Submitted by Purnawan Kristanto on

 

"Cara niteni warung bakmi jawa yang enak adalah melihat jumlah ayam yang digandulkan" Tips ini diberikan oleh Felix, teman saya. Setiap warung bakmi jawa selalu menggantungkan ayam utuh yang sudah dicabuti bulunya pada dapur masak yang ada di bagian depan. Semakin banyak ayam yang digantungkan, berarti warung itu banyak dikunjungi pembeli. Maka biasanya itu adalah ciri bahwa masakannya cukup enak.
Saya menyukai bakmi jawa sejak masih tinggal di desa kecil di pinggiran kota Wonosari, Gunungkidul. Pada momen-momen yang istimewa, keluarga kami sering merayakannya dengan jajan bakmi jawa bersama-sama. Saya tidak tahu persis apakah bakmi jawa ini masakan asli Gunungkidul, tapi penjual bakmi yang saya ketahui kebanyakan berasal dari wilayah pegunungan seribu ini. Bahkan di Jakarta ada warung bakmi jawa "Gunungkidul" yang cukup terkenal dan sukses. Lucunya, warung bakmi ini tidak membuka cabang di Gunungkidul. Jadi kalau orang Gunungkidul ingin mencicipi bakmi jawa "Gunungkidul", maka dia harus pergi ke Jakarta.
Apa sih keistimewaan bakmi ini? Ciri khasnya adalah pada bumbu kemiri, ebi (udang kering) dan menggunakan daging ayam kampung. Cara masaknya harus menggunakan tungku arang kayu. Kalau menggunakan tungku atau kompor yang lain, rasanya akan berubah. Entah apa alasannya. Ada orang yang mengatakan bahwa arang kayu ini menghasilkan aroma khas pada makanan. Ada lagi yang mengatakan bahwa arang kayu menghasilkan panas tinggi yang merata. Zaman dulu, sang koki harus menggunakan kipas dari anyaman bambu (tepas) untuk menjaga arang ini tetap membara. Namun zaman sekarang fungsinya sudah digantikan oleh kipas angin.
Menu klasik yang disediakan adalah bakmi goreng dan bakmi godhog (rebus). Namun beberapa warung bakmi menambahkan menu lain. Misalnya nasi goreng biasa, nasi goreng babat/iso, nasi goreng pete, dan nasi goreng magelangan atau nasi mawut. Menu yang terakhir ini adalah kombinasi antara nasi goreng dan bakmi goreng. Modifikasi menu tidak berhenti di sini. Ada penjual yang menawarkan menu menggunakan mie instan, tapi dimasak ala bakmi Jawa. Ada juga warung bakmi yang menyajikan menu Cap Jay. Masakan ini aslinya dari Cina, tapi sudah dimodifikasi sehingga sesuai dengan lidah jawa.
***
Menu favorit saya bakmi godhog balungan. Menu ini tidak bisa dipesan pada sore hari, tapi ketika warung hampir tutup. Seperti tiap kali akan menambahkan daging ayam, maka sang koki akan mencuwil beberapa iris daging pada ayam utuh yang digantung di atas dapurnya. Sang koki biasanya masih menyisakan sedikit daging yang masih menempel pada tulangnya. Nah tulang-tulang ini boleh dipesan oleh pengunjung.
Saat dihidangkan, maka sepiring bakmi godhog yang dihidangkan akan terlihat menggunung karena ditingkahi oleh tulang-tulang ayam. Biasanya penjual akan menyertakan kobokan, serbet dan piring kosong. Cara makan menu ini tidak boleh mriyayeni, alias tidak boleh terlalu jaim. Lebih nyaman kalau dilakukan dengan tangan kosong. Kita harus mengambil tulangnya menggunakan tangan (maksudnya tidak menggunakan sendok), melepaskan sisa-sisa dagingnya, kemudian nglamuti tulang-tulangnya. Kalau gigi masih kuat, kita bisa meremukkan tulang rawannya dan menghisap sumsum di dalam tulang. Hmmmmmm…….
Lalu dimana warung bakmi favorit saya? Kalau di Jogja, tentu saja bakmi Kadin, yang ada di dekat kantor Kadin, Bintaran (tapi saya sudah lama tidak ke sana lagi. Saya kurang tahu apakah lokasinya masih sama atau sudah digusur). Salah satu kokinya adalah tetangga saya. Di Prambanan, saya menggemari warung bakmi yang ada di sebelah timur bong supit (tukang sunat), Bogem. Di sini, kita akan mendapat daging ayam yang banyak. Kalau di Klaten, saya menyukai warung bakmi pak Ngadino di dekat polres lama. Uniknya, kalau hari Selasa sebaiknya Anda tidak usah jajan bakmi di Klaten karena pasti akan gigit jari. Entah apa alasannya, setiap hari Selasa, semua warung bakmi di Klaten tidak jualan. Mungkin ini hari Sabat-nya penjual bakmi.

 

Submitted by crom on Mon, 2009-03-23 12:13
Permalink

wah ahli masakan nih..

boleh nyobain juga...

kayaknya enak...tuh..dari cerita mas pur..

Salam...

Submitted by Purnawan Kristanto on Mon, 2009-03-23 12:32
Permalink

@ Rya: Rasa itu nggak bisa dipaksa. Tapi kalau dibiasakan, lama-lama bisa suka lho. Witing tresno jalaran ora ono liyo.

@ Crom: Saya nggak bisa masak. Wong masak air saja gosong kok. Saya hanya penikmat masakan. Maklum saya suka jalan-jalan dan nyobain masakan. Saya juga bukan pencicip yang baik. Kalau disuruh memberi nilai masakan, maka hanya ada dua, yaitu: enak atau enak banget. Itu tergantung ditraktir atau enggak.

 

 


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

Submitted by Evylia Hardy on Tue, 2009-03-24 00:52

In reply to by Purnawan Kristanto

Permalink

'Kalau disuruh memberi nilai masakan, maka hanya ada dua, yaitu: enak atau enak banget. Itu tergantung ditraktir atau enggak.'

lha yen ndak tak traktir (berhub tgl tua) tapi tak masakin aja piye mas? kira2 masuk kategori mana

Eha

Submitted by ebed_adonai on Tue, 2009-03-24 10:36

In reply to by Purnawan Kristanto

Permalink

"..Sepanjang nggak keluar ongkos.."

Sama mas. Karena itu pula, bagi saya tempat makan pualing uenak di jogja dulu waktu masih sekolah, ya angkringan di jalan Kusbini, langganan saya. Soale kalau lagi tidak punya uang boleh ngebon sih, ha..ha..ha.. Lha di tempat-tempat lain saya sering diseneni sama yang punya angkringan kalau ngebon.........

Shalom!

(...shema'an qoli, adonai...)

Submitted by hai hai on Mon, 2009-03-23 12:35
Permalink

Mas Pur, akhir tahun 2007 saya ke Yogya dan menyempatkan diri makan Bakmi Kadin dengan salah satu sahabat waktu SMA.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak