringan kepada boloku itu, yang meski sekarang sudah tidak ndut lagi, namun tetap kupanggil demikian, karena itulah panggilan sayangku padanya dari kecil (sebaliknya, ia juga membuat semacam panggilan sayang kepadaku, yaitu Chupi, yang katanya berasal dari nama boneka kelinci kesayangannya).
 
Sebenarnya bukan itu kali pertama dia bertanya seperti itu. Mungkin, karena berbagai kesibukan kami dari pagi hingga sore, sehingga aku tidak terlalu memperdulikan pertanyaan yang, entah sudah berapa kali ditanyakannya kepadaku. Mulai dari dulu, semasa kami masih tinggal di kompleks PMI (Pondok Mertua Indah; ada juga yang bilang Villa Mertua Permai, tapi yakinlah, itu lokasi yang sama), hingga sekarang setelah kami punya rumah sendiri. Putriku itu, walau bukan kelahiran di sini, namun ia tumbuh dan berkembang di Magelang. Mulai dari bayinya, hingga kelas 3 SD sekarang ini. Karena itu tidak heran, jika native tonguenya adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dan sebab itu pula, ia akan menatapku dengan heran layaknya aku ini seorang alien saja, setiap kali aku habis bertelepon dengan orangtuaku. Kalau kakaknya memang tidak begitu heboh seperti dirinya, karena masih sempat berinteraksi dengan ompungnya, dan sudah biasa mendengarku bercakap-cakap dengan ompungnya dalam bahasa daerah. Namun meski begitu ia tidak mengerti artinya, karena memang aku tidak pernah mengajarnya. Waktu itu, kukira itu bukanlah suatu hal yang penting. Hingga saat ini…
 
Semasa kecil, aku memang dibiasakan oleh kedua orangtuaku berbahasa ibu di rumah, meski kami di kemudian hari kami pergi merantau, dan lingkungan tempatku tinggal dan bersekolah mayoritas terdiri dari orang-orang Tionghua. Kepindahan kami ke kota Magelang 10 tahun silam, memang mengubah banyak hal dalam kehidupan kami berempat. Bagi istriku, ini adalah kepulangan ke kota kelahirannya. Dia orang Jawa (tapi yangtinya orang Tionghua), jadi anak-anak kami adalah pejabat, alias peranakan Jawa-Batak (ha..ha..). Karena itu pulalah, aku hampir-hampir tidak pernah lagi dalam 10 tahun belakangan ini menggunakan bahasa ibu, kecuali saat (alm) amang dan inang bertelepon saja. Memang, di Jogja dan Magelang banyak juga teman-teman yang berasal dari Tapanuli Utara. Namun karena aku hanya sesekali di Jogja dan sesekali di Magelang (aku hampir tiap hari bolak-balik Jogja-Magelang), maka tidak banyak kesempatan berkangen-kangen ria dengan angka dongan di Jogja maupun Magelang. Bahkan setelah sekarang menetap permanen di Magelang pun, karena kesibukan pekerjaan sehari-hari, hampir tidak ada kesempatan bagiku untuk berinteraksi dengan teman-teman dari Tapanuli di kota kami, yang jumlahnya cukup signifikan, walau jelas tidak sebanyak di kota tempat masa kecilku dulu…
 
Dulu, aku beranggapan bahwa hal itu (baca: mengenalkan budaya daerah) tidak begitu penting, karena kupikir yang terpenting dalam hidup ini adalah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Hingga pada suatu saat, ketika usia semakin bertambah, dimana biasanya kedewasaan berpikir pun bertambah juga, kita lalu jadi lebih sering merefleksikan kalimat berikut ini: “What I’ve done” (bukan, ini bukan judul lagu grup band Linkin’ Park yang terkenal itu, tapi hanya sebuah kalimat perenungan saja). Ya. Apa saja yang sudah saya lakukan dalam hidup yang Allah berikan kepada saya selama ini. Lalu tercetuslah dalam benakku pengalaman masa-masa penjelajahanku di Sabdaspace yang tercinta ini, dimana aku banyak bertemu dengan teman-teman terkasih, yang walaupun di tengah-tengah kemajuan arus teknologi seperti sekarang ini, masih mengenal budayanya sendiri dengan baik. Hmm, berangkat dari situ, aku jadi teringat kembali akan pertanyaan putriku itu, dan terpikir akan suatu hal, yang sebelumnya, jujur, tidak pernah terlintas dalam benakku. Suatu saat, setelah aku tiada nanti, bagaimana putri-putriku bisa mengenali lebih lanjut tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan mereka? Nah bahasa daerahnya saja mereka tidak tahu, apalagi hal-hal yang lain. Paling cuma tahu marga (=boru, karena kedua anak kami perempuan) nya saja. Memang, dalam Alkitab disebutkan bahwa para penghuni Sorga terdiri dari segala suku bangsa, dan yang terpenting adalah mereka semua sudah mencuci jubah mereka dalam darah Anak Domba (Why 7:9-14). Jadi tidak masalah memang, dari suku mana anda berasal (dan, dari denominasi/gereja mana anda saat ini, betul? Atau bukan begitu adanya?). Namun begitu, ada tujuannya juga bukan, Allah menciptakan kita beraneka-ragam? Karena itu dalam perenungan saya muncullah pemikiran demikian: Ada tujuan Allah yang sangat baik dan mulia, yang harus kita resapi, yang tidak boleh kita kesampingkan begitu saja, dengan menciptakan masing-masing kita, sebagai seseorang dari suku tertentu…
 
Di saat-saat seperti inilah, dalam keheningan permenunganku, tiba-tiba aku teringat akan poda amangku dulu, bagaimana agar kita tidak terjebak dalam fanatisme kesukuan (aku sangat mengaguminya dalam hal ini, dan sebagai seorang wartawan, beliau benar-benar membuktikan kata-katanya itu), namun tetap memelihara jati diri kita, siapa kita, dari mana kita berasal. Beliau sudah berhasilnya menanamkannya dengan baik padaku. Hanya saja aku, ya, akulah yang lalai untuk meneruskannya dalam hidupku sendiri…
 
Dan dalam keheningan malam yang semakin larut, terhanyut dalam pemenunganku akan semuanya ini, anganku semakin menerawang jauh,…jauh,…ke bayangan sebuah desa. Ya, sebuah desa kecil, yang bernama Pearaja-Pahae, yang bisa anda anda tempuh kira-kira setengah hari perjalanan dari kota Medan ke arah Tarutung. Sebuah desa kecil yang tenang,…yang biasa kukunjungi setiap Natal dan Tahun Baru semasa kecilku dahulu, yang dingin,…dan bahkan karena saking dinginnya, aku ingat dahulu itu enggan sekali rasanya untuk beranjak dari tataring tempat ompungku biasa memasak kalau sudah berjongkok di situ. Aku pun jadi teringat kembali, bagaimana pagi-pagi sekali, kami semua sudah bersiap-siap untuk pergi ke hauma, dan baru akan pulang di sore harinya. Hmmh,…hutakku nauli, tempat dimana dulu aku banyak belajar mengenai eksistensiku sekarang ini, pikirku sambil terus menatap ke arah bayangan tersebut…
 
Sekarang, di masa dimana untuk borhat ke desaku itu bagi kami berempat, dan mengenalkan putri-putriku akan kampung halaman (baca: budaya) mereka  adalah suatu hal yang sangat mahal (bagi anda yang dari suku Batak, tentu tahu kalau yang kumaksudkan mahal itu bukan hanya dari sisi ongkos perjalanan p.p. saja, tapi juga dengan segala prosesi adat-istiadat yang harus kami jalani di huta nanti), maka semuanya memang tergantung padaku,…untuk mengakrabkan mereka pada kebudayaan mereka sendiri,…agar poda amangku itu tidak marisuang
 
                                                                                                Shalom!
                                                                        Magelang, 04-Maret 2009 (23:15)
 
NB: Terimakasihku yang sebesar-besarnya kepada teman-teman terkasih di SS yang sudah menginspirasi tulisan ini. Tuhan Yesus memberkati.
 
Kosa kata:
inang                            =          ibu
ompung                        =          kakek/nenek
amang                          =          ayah
poda                             =          nasehat
angka dongan               =          teman-teman
tataring                                    =          dapur
hauma                          =          sawah
hutakku nauli               =          desaku yang indah
borhat                          =          bepergian
huta                             =          desa/kampung
marisuang                    =          sia-sia
__________________

(...shema'an qoli, adonai...)

BUNGUL's picture

Ttg budaya daerah

Sdr. Ebed, anda orang Batak Toba ternyata ya. Membaca tulisan or sharing anda di atas mengingatkan saya juga pada kampung halaman saya yang sangat saya cintai.

Kalau saya sih tentang pengenalan budaya daerah saya memang tidak banyak yang saya ketahui, tapi pada dasarnya saya tetap mencintai budaya daerah saya, mesikipun menurut saya ada juga budaya yang tidak perlu dipertahankan. Sejak saya menjadi seorang Kristen saya punya prinsip, setiap kebudayaan yang tidak bertentangan dengan prinsip kitab suci jalankan terus.

BUNGUL,

-:ujilah dan peganglah apa yang baik dan benar:-

__________________

BUNGUL,

-:ujilah dan peganglah apa yang baik dan benar:-

ebed_adonai's picture

@BUNGUL: setuju...

Setuju, bro BUNGUL.....

Ada alasan yang indah memang, bro, Tuhan menjadikan kita beraneka-ragam, lengkap dengan kebudayaan kita masing-masing, dan karenanya kita wajib melestarikan kebudayaan kita itu. Asal jangan jadi terjebak dalam fanatisme kesukuan yang berlebih-lebihan saja, karena segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik jadinya. Kalau boleh berbangga sedikit, saya sangat bahagia dengan keadaan saya sekarang. Saya memiliki keluarga dan kerabat yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Istri saya sendiri campuran Jawa dan Tionghoa. Tidak saya pungkiri, kadang-kadang muncul friksi yang disebakan oleh latar-belakang budaya yang berbeda. Tapi hal itu tidak jadi masalah, menurut hemat saya. Semua itu tergantung pada kepenerimaan kita saja akan hal-hal yang kita anggap asing. Yang jelas, saya sungguh sangat senang bisa mempelajari kebudayaan mereka semua. 

Soal kebudayaan yang tidak sesuai dengan iman Kristen, memang harus kita tinggalkan. Atau taruhlah tidak bertentangan dengan kitab suci, tapi kalau memang sangat sulit untuk diikuti, ya sudah. Contohnya mengenai hal perkawinan. Adat Batak terkenal sangat ribet prosesinya kalau sudah bicara tentang perkawinan, apalagi kalau pasangan kita tidak sesuku. Makanya, seperti yang saya ungkapkan di blog saya di atas, bukan masalah ongkos pulang kampung yang jadi pusat perhatian saya, tapi masalah biaya mangadati istri saya di sana nanti. Bisa-bisa saya tidak bisa pulang ke Jawa nanti, karena kehabisan modal, ha..ha..ha.. Ya sudah. Dengan tidak menganggap remeh pentingnya ritual adat, asal saya sudah sah menikahi istri saya menurut tata cara Kristen, saya pikir sementara sudah cukuplah.

Shalom!

(...shema'an qoli, adonai...)

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)