Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Teologi Sukses, Penderitaan dan Kenikmatan

xaris's picture

Amen. Itulah yang terbersit di hati saya saat pertama kali mendengar kalimat itu diucapkan, dibaca dan dibahas bersama di dalam kelas-kelas yang saya ikuti. Ada rasa senang yang dangkal? Perhaps. Because Gloria is my middle name (gee...!) and then I made a mental note to name one of my (future) children, Joy. Or Hope. That shallow, I know. It so happened, however, a journey is to be taken to make that chief end’s of man, my end. And with that divine plan, a journey to live that end out began...

Berkenalan dengan kata "memuliakan Allah" sejak batita mungkin membuat kata tersebut cukup familir buat saya karena memuliakan Allah termasuk kata-kata yang paling sering didengar, mulai dari diteriakkan di mimbar dengan berapi-api, dinyanyikan merdu segenap hati hingga dibisikkan dalam doa diantara tetesan airmata. Mirip dengan itu, adalah kata "menikmati Allah". Karena buat saya kata menikmati Allah mengandung suatu kedekatan yang lebih dibandingkan dengan kata memuliakan Allah. Seperti kedekatan yang saya rasakan dalam kata "mencintai Allah". Kedekatan antara seorang anak dengan ayahnya. Jadi, tidak ada yang terasa aneh saat berkenalan dengan kata itu.

Perjalanan selanjutnya membawa saya bertemu dengan bahasan tentang Enjoyment theology atau teologi Kenikmatan. Disinilah saya mulai mengenal arti Menikmati Allah dengan lebih dalam lagi, meskipun pada awalnya ada alarm yang menyala saat mendengar bahasan tentang teologi Kenikmatan. Aliran baru apalagi ini?! Bersenjatakan pengetahuan kognitif akan firman Tuhan yang tidak seberapa itu, dengan penuh kecurigaan saya dengarkan baik-baik pembahasan itu dibawakan. Hm… apakah bahan "baru" ini punya relasi dengan Teologi Sukses? Bagaimana relasi menikmati Allah dengan teologi Kenikmatan?

Teologi Sukses vs Penderitaan

Terus terang, pemahaman saya yang terbatas tentang teologi Sukses ditambah rasa sok tahu saya ternyata tetap membawa saya untuk melawan pengajaran ini. Secara ringkas yang saya mengerti dari teologi Sukses adalah bagaimana mewujudkan surga di bumi dengan menjadikan sang Pencipta sebagai Sinterklaas yang berkewajiban mengabulkan setiap permohonan. Sehingga setiap anak Tuhan sudah seharusnyalah hidup makmur, sukses, bebas dari masalah dan bahagia. Jika kau tidak mendapat, itu karena imanmu terlalu kecil. Maka, berimanlah! Masalahnya beriman kepada diri sendiri sama sekali berbeda dengan beriman kepada Tuhan. Let me be God # let God be God. Padahal melihat kehidupan Kristus selama di dunia tidak pernah satu kalipun Ia tidak merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah Bapa. Tujuan hidupNya adalah melaksanakan kehendak BapaNya, seperti yang Dia katakan selalu, “For I have come down from heaven, not to do My own will, but the will of Him who sent Me." John 6:38 NASB

Saya kerap membandingkan pengajaran teologi Sukses dengan teologi Penderitaan/Salib yang saya kenal dalam kurun waktu bersamaan dengan teologi Sukses. Secara ringkas pengajaran teologi Penderitaan yang saya mengerti adalah bahwa setiap pengikut Kristus yang telah diselamatkan dari kematian kekal, dipanggil keluar dari kegelapan, akan menjalani hidup yang berhadapan dengan penderitaan akibat eksistensinya di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Setiap orang wajib menyangkal diri mengikut Tuhan, let God be God. Karena seperti Kristus yang rela turun dari Surga, menjalani hidup yang penuh penderitaan dan mati di kayu salib untuk menebus dosa umatNya, begitulah seharusnya hidup setiap orang percaya. Teologi Penderitaan juga mengajarkan bahwa penderitaan meskipun menyakitkan adalah sangat perlu untuk menyadarkan bahwa this earth is not our home, only Heaven is and it will arrive one day upon Christ' second return.

Buat saya pengajaran ini lebih bertanggung jawab dan menyadari posisi yang tepat dari relasi I and Thou antara kita dengan Tuhan. Apalagi Kristus sendiri dengan kematianNya di kayu salib sudah dengan sangat jelas memberikan contoh dan gambaran akan apa yang harus dihadapi setiap pengikutNya nanti. Sehingga meski saya tidak bisa menerima pengajaran teologi Sukses dan saya menyambut teologi Penderitaan/Salib dengan tangan terbuka lebar. Dan kemudian saya bertemu dengan pembahasan bernama teologi Kenikmatan...

Penderitaan vs teologi Kenikmatan

Teologi Kenikmatan yang saya mengerti berawal dengan penjabaran dari katekismus Westminster bahwa tujuan hidup manusia selain memuliakan Allah adalah juga untuk menikmatiNya. Pengajaran ini secara lebih detail membahas tentang apa arti menikmati Allah dan bagaimana hubungan antara menikmati Allah dengan memuliakan Allah terutama jika dikaitkan dengan sisi penderitaan yang memang pasti menyentuh hidup setiap anak-anak Allah. Itulah sebabnya pembahasan tentang teologi Kenikmatan selalu mengikutsertakan pengajaran dari teologi Penderitaan karena penderitaan dapat dikatakan sebagai salah satu guru terbaik untuk mengerti lebih dalam arti memuliakan dan menikmati Allah.

Teologi Kenikmatan yang saya kenal merupakan penggenapan dari teologi Penderitaan. Mengajarkan bahwa meskipun kita menyadari, mengakui dan menerima akan kehadiran penderitaan yang harus dihadapi setiap anak Allah, tujuan hidup kita bukanlah untuk menderita. Melainkan untuk untuk memuliakan Allah dan menikmatiNya. Secara pribadi saya mulai memahami hal ini saat berhadapan dengan masa-masa tersulit dalam hidup saya. Penderitaan adalah sesuatu yang riil harus dihadapi setiap anak Allah seperti yang ditulis dalam surat Ibrani, "But remember the former days, when, after being enlightened, you endured a great conflict of sufferings,..." Hebrews 10:32 NASB.

Tetapi berpikir bahwa penderitaan yang dihadapi ini adalah sesuatu yang harus saya terima sebagai tujuan hidup, betul-betul membuat saya berpikir bahwa sangat lebih baik saya tidak pernah dilahirkan dan membuat saya sedikit lebih memahami kenapa orang lebih memilih bunuh diri saat kehilangan harapan. Disadarkan lewat penderitaan bahwa this earth is not our home is one thing, tetapi berpikir bahwa menjadikan penderitaan sebagai tujuan yang harus dicapai is certainly another different thing!

Saya merasa menemukan pencerahan saat diingatkan bahwa tujuan hidup saya selain untuk memuliakan Allah adalah juga menikmatiNya. Mengapa? Karena dalam arti menikmati buat saya bernuansa sesuatu yang menyenangkan, memberikan kesukacitaan, semangat dan keinginan untuk terus merasakannya, makanya disebut nikmat. Mana ada orang yang sedang merasakan penderitaan mendefinisikan penderitaan tersebut dengan hal-hal tadi? Yang mungkin adalah meskipun menderita tetapi tetap bisa menikmati saat-saat itu karena this and that. Tetapi bukan berpikir bahwa arti menderita dan menikmati itu sama. Orang yang mengatakan menikmati penderitaan pun bukan berarti dia menyamakan penderitaan dengan kenikmatan karena tidak ada penderitaan yang nikmat. Kalau bisa menikmati saat menderita itu memang karena ada unsur nikmat di dalamnya tapi tidak berarti penderitaan bisa diidentikkan dengan kenikmatan.

Maka bersyukurlah saya kepada Allah karena lewat teologi Kenikmatan saya lebih mengerti untuk tidak menjadikan penderitaan sebagai tujuan hidup saya! Hal ini bukannya tidak disinggung sama sekali dalam teologi Penderitaan, hanya saja menurut saya pembahasan mengenai penderitaan yang sangat besar disana kadangkala tidak dihubungkan dengan tujuan hidup manusia yang kemudian dikupas pula secara detail. Itulah sebabnya saya bisa mengerti saat dikatakan bahwa teologi Kenikmatan adalah yang lebih realistis dibandingkan teologi Penderitaan, apalagi teologi Sukses.

Tetapi sebetulnya pada akhirnya seindah apapun teologi atau pengetahuan atau pengertian yang saya dapatkan serta pahami tidak ada artinya kalau pada akhirnya hanya memperindah konsep saya akan siapa Allah tetapi tidak menjadikannya suatu realita dalam hidup saya. Allah saya adalah Allah yang hidup, bukan Allah di dalam keindahan konsep belaka. Takkan putus permohonan saya akan belas kasihan dan anugerahNya sehingga apapun yang ada dalam hidup ini akan semakin membawa saya mengenal Dia dan menikmati persekutuan yang penuh denganNya serta menguatkan saya saat Dia membukakan setiap kebenaran sejati yang seringkali akan menghancurkan segala keindahan palsu tentangNya yang saya percayai. Kyrie eleison... Kyrie eleison...

xaris's picture

Q & A (1)

Theologia Sukses, Theologia Salib dan Theologia Kenikmatan

Xaris, kamu menulis:

Sebagaimana yang dibahas di dalam kelas, sebagai orang Kristen masa kini kita seolah tertarik ke dua kutub yang berbeda antara Teologi Sukses dengan Teologi Penderitaan/Salib.

Disinilah saya mulai mengerti bahwa Teologi Kenikmatan sesungguhnya lebih realistis dibandingkan dengan kedua yang lainnya. Ini bukan memilih status quo ataupun memilih titik tengah pendulum. Tetapi ini adalah kenyataan tentang bagaimana kita seharusnya hidup di hadapan Allah.

Theologia sukses, saya memahaminya dengan cukup baik, namun tentang Theologia Penderitaan, maukah menjelaskannya sedikit lebih terperinci, supaya saya dapat memahaminya dengan baik? Kalau Theologia Kenikmatan bukan status quo atau titik tengah pendulum, kenapa menjadikan kedua Theologia yang lainnya sebagai titik awal pembahasan Theologia Kenikmatan?

 

Ko Hai Hai, tentang apa yang dimaksudkan oleh saya tentang teologi Penderitaan/Salib saya sharing-kan di tulisan di atas. Semoga saya tidak salah mengerti pertanyaan Ko Hai Hai yah.

Tentang kenapa menjadikan teologi Sukses dan Salib sebagai titik awal pembahasan adalah karena:

  1. Teologi Kenikmatan yang saya kenal memang berjalan seiring dengan teologi Penderitaan karena keduanya saling melengkapi/menggenapi. Istilah teologi Kenikmatan memang belum lama saya dengar, tetapi bahasan yang ada disana sudah ada lama dan dibahas sejak dulu.
  2. Teologi Sukses saya ikutkan dalam pemikiran dan pembahasan saya karena kaitan dalam rangka mengenal apa kenikmatan sejati. Apakah hanya lewat berkat-berkat yang (harus) dikabulkan, apakah Allah yang menjadikan the enjoyment of Him dalam arti demikian?
Sejauh ini dua teologi itulah yang saya mengerti untuk bisa dipakai menjelaskan arti menikmati Allah lewat teologi Kenikmatan. Boleh share dengan saya kalau ada teologi lain yang bisa dimasukkan dalam bahasan ini yah...

xaris's picture

Q & A (2)

Theologia Kenikmatan dan Katekismus Westminster

Xaris, ini kali pertama saya membaca tulisan Theologia Kenikmatan dikaitkan dengan katekismus Westminster

Q. 1. What is the chief end of man?

A. Man’s chief end is to glorify God,[1] and to enjoy him forever.[2]

Silahkan klik katekismus Westminster untuk membaca terjemahan bahasa Indonesianya.

1. Pert. Apa tujuan utama dan tertinggi manusia?

Jaw. Tujuan utama dan tertinggi manusia ialah memuliakan Allah[a] dan bersukacita sepenuhnya di dalam Dia untuk selama-lamanya.[b]

a. Rom 11:36; 1Ko 10:31. b. Maz 73:24-28; Yoh 17:21-23.

Kamu menerjemahkan kata “and to enjoy him forever” menjadi Menikmati Allah, sedangkan para penerjemah katekismus Westminster menerjemahkannya sebagai bersukacita sepenuhnya di dalam Dia untuk selama-lamanya.

Apakah menikmati Allah berarti bersukacita sepenuhnya di dalam Dia untuk selama-lamanya? Kalau benar, kenapa menggunakan istilah baru? Kalau berbeda, dimana perbedaannya?

 

Ko Hai Hai, dalam (mungkin hampir) semua bahasan yang saya pernah temui tentang teologi Kenikmatan, to enjoy God, enjoyment of God, etc. salah satu titil awal pembahasan memang dimulai dari Q1. Westminster Catechism itu.

Sedangkan kalau untuk terjemahan "to enjoy God" jadi "bersukacita di dalam Dia", saya tidak tahu mengapa terjemahan yang ada di Sabda.org seperti itu. Di berbagai tempat lain kalimat "to enjoy God" diterjemahkan "untuk menikmati Allah". Saya coba lihat padanan katanya (Thesaurus) to take pleasure in, to benefit/get pleasure from, to like, etc. Jadi istilah menikmati Allah bukan baru sekarang ada. Hanya mungkin tidak sering dipaparkan.

Tentang apakah ada beda antara bersukacita di dalam Dia dengan menikmati Allah, menurut saya dalam menikmati Allah tidak terlepas dengan unsur bersukacita di dalam Dia, vice versa. Tapi saya lebih suka menggunakan arti menikmati Allah karena buat saya ada rasa kedekatan yang lebih, seperti kata "mengasihi Allah", itulah sebabnya saya lebih menggunakan terjemahan secara harafiah dari bahasa aslinya.

xaris's picture

Q & A (3)

Beberapa minggu yang lalu seorang teman bercerita, seorang pengkotbah di Jawa Tengah mendapat perintah Allah untuk mengajarkan doktrin bertunangan dengan Roh Kudus dan Menikah dengan roh Kudus. Anda punya informasi lebih lanjut tentang kotbah itu? Apakah itu adalah pengejawantahan dari Theologia Kenikmatan?

 

Ko Hai Hai, saya baru dengar tentang kisah tentang pengkotbah itu. Sampai sekarang saya belum dapat informasi tentang dia. Mau share? Tentang apakah itu pengejawantahan dari teologi Kenikmatan, saya perlu kenali dulu baik-baik apa yang disampaikan pengkotbah itu. Teologi Kenikmatan yang saya kenal tidak membahas poin-poin seperti itu.

Saya jadi kepikir aja, kalau kita menikah dengan Roh Kudus, artinya menikah dengan Kristus, dengan Allah Bapa juga dong? Apa iya begitu? Rasul Paulus waktu menggambarkan hubungan suami dengan istri seperti Christ and His church mengacu pada "seperti" atau bahwa suami-istri harus menjadikan relasi Christ and His church sebagai model. Bukannya disuruh menikah dalam konteks seperti man-wife. What do you think?

xaris's picture

Bagaimana menikmati Allah?

Saya lagi buatkan post lain khusus untuk arti Menikmati Allah lewat WHAT dan HOW-nya. Nanti kalau selesai saya post juga dengan Q&A section seperti di atas. Jadi saya jawab lewat post itu aja.
xaris's picture

Q & A (4)

(Pertanyaan dari salah satu user lewat Inbox saya tanggal 28 Oktober 2007. Saya putuskan untuk tidak menjawab lewat japri agar ada lebih banyak orang yang bisa ikut membaca artikel yang dibagikan pada saya.)
Bagaimana dengan Teologi Pelayanan? Apakah anda pernah dengar? Bagaimana menurut anda dengan Teologi Pelayanan? Coba baca perlahan-lahan artikel dibawah ini, dan saya tunggu tanggapan anda sdr. Xaris. Tolong japri aja ya... Thanks.
 
Kelimpahan itu Pelayanan
oleh: Rm A. Luluk Widyawan, Pr,*
 
“Ego veni ut vitam habeant et abundantius habeant”, inilah motto Uskup Surabaya yang diambil dari Injil Yohanes 10:10. Terjemahannya, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
 
Kelimpahan sebuah ide yang diagungkan oleh penganut teologi kelimpahan atau teologi sukses. Mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak menghendaki seseorang menjadi miskin dan menganggap orang miskin tidak diberkati Tuhan. Kelimpahan ini pula yang ditentang oleh penganut teologi kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengajak manusia mencari dulu Kerajaan Allah dan menolak materialisme demi mengagungkan asketisme. Kedua teologi itu justru memperlebar jarak antara kaum kaya dan miskin. Padahal Tuhan menghendaki, “orang kaya dan orang miskin bertemu” (bdk., Amsal 22:2).
 
Teologi pelayanan menawarkan jalan tengah. Teologi pelayanan mempertemukan kaum kaya dan kaum miskin dalam kesatuan, bukan pertentangan. Kelimpahan bukan kutukan, kemiskinan bukan karena tidak diberkati Tuhan. Tuhan memberi manusia masing-masing seturut kesanggupannya. Dalam situasi penuh perbedaan, teologi pelayanan menawarkan keindahan.
 
Pandangan Kitab Suci Tentang Kelimpahan
Budaya materialistik masyarakat jaman ini telah mempengaruhi cara pandang umat Kristiani tentang harta benda. Padahal harta benda seharusnya menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan. Acara televisi yang sangat populer seperti Deal or No Deal dan Super Deal 3 Miliar ikut mempengaruhi umat dalam menghidupi nilai-nilai materialistik.
 
Akibatnya, di dalam komunitas Kristiani, orang beriman pun terpengaruh dengan pandangan-pandangan tentang kelimpahan yang bukan diinspirasi dari Kitab Suci. Salah satu bentuk ekstremnya ialah kotbah-kotbah yang amat menekankan kekayaan, sukses dan kelimpahan. Sebaliknya di ekstrem lain, umat Kristiani justru secara radikal menolak gagasan tentang kelimpahan. Bagi mereka, kekayaan justru dianggap sebagai kontradiksi.
 
Umat perlu memahami apa kata Kitab Suci berkaitan dengan kelimpahan? Sekilas terlihat bahwa Kitab Suci memandang negatif kekayaan dan kelimpahan. Tidak sedikit orang Kristiani yang menyimpulkan bahwa kekayaan dibenci dalam Kitab Suci. Hal ini disimpulkan dari kotbah Yesus dan para nabi Perjanjian Lama yang melawan materialisme. Seruan Kitab Suci seakan mengajak orang untuk tidak mengejar dan memiliki kekayaan. Jika benar demikian, umat Kristiani yang kebanyakan hidupnya kaya pasti gelisah, karena memiliki kekayaan dianggap bertentangan dengan ajaran Kitab Suci.
 
Padahal jika disimak dengan lebih cermat dan komprehensif, ayat-ayat Kitab Suci tentang kekayaan dan kelimpahan maknanya sangat kompleks. Intinya, Kitab Suci mengajarkan tiga prinsip tentang kekayaan.
 
Pertama, kekayaan tidak dicela. Sebagai contoh, Kitab Kejadian 13:2 mengisahkan Abraham memiliki kekayaan. Kitab Ayub 42:10 mengisahkan Tuhan memberkati Ayub dengan kelimpahan materi. Kitab Ulangan dan Mazmur menuliskan tentang kekayaan sebagai bukti bahwa Tuhan memberkati umat-Nya (bdk., Ulangan 8:28, Amsal 22:2, Pengkotbah 5:19). Tetapi, meskipun kekayaan dianggap sebagai bukti bahwa Tuhan memberkati, umat beriman tidak begitu saja percaya. Kitab Mazmur, Yeremia dan 1 Timotius menulis dan mengajak umat beriman supaya tidak percaya kepada kekayaan, tetapi percaya kepada Tuhan saja (bdk., Amsal 11:4, 11:28, Yeremia 9:23, 1 Timotius 6:17, Yakobus 1:11, 5:2).
 
Kedua, celaan kepada orang kaya di dalam Kitab Suci lebih diarahkan kepada kualitas kekayaan yang dimiliki, bukan materi kekayaan itu sendiri. Nabi Amos menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan terlebih kepada orang kaya yang memiliki kekayaan melalui penindasan dan pelecehan (bdk., Amos 4:11, 5:11). Nabi Mikha mengkritik adanya ukuran yang tidak adil dan kekayaan yang sangat menyilaukan orang miskin (bdk., Mikha 6:1). Nabi Amos dan Mikha tidak mengkritik kekayaan itu sendiri, melainkan mengecam ketidakdilan yang terjadi, berkaitan dengan cara memperoleh kekayaan itu.
 
Ketiga, umat Kristiani sebaiknya memperhatikan efek dari kekayaan yang dimiliki. Kitab Nabi Amsal 30:8-9 dan Hosea 13:6 mengisahkan bahwa kekayaan seringkali mencobai manusia dan mengakibatkan manusia lupa kepada Allah. Orang kaya lebih mudah untuk meninggalkan Allah, justru karena kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Kitab Pengkotbah bab 2 dan 5 menyimpulkan bahwa orang kaya tidak sungguh-sungguh menikmati kekayaannya. Sekalipun memiliki limpah kekayaan, orang kaya sendiri berefleksi bahwa kenyataannya, mereka tidak dapat menikmati kekayaan yang dimiliki. Kitab Nabi Amsal 28:11 dan Yeremia 9:23 menuliskan bahwa kekayaan hanya membuat orang kaya ingin dipuji dan berlaku sewenang-wenang.
 
Jadi, Kitab Suci sebenarnya tidak mencela kaum kaya. Tetapi mengingatkan kepada siapapun, jika Allah memberkati dengan kekayaan, seseorang tetap memiliki prioritas dalam hidup dan menjaga dirinya supaya tidak jatuh karena godaan kekayaan.
 
Pandangan Kitab Suci Tentang Kemiskinan
Kitab Suci memberi gambaran tentang penyebab kemiskinan dalam beberapa kategori. Penyebab pertama kemiskinan ialah penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, terbukti bahwa banyak orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Pemerintah dikisahkan sering mempraktekkan hukum yang tidak adil, menurunkan nilai mata uang dan mengubah takaran yang merupakan eksploitasi terhadap kehidupan manusia.
 
Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengajarkan, Tuhan membiarkan setan mencobai Ayub. Dengan kata lain, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama ditemukan kesalahan manusia dan Tuhan yang menghakimi orang yang tidak setia (bdk., Mazmur 109:16, Yesaya 47:9, Ratapan 5:3). Ketika Israel melanggar hukum Tuhan, Tuhan membiarkan bangsa lain menawan mereka sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka.
 
Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputusasaan dan kerakusan. Amsal menulis seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21). Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kitab Amsal 10:15 menulis, “kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya, tetapi yang menjadi kebinasaan bagi orang melarat ialah kemiskinan”. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan seterusnya dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya dan meraih sukses di masa mendatang.
 
Tiga Perspektif Teologi
Ada tiga perspektif teologi yang mempengaruhi kehidupan manusia jaman ini. Setiap perspektif memiliki pendapat masing-masing yang unik, didukung ayat-ayat Kitab Suci. Tiga perspektif itu adalah: teologi kemiskinan, teologi kelimpahan dan teologi pelayanan. Tidak jarang pertentangan justru muncul dalam memahami kehendak Tuhan dalam Kitab Suci, karena aneka ragam pemahaman mengklaim sebagai yang paling benar. Padahal, untuk dapat menafsirkan kehendak Tuhan, seseorang harus melihat Kitab Suci secara komprehensif.
 
Teologi Kemiskinan. Ajaran teologi kemiskinan membuang jauh-jauh segala macam ide duniawi dan segala obsesi terhadap uang. Ajaran ini secara ekstrem menyebutkan bahwa percaya kepada harta benda duniawi dan memilikinya dianggap sebagai kutukan. Teologi kemiskinan menolak materialisme dalam berbagai cara dan bentuk. Hal ini tentu menimbulkan bias terhadap keberadaan kaum miskin. Anehnya, teologi kemiskinan tidak memberikan jawaban terhadap masalah ini. Orang yang ragu-ragu atau menolak kekayaan sepakat dengan teologi kemiskinan.
 
Teologi Kelimpahan. Penganut teologi kelimpahan meyakini bahwa seseorang tidak akan mendapatkan hasil yang baik jika tidak meminta. Penganut teologi ini meyakini betapa berartinya persembahan. Kelimpahan berkat materi akan diperoleh jika seseorang mengikuti prinsip persepuluhan. Kelimpahan materi yang berlipat ganda dan kesuksesan akan didapat karena persepuluhan yang diberikannya. Penganut teologi kelimpahan berpendapat bahwa orang yang tidak kaya tidak mendapatkan, karena tidak memiliki iman. Jadi, tekanan teologi kelimpahan adalah besarnya materi, bukan hubungan dengan Tuhan. Seseorang yang tidak kaya atau tidak menjalankan uangnya dengan baik, dianggap tidak menerima berkat Tuhan. Karena bagi mereka, Tuhan tidak menghendaki seseorang menjadi miskin. Meskipun kebanyakan pengikut teologi kelimpahan justru bergaya hidup konsumtif.
 
Teologi Pelayanan. Penganut teologi pelayanan meyakini bahwa Tuhan memiliki dan mengendalikan segalanya. Harta benda materi merupakan kehormatan, bukan sekedar hak. Teologi pelayanan justru tidak menganggap hak milik sebagai yang utama. Penganut teologi pelayanan mengutip ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa harta milik merupakan berkat kepada masing-masing orang seturut ukurannya, kesanggupannya, seturut kodrat seseorang, seturut kemampuan Tuhan memberi serta konsekuensi iman dan ketaatan seseorang mengikuti prinsip-prinsip Kitab Suci. Penganut teologi pelayanan yakin bahwa kekayaan dan kelimpahan merupakan hasil upaya penuh iman mengembangkan talenta yang dimiliki, sesuai berkat Tuhan. Prioritasnya bukan mengumpulkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan, tetapi bijaksana dalam mengatur kekayaan. Tujuan penganut teologi pelayanan seperti seseorang yang dikisahkan dalam Mazmur, “Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya. Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; kebajikannya tetap untuk selama-lamanya, tanduknya meninggi dalam kemuliaan” (bdk., Mazmur 112:5, 9).
 
Di antara ketiga prespektif tersebut, mana yang benar? Justru ketiga deskripsi itu menampilkan kerumitan. Paham teologi sangat tergantung dari latar belakang pendidikan, pengaruh yang mempengaruhi seseorang dan bagaimana seseorang menafsirkan Kitab Suci. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ketiga perspektif tersebut benar semua. Ada satu pilihan yang menjadi jalan tengah seturut kehendak Tuhan, ialah prespektif pelayanan. Terbukti dengan nyata, bahwa perspektif ekstrem teologi kemiskinan dan kelimpahan justru penuh dengan kekurangan.
 
Teologi kemiskinan menilai bahwa seorang yang memiliki kelimpahan harta dan uang, pasti telah melakukan ketidakjujuran. Teologi kelimpahan menganggap bahwa orang miskin, pasti tidak diberkati Tuhan, karena tidak mau berusaha. Penganut kedua teologi itu tidak pernah memikirkan seruan Kitab Suci, “orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Karena, Tuhan menghendaki perdamaian seluruh lapisan masyarakat.
 
Teologi Pelayanan
Teologi pelayanan mendamaikan teologi kemiskinan dan teologi kelimpahan. Teologi pelayanan merangkum unsur-unsur yang baik dari dua kubu teologi. Karena gagasan pelayanan menawarkan keseimbangan Sabda Tuhan berkaitan dengan uang dan kekayaan. Apalagi, istilah teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan telah membentuk sudut pandang yang justru menunjukkan pertentangan di antara keduanya. Teologi pelayanan mencantumkan gagasan indah tentang berkat Tuhan, sekaligus memberikan teguran jika tidak peduli terhadap kaum miskin.
 
Ada banyak gagasan pelayanan dalam Kitab Suci, semuanya berupa seruan tentang pelayanan dan melayani. Padahal menjadi pelayan, tidak sekedar memiliki sikap hidup atau cara pandang selaku seorang abdi. Pelayan berarti memiliki sikap iman yang peduli terhadap kepentingan orang lain, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. Kelemahan dalam teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan ialah tidak adanya analisa pemecahan. Ibarat seseorang menjadi tuan rumah untuk sebuah perjamuan, maka persiapan dan pembersihan sama pentingnya dengan acara jamuan itu sendiri. Maka, dua hal harus diperhatikan: pekerjaan dan hasilnya. Teologi kemiskinan secara ektrem menekankan pekerjaan tanpa pamrih, sedangkan teologi kelimpahan secara ekstrem menekankan hasil materi secara berlebihan. Teologi pelayanan justru menekankan kehidupan yang seimbang, mensyukuri kelimpahan berkat dari Tuhan sekaligus melayani sesama dengan penuh kasih.
 
Terlihat adanya kekurangan dalam pandangan kedua teologi tersebut. Padahal jika disimak dengan teliti, terlihat jelas perbedaan yang masuk akal di antara kedua teologi dibandingkan dengan teologi pelayanan. Tidak sedikit umat Kristiani yang gelisah, tidak puas dan tidak bahagia karena tidak memahami makna harta benda duniawi. Kebanyakan umat tidak bisa menggabungkan praktek keuangannya dengan hidup beriman. Bedasarkan tabel di bawah ini, berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci yang menjadi acuan, seseorang bisa memutuskan bahwa teologi pelayanan menjadi jalan tengah.
 
Sebuah penelitian Kitab Suci yang mendalam menunjukkan orang beriman hidup dalam ragam situasi ekonomi. Sebagai contoh, Daniel bekerja sebagai seorang sekretaris kelompok administrasi kelompok agamanya dan hidup dalam gaya hidup kelas menengah atas. Yehezkiel tinggal di luar kota yang dapat dianggap sebagai kelas menengah. Dan Yeremia tentu hidup dalam gaya hidup kelas bawah. Setiap orang memuji Tuhan dan mengikuti Tuhan seturut kehidupannya masing-masing. Mereka hidup dalam gaya hidup kelas tertentu yang berbeda-beda. Umat Kristiani harus menolak sebuah asumsi sempit yang menomersatukan kelas tertentu. Tidak ada suatu gaya hidup kelas tertentu yang ideal untuk orang Kristiani. Kelas tertentu tidak otomatis dianggap yang terbaik. Sebaliknya, seseorang harus mencari Tuhan dan mengikuti kehendakNya sesuai panggilan hidupnya masing-masing.
 
Arus Sentrifugal
Seorang rahib perempuan, Santa Theresia Avilla memberikan pencerahan mengatasi perbedaan diametral antara teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan. Pertapa Karmelit itu semacam memberi jalan tengah di antara dua esktrem teologi tersebut. Menurut Theresia Avilla dalam diri setiap manusia terdapat dua jenis arus pokok, yaitu dorongan arus sentrifugal yang terus hendak mengalir keluar. Lalu ada juga arus sentripetal yaitu arus yang terus hendak mengalir masuk. Pemuda kaya dalam Injil adalah tipe manusia dengan arus sentripetal. Ia ingin mendapatkan segala sesuatu bagi dirinya, baik harta, nama baik, bahkan keselamatan kekal. Yesus mengatakan bahwa si pemuda harus membalik arus tersebut secara revolusioner, menjadi arus sentrifugal yang mengalir keluar. Maka ia dianjurkan untuk menjual segala hartanya dan membagi-bagikannya dengan orang miskin. Setelah berhasil mengubah arus pokok dirinya dari sentripetal menjadi sentrifugal barulah pemuda siap mengikuti Yesus menjadi murid-Nya sehingga memperoleh kehidupan kekal.
 
Contoh manusia yang memiliki arus sentrifugal, tidak lain ialah Yesus sendiri. Yesus mengorbankan segalanya untuk umat manusia. Yesus telah mengorbankan statusnya sebagai Allah dengan menjadi manusia. Ia mengorbankan masa muda dan seluruh kehidupan-Nya dengan cara hidup sebagai orang miskin. Ia mengorbankan nama baik-Nya dengan cara mati terhina di salib. Ia bahkan mengorbankan jubah dan baju-Nya sewaktu disalibkan. Ia mengorbankan seluruh Tubuh dan DarahNya yang termulia, bahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa umat manusia.
 
Kekeliruan lainnya berasal dari salah penafsiran tentang kelimpahan yang Allah berikan melalui kekayaan alam. Jika menyaksikan betapa banyaknya ikan di laut, maka ikan-ikan itu cukup untuk menghidupi seluruh umat manusia di dunia ini. Jika melihat padi di sawah, maka akan terlihat bagaimana satu biji padi dapat menghasilkan demikian banyak bulir-bulir padi baru. Jadi Allah adalah Allah yang memberi kelimpahan. Dalam diri Allah tidak ada arus masuk, semuanya merupakan arus keluar. Kasih itu memberi. Kodrat kasih adalah kodrat memberi secara total.
 
