Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tangan kiri tak tahu

Purnomo's picture

Dalam sebuah ruang pameran seni rupa, ada sebuah kotak kayu dipajang. Di sisi depan tergambar salib, dan di sisi atas ada lobang memajang seperti mulut celengan. Setiap orang Kristen pasti tahu barang itu adalah kotak persembahan yang biasa diletakkan di pintu masuk ruang kebaktian. Tetapi yang membuat kening berkerut adalah di atas kotak itu diletakkan lampu darurat seperti yang biasa menempel di atas mobil ambulan. Dalam sunyi cahaya merah yang berkelebatan menghadirkan suasana mencekam.

 
Saya lupa nama seniman itu, tetapi saya yakin ia seorang Nasrani yang mengerti tentang persembahan. Mungkin ia mau bercerita tentang kotak persembahan di gerejanya yang sedang dalam keadaan darurat, alias kosong. Atau, ia mau bilang uang yang ada dalam kotak itu perlu segera dibawa ke rumah sakit karena terkontaminasi penyakit mematikan. Bisa juga lampu merah itu memperingatkan bahwa kotak persembahan itu berbahaya karena menyimpan ranjau di dalamnya.
 
Berhasil menyisihkan (bukan menyisakan) sebagian penghasilan untuk persembahan persepuluhan (selanjutnya disingkat ppsp) bagaikan memenangkan sebuah pertempuran besar. Pertempuran mengalahkan keinginan menikmati makanan yang lebih baik daripada biasanya; mengalahkan keinginan memperbanyak tabungan dengan lebih cepat; mengalahkan keinginan untuk menambah kwantitas dan kwalitas rekreasi keluarga; mengalahkan keinginan membeli baju baru; menolak ikut arus yang mengatakan ppsp sudah kadaluwarsa; bahkan – seperti yang pernah saya kisahkan – mengalahkan keperluan memperbaiki talang rumah yang bocor.
 
Kita datang ke gereja bagai prajurit yang menang perang. Uang ppsp di saku memberi rasa bangga. Bangga karena telah berhasil meletakkan perintah Allah di atas harta benda. Bangga karena telah berhasil menolak proposal ke-3 penguasa negeri perbudakan (Keluaran 10:24). Tapi manakah gemuruh tepuk tangan menyambut? Manakah decak kagum mengiring langkah? Tak tahukah mereka ada seorang pemenang melangkah masuk? Dunia tetap saja sunyi. Jadi?
 
Ranjau 1# : Identitas Diri
Diam-diam kita mengeluarkan uang ppsp yang telah kita bungkus rapi. Lalu, kita tulis sebuah nama di kertas pembungkusnya. Biarlah para penatua saja yang tahu kita telah berhasil memberikan ppsp.
Salahkah mencantumkan nama di sampul persembahan? Pertanyaan ini sering saya jawab dengan pertanyaan pula. “Apa salahnya tidak mencantumkan nama di sampul persembahan?” Tepatnya, apa ruginya?
 
Jika jumlah ppsp kita tidak melebihi ppsp orang lain (ini bisa diketahui bila gereja menerbitkan warta persembahan), pencantuman nama tidak menerbitkan masalah karena jumlah ppsp kita tidak mengejutkan penatua. Apakah kalau ppsp kita besar lalu penatua ramai-ramai datang ke rumah mengajukan permohonan kredit tanpa agunan tanpa batas waktu pengembalian? Kasus ini walau pernah terjadi, sangat amat jarang frekwensinya. Yang selalu terjadi adalah kita mendapat penghormatan VVIP.
 
Jika itu berbentuk tawaran menjadi penatua, masih belum berbahaya. Yang paling mengerikan adalah tidak ada orang yang berani menegur bila kita melakukan kesalahan atau berani berbeda pendapat dengan kita. Mereka kuatir kita berpindah gereja, yang berarti sumber pemasukan uang gereja berkurang. Mereka lebih memilih membiarkan kita berjalan salah daripada memukul kaki kita.
 
Koster gereja mengomel. “Mentang-mentang anak majelis, malam-malam pakai telepon gereja lamanya bukan main. Kalau untuk urusan komisi pemuda, silakan saja. Tetapi dia pakai untuk pacaran. Cekikikan, hahahihi. Aku risih mendengarnya.”
Di ruang tamu tempat tinggal koster yang menyatu dengan bangunan gereja, ada pesawat telepon. Setelah kantor gereja tutup, pesawat ini satu-satunya yang tetap diaktipkan agar dalam keadaan darurat jemaat tetap dapat menghubungi gereja.
Daripada mengomel, lebih baik kamu tegur saja ia,” saya berkomentar.
Persembahan bapaknya banyak tidak?”
Lho, apa hubungannya dengan persembahan bapaknya? Memangnya kalau setornya banyak, ia boleh sesuka hati pakai fasilitas gereja?”
 
Begitu mengetahui saya telah kembali ke kota kelahiran, seorang pendeta meminta saya bergabung dalam yayasan Kristen yang dipimpinnya. Para pengurus yayasan ini datang dari berbagai denominasi gereja. Pada rapat pertama yang saya hadiri, saya melihat beberapa hal yang salah dan tanpa peduli status saya sebagai new comer saya mengatakannya tanpa basa basi. Ini membuat orang terperanjat. Apalagi yang saya tentang adalah usulan atau ide yang datang dari para tokoh yayasan ini yang kaya raya dan punya kedudukan tinggi di gerejanya masing-masing. Ketika rehat untuk makan siang seorang dari mereka mendekati saya dan bertanya apa pekerjaan saya.
 
Saya salesman. Dulu saya bekerja di sebuah perusahaan. Sekarang saya freelancer,” jawab saya sambil tetap asyik makan. Ketika saya akan menjelaskan bahwa saya adalah salesman freelancer untuk Tuhan Yesus yang tidak terikat denominasi gereja tertentu, ia sudah mendahului dengan pertanyaannya,
Dagang emas, ya?” Saya tersedak mendengar pertanyaannya. Memangnya hanya orang kaya saja yang boleh menentangnya?
 
Ketika yayasan ini membentuk panitia Natal, saya ditugaskan mencari tempat untuk acara itu. Saya mendatangi beberapa gereja. Di gereja beliau yang mengira saya pedagang emas itu, saya melihat sebuah papan pengumuman di halamannya. Saya mendekatinya. Selembar kertas warta persembahan bulanan tertempel di situ. Nama beliau ada di urutan pertama. Angka yang mengikutinya membuat saya nyaris tak percaya. Tiga puluh lima juta rupiah! Pantas saja tidak ada orang yang berani berbeda pendapat dengannya di yayasan Kristen itu, kecuali orang sableng seperti saya ini.
Penghormatan yang berlebihan sebagai akibat besarnya ppsp kita itu tidak kita minta. Tetapi siapa sih yang tidak mengangkat topi melihat kita tetap taat memberi ppsp walaupun jumlahnya sudah mencapai deretan 7 angka, bahkan 8 angka? Apakah kita sanggup tetap rendah hati dalam kondisi seperti ini?
 
Ketika mengarsip sampul persembahan yang masuk, saya melihat tidak sedikit jemaat gereja saya yang tidak mempergunakan sampul persembahan yang dikirim ke rumah mereka. Sampul persembahan itu bernomor ID sehingga bisa dilacak nama jemaat itu. Mereka memakai sampul tak beridentitas. Atau, memberi persembahan dengan angka cantik, misalnya Rp.12.300, Rp.50.500, Rp.100.100,- atau Rp.1.234.500,- sehingga mudah ditengarai oleh pemberinya di warta persembahan.
 
Mereka mengamini “Tangan kiri tak tahu, apa laku yang kanan,” seperti pesan dalam buku nyanyian Kidung Jemaat no.433 (Matius 6:3). Sudahkah mereka yang berlaku demikian aman dari bahaya? Belum.
 
Ranjau 2# : Menempatkan ppsp di tempat tertinggi
Tangan kiri tak tahu, apa laku yang kanan” berarti jangan mengingat kebaikan yang pernah kita lakukan. Saya tidak tahu tepatnya sejarah kalimat ini. Mungkin, berkaitan dengan sebuah kegiatan di Bait Suci di Yerusalem saat itu. Di dalam Bait itu ada satu ruang yang disebut Ruang Sunyi, tempat orang mengaku dosa. Setelah selesai berdoa, mereka menaruh sejumlah uang di ruangan itu. Uang itu selanjutnya dikumpulkan oleh petugas dan dipergunakan untuk menolong orang miskin. Apakah si pemberi akan mengingat-ingat jumlah uang yang telah disumbangkan? Pasti tidak, karena mengingat jumlah persembahannya berarti juga mengingat “jumlah” dosa yang pernah ia lakukan. Bukankah itu pula yang Yesus maksudkan ketika Ia mengucapkan kalimat “tangan kiri tak tahu apa laku yang kanan”? Bagaimana kamu berani mengingat-ingat jumlah persembahanmu atau jumlah kebaikanmu kepada orang lain bila Aku tidak lagi mengingat atau mencatat dosa-dosamu?
 
Membuat catatan untuk diri sendiri mengenai jumlah ppsp yang diserahkan tidaklah salah. Siapa tahu Anda memilahnya menjadi 4 bagian untuk disetorkan satu bagian setiap Minggu karena bila disetorkan sekaligus bisa mengejutkan penatua. Dengan catatan ini kita tahu apakah pada akhir bulan sudah seluruh ppsp kita serahkan. Yang salah adalah apabila kita kemudian menyerahkan catatan itu kepada Tuhan ketika berdoa. “Ya Allah, saya bersyukur tidak seperti jemaat-Mu yang lain. Saya bersyukur tidak berselingkuh walaupun banyak kesempatan tersedia, tidak curang dalam berdagang, tidak serakah dalam mengumpul harta, sering berdoa-puasa, setia memberi persembahan persepuluhan” (saduran bebas Lukas 18:11,12).
 
Kita merasa lebih baik daripada orang lain. Diam-diam kita berpikir, “Sombong ‘kali cakap Purnomo ini. Apa sih yang sudah dilakukannya untuk Tuhan? Apa dia setia memberikan ppspseperti aku ini?” Mengapa kita terjebak dalam pemikiran ini? Karena kita menganggap keberhasilan memberikan ppsp adalah puncak prestasi rohani. Kita memandang rendah mereka yang melayani di bidang Pemuda, Sekolah Minggu dan Penginjilan. Kita menganggap para musisi gereja dan pelayan kebaktian lainnya tidak setara dengan diri kita.
 
Bagaimana mereka dapat disetarakan dengan saya? Bukankah mereka bisa melakukan kegiatan pelayanan karena ada uang yang berasal dari ppsp saya? Tentunya ini tidak saya ucapkan. Tetapi cukup berupa bisikan dalam kalbu agar saya tetap termotivasi untuk memberikan ppsp saya. Self-motivation, kata psikologi.
 
Motivasi-diri seperti ini perlahan menuntun kita masuk ke ranah keangkuhan. Kita tidak mau melakukan pelayanan yang membutuhkan tenaga dan waktu kita. “Sudahlah, biar mereka-mereka saja yang melakukan misi penginjilan itu. Jika biayanya kurang, katakan saja biar saya tutup.” Dalam organisasi gereja kita menjadi hamba Tuhan “white collar” tingkat manajer sementara yang lain adalah hamba Tuhan “blue collar” alias kuli.
 
Ranjau 3# : Sukma sirna karena biasa
Lepas dari 2 ranjau itu, belum berarti keadaan telah aman. Kita bisa memberi ppsp dengan diam-diam. Kita tetap low profile sehingga tidak ada seorang pun yang tahu keberhasilan ini. Setiap bulan kita segera menyisihkan 10% dari penghasilan. Sehingga, lama kelamaan ppsp bukan lagi sebuah beban. Bahkan sudah menjadi sebuah rutinitas sehingga tidak lagi menuntut pergumulan batin dan kita lupa semangat ppsp itu. Rasanya ppsp seperti tambahan pajak penghasilan saja yang otomatis dipangkas dari gaji kita. Akhirnya, kita kehilangan rasa sukacita dalam memberi karena memberi bagi kita sudah berubah menjadi sebuah tugas, atau kewajiban, atau rutinitas belaka. Ranjau ini meledak menghancurkan diri, mematikan rasa, melenyapkan sukma.
 
Mengapa ini terjadi? Karena ketika kita mulai berusaha memberi ppsp, pergumulan yang kita alami bukan alang kepalang beratnya. Segenap pikiran, hati dan semangat kita pusatkan untuk mengalahkan godaan untuk tidak memberi ppsp. Perjuangan ini membuat kita lupa melakukan hal-hal lain untuk Tuhan. Pergumulan dalam memberi ppsp bagai sebuah pertempuran yang menyita seluruh perhatian kita sehingga kita lupa masih banyak pertempuran-pertempuran lain yang harus kita hadapi kemudian. Kita terjebak dalam pengertian yang salah bahwa memberi ppsp adalah satu-satunya cara berterima kasih kepada Tuhan Yesus. Setelah berhasil membiasakan diri memberi ppsp, kita tidak melakukan apa-apa lagi. Bagai pendaki gunung kita sudah puas telah sampai ke pos satu. Kita duduk di depan tenda menikmati keindahan panorama. Kenyamanan seperti inilah yang membuat Yesus mengritisi ppsp ketika Ia hidup sebagai manusia di tengah bangsa Yahudi.
 
Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukandan yang lain jangan diabaikan” (Lukas 11:42).
 
Menurut saya, mempersembahkan ppsp adalah perintah tingkat pemula karena melibatkan 2 pribadi saja. Yaitu Allah dan kita. Jika kita belum berhasil melakukannya, tidak ada akibatnya bagi orang lain. Gereja juga tidak akan ambruk kalau kita belum bisa menyetor ppsp.
 
Seharusnya, setelah berhasil di tingkat pemula kita harus masuk ke tingkat lanjutan melaksanakan perintah yang melibatkan 3 pribadi: Allah, kita dan orang lain. Roma 12:1 (BIS) “Saudara-saudara! Allah sangat baik kepada kita. Itu sebabnya saya minta dengan sangat supaya kalian mempersembahkan dirimu sebagai suatu kurban hidup yang khusus untuk Allah dan yang menyenangkan hati-Nya. Ibadatmu kepada Allah seharusnya demikian.” Mempersembahkan diri berarti memberikan apa yang kita miliki. Tidak hanya uang, tetapi juga pikiran, waktu, tenaga dan perasaan.
 
Menyediakan diri sebagai petugas penyambutan di pintu masuk ruang kebaktian, boleh dijadikan langkah awal. Mudah, tanpa perlu ketrampilan khusus. Datang 30 menit lebih awal, berpakaian rapi, memasang senyum. Jika posisi ekonomi Anda ada di atas, pasti banyak jemaat yang merasa senang Anda salami. Sebaliknya, bila posisi ekonomi Anda pas-pasan, pasti banyak juga yang mengagumi Anda. “Luar biasa. Walaupun setiap hari kamu sibuk cari duit, masih sempat-sempatnya aktif di gereja. Minggu depan saya ikutan boleh nggak?”
 
Kelanjutan kegiatan ini ada dua. Pertama, responsif, tetap bertugas sebagai penyambut jemaat pada Minggu berikutnya. Kedua, proaktif, mulai mengunjungi jemaat yang sakit. Mana yang kita pilih, hasilnya adalah kita mengenal banyak saudara seiman dan pergumulan hidupnya. Pada saat itulah kita akan melihat ppsp kita selama ini telah menjadi berkat bagi banyak orang. Dan sukacita dalam memberi ppsp akan kembali dalam jiwa kita, karena kita sekarang bisa melihat Tuhan berkenan melakukan mukjizat melalui diri kita. Bagai persembahan 5 ketul roti jelai (jelai adalah “gandum”nya orang miskin) dan 2 ekor ikan seorang anak yang diberikan dengan tulus kepada Tuhan Yesus, ketulusan kita dalam memberi ppsp bersama diri kita, juga mengenyangkan banyak jiwa yang lapar. Persembahan yang dilambari rasa syukur dan kasih kepada Tuhan Yesus pasti menerbitkan sukacita yang besar. Bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain.
 