Sebagian orang melihat Tuhan sebagai Tuhan Yang Mahakuasa sehingga memunculkan teologi kelimpahan. Sebutan yang sempat popular ialah teologi sukses. Padahal Allah tidak menuntut atau memakai apapun bagi DiriNya sendiri. Allah mengajar manusia untuk memberi dan bukan untuk meminta atau menuntut. Dengan demikian, teologi kelimpahan harus diluruskan pemahamannya sebagai teologi yang mengajarkan memberi secara murah hati, bukan teologi yang mengejar kelimpahan harta benda duniawi demi kepentingan diri sendiri.
 
Kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia, sikap glamour yang menolak praktek hidup sederhana dan rela berkorban, membuat bangsa ini menjadi konsumtif sebelum menjadi produktif. Kondisi ini diperparah dengan jebakan formalisasi ajaran (ortodoksi), sehingga agama menjadi mandul dalam praksis sosial (ortopraksis). Padahal, formalitas ritual dan ajaran, betapapun baiknya selalu bersifat parsial. Kepenuhan hidup justru tercapai lewat penghayatan iman yang terfokus pada Allah yang rela mengorbankan diri. Kelimpahan dan kepenuhan hidup niscaya jika umat beriman berpartisipasi dalam pengorbanan.
 
* Imam Praja Keuskupan Surabaya tinggal di Ponorogo.
 
Dear Saudara Pengunjung,
 
Terima kasih sudah bersedia mendaftar sebagai member untuk berbagi artikel ini dengan saya. Maaf baru sekarang bisa dibalas. Saya sudah baca seperlahan-lahan mungkin yang saya bisa. Mudah-mudahan saya cukup jelas menangkap penjelasan-penjelasannya. Tapi saya masih kurang jelas tanggapan seperti apa yang diharapkan Saudara. Jadi tanggapan saya sekarang lebih berdasarkan apa yang saya pikirkan tentang artikel Saudara saja yah...
 
Saya setuju dengan apa yang disampaikan tentang teologi Pelayanan dan saya pikir sangat mungkin yang dimaksudkan dengan teologi Kelimpahan itu adalah yang saya pahami sebagai teologi Sukses. Dan tentang teologi Kemiskinan kalau saya boleh katakan adalah salah satu komponen dari teologi Penderitaan. Karena dalam teologi Penderitaan kemiskinan adalah salah satu hal yang dibahas selain juga berbagai penderitaan lainnya. 
 
Saya melihat hubungan antara ketiga teologi yang Saudara sampaikan sebenarnya hampir serupa dengan apa yang saya sampaikan, dalam konteks menemukan semacam titik tengah atau kebenaran yang lebih mendalam dari dua pendulum yang berlawanan. Tetapi saya pikir fokus atau inti dari artikel kita, berbeda. Kita tengah membahas dua hal yang berbeda dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang mirip.
 
Saya tengah berfokus tentang tujuan hidup manusia terutama dalam konteks yang mengacu pada Westminster Catechism tentang Menikmati Allah dengan menggunakan pendekatan teologi Sukses vs teologi Penderitaan, sedangkan artikel Saudara (mudah-mudahan saya tidak salah menangkap) tengah berfokus pada pelurusan arti kelimpahan yang seringkali disalahartikan sebagai kelimpahan materi semata. Dengan menggunakan pendekatan teologi Kelimpahan vs teologi Kemiskinan.
 
Tapi kalau saya boleh mencoba menghubungkan apa yang disampaikan dengan baik tentang teologi Pelayanan, maka saya akan bertanya pelayanan seperti apakah yang akan membawa kita memuliakan Tuhan sekaligus menikmatiNya? Karena sudah jelas saya setuju dengan teologi Pelayanan dalam konteks yang dituliskan artikel yang indah itu (iya indah, karena yang dikatakan betul tentang pendewaan materi di masa kini). Buat saya, yang terpenting adalah tujuan hidup saya haruslah untuk memuliakan dan menikmati Allah di dalam aspek apapun. Hal yang masih terus saya gumuli untuk dilakukan.
 
Sekian dulu jawaban saya. Banyak poin yang bisa didiskusikan dari artikel itu, tapi akan terlalu melebar dari topik di posting ini. Jadi ayo menulis disini Saudara, bagikan pemikiranmu.
 
saya waskita's picture

my be

Yesus hendak mengajar manusia agar mereka tidak kuatir dengan apa yang akan mereka makan atau minum. Yang perlu mereka kuatirkan adalah apakah saudara mereka bisa cukup makan atau minum.

Some times life is simple. So... what's up Doc.