Sudahkan Anda mengalaminya?
 
(the end)
 
Memberi itu tidak gampang,
bag.6 – Tangan kiri tak tahu
Dalam menulis serial artikel “Memberi itu tidak gampang”, ada beberapa kesaksian yang saya pangkas agar artikel-artikel itu lebih langsing dan fokus. Potongan-potongan lepas itu saya kumpulkan dalam bagian ini. Siapa tahu “remah-remah” ini masih ada manfaatnya.

 

joli's picture

Sukma sirna karena biasa

Dalam hal memberi menjadi kebiasaan.. bukan berarti si sukma sirna.. justru ketika sudah menjadi kebiasaan itulah tangan kiri sudah tidak perlu mengintip lagi apa yang dilakukan tangan kanan.. si sukma sudah blended sehingga tidak perlu muncul berjuang namun bukan berarti si sukma sirna..

Daniel's picture

kurang tantangan

kalau sesuatu sudah menjadi kebiasaan, itu artinya sudah tidak menarik lagi, sehingga... tantangan harus ditingkatkan lagi... minta Tuhan untuk menambah tantangannya dong, sehingga yg biasa jadi tidak biasa lagi... :)

joli's picture

malas ah..

Justru  yang suka memberi tantangan  adalah  "yang diatas" alias yang berjabatan di atas atau "yang diurapi".. itu adalah tantangan yang tidak menantang..

Purnomo's picture

@Daniel: tantangan kok diminta

Saya kenal seorang yang mencari nafkah membuka toko elektronik. Ia setia memberi ppsp. Ketika usahanya makin maju, ia menaikkan prosentasi persembahannya secara bertahap. Ia kemudian mengembangkan usahanya ke bidang konstruksi. Dan persembahannya sampai pada suatu saat ia tiba pada angka 50%.

Ia tidak lagi menyetorkan persembahannya kepada gereja. Ia menyimpannya di sebuah rekening bank. Hasilnya? Beberapa tahun kemudian ia mendirikan sebuah gereja yang diserahkan kepada sebuah denominasi.

Ia pasti telah menetapkan (sendiri) tantangannya. Seperti kata Joli, kalau tantangannya diminta, pasti akan diberikan oleh yang di atas (mimbar).

Kita juga bisa membuat sendiri tantangan untuk diri kita. Misalnya, tahun ini saya mau membiayai sekolah 1 anak dari keluarga kurang mampu selama 1 tahun. Atau, tahun ini saya harus bisa melengkapi sebuah PPA dengan perpustakaan buku-buku bekas.

GBU

 

Purnomo's picture

@Joli - Sukma sirna

Joli wrote: : ".. bukan berarti si sukma sirna.. "

Terima kasih untuk koreksinya. Yang ingin saya maksudkan dengan kata "sukma" adalah semangatnya.

 

antisehat's picture

@purnomo: STRESS

helo purnomo, ikutan comment yaaa...

persembahan yang diinginkan Tuhan adalah tubuh kita,
supaya persembahan kita jadi the best...
tubuh kita harus selalu dalam kondisi prima,

supaya tubuh prima, tidak boleh STRESS,

perhatikan organ HATI kita...
stress artinya tubuh overloading information...
to much information...

karena kelebihan sesuatu, makanya harus memberi...
cara paling manjur mengusir stress adalah
dengan setia memberi... PERPULUHAN.

__________________________

giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt

www.antisehat.com

 

Purnomo's picture

@antisehat: obesitas memang berbahaya

Karena itu agar tidak kena obesitas tidak ada salahnya mengurangi makan di resto 1 kali saja dalam 1 bulan. Nah, uang yang tidak jadi dibelanjakan itu bisa dimasukkan ke dalam amplop untuk diserahkan ke gereja sebagai "persembahan khusus".

      Jika lagi sebel dengan gereja, uang itu bisa dibelikan "nasi kucing" untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak jalanan, pengamen, atau tukang parkir. Kalau tidak mau repot, ya setorkan saja ke panti asuhan yang miskin.

GBU