Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Stasiun

y-control's picture

Memang baru beberapa stasiun saja yang pernah kusinggahi. Itupun baru setelah aku kuliah di luar kota, sebelum itu praktis aku bahkan tak pernah menginjakkan kaki sama sekali di tempat dimana orang menanti si naga besi. Ada empat buah kota yang stasiunnya pernah kujejaki. Yang pertama tentu adalah stasiun Balapan di Solo, kedua adalah stasiun Gubeng di Surabaya, ketiga stasiun Tugu dan Lempuyangan di Jogja dan terakhir adalah stasiun Gambir di Jakarta. Memang hanya empat itu yang pernah kuinjak, namun dari setiap perjalanan ke tempat-tempat itu, ada cukup banyak stasiun yang bisa kulihat dari balik jendela kereta api.

Aku tidak akan membahas secara spesifik stasiun-stasiun tersebut, aku lebih tertarik melihat stasiun dari kejauhan, dimana aku bisa melihat posturnya secara utuh. Apa yang kau akan lakukan di stasiun? Apakah kau akan berusaha menghabiskan waktu sesingkat mungkin disana dengan datang hanya beberapa detik sebelum kereta berangkat? Aku tidak demikian, aku bukan termasuk yang suka bertaruh menantang waktu dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di jalan ketika berangkat dari rumah menuju ke suatu tempat. Biasanya paling tidak aku akan datang 10 menit sebelum jadwal berangkat kereta yang tercantum di tiket. Ya, aku pun memang tak mau bertaruh dengan membeli tiket pada hari H sebelum berangkat.

Sebagaimana perhentian-perhentian kendaraan lainnya, stasiun juga selalu hitam. Penuh dengan bekas asap, dengan lantai berlapis campuran debu dan minyak, aromanya bercampur antara asap capek mesin-mesin kereta, bau kelelahan dari para penumpang yang turun, bau semangat dari para penumpang yang sedang menunggu untuk berangkat, namun tak jarang para penumpang yang sedang menunggu pun telah membawa aroma lelahnya. Dan stasiun juga bukan hanya milik para pengguna layanan kereta saja, stasiun juga adalah milik para pedagang asongan, milik para petugas yang tergabung dalam perusahaan jawatan kereta api, milik para pengangkut barang, milik para penjaga kios-kios, milik para preman dan pencopet, milik para penjemput, para sopir taksi, becak, ojek, dan beberapa pemain lainnya.

Aku sering membayangkan bahwa stasiun sebagai sebuah bangunan yang sangat ramai, dimana keramaian itu sebenarnya hanya bertumpu pada beberapa buah mesin-mesin pengangkut besar. Jika kereta diibaratkan sebagai seekor ular besar, maka stasiun mungkin adalah sebuah sarang atau wilayah dimana ia berburu, sementara manusia-manusia yang ada disana bisa berperan sebagai mangsa maupun anak-anak ular yang menanti induknya.

Aku tak tahu kenapa stasiun juga selalu tak memiliki cukup banyak bangku atau tempat yang bisa dipakai untuk duduk, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bandara atau bahkan terminal bus. Dan di antara semuanya itu adalah ruang tunggu kelas eksekutif. Aku memang baru dua kali naik kelas eksekutif. Setiap kali aku lebih memilih naik kelas bisnis karena beberapa keunggulannya. Karena hanya mengantongi kelas bisnis itulah, aku selalu hanya bisa melirik dari luar pintu ruang tunggu eksekutif. Ruang itu memang kelihatan lebih lapang, dengan banyak kursi selain juga tampak lebih segar namun sepertinya udara di situpun masih tetap telah bercampur aroma minyak dan asap mesin (atau mungkin juga itu karena pengaruh nuansa gordyn hijaunya). Saat berkesempatan mengantongi tiket eksekutif, aku juga lebih memilih menunggu di luar, bukan karena apa-apa hanya karena aku selalu khawatir akan ketinggalan kereta jika aku tidak benar-benar memperoleh pemandangan seluas-luasnya ke arah rel jalur perhentian.

Stasiun, seperti telah kusebutkan di atas, juga adalah lahan kerja bagi cukup banyak orang. Ada penjual asongan yang menjual barang-barang umum macam rokok, korek, air minum, kue kecil, permen, tissue, buku TTS dan koran. Ada pula penjual oleh-oleh yang biasanya berupa makanan khas daerah itu, jika punya. Di Solo dan Jogja misalnya berupa bakpia patuk atau intip, di Madiun dan sekitarnya kau bisa temukan penjual pecel, di Surabaya ada penjual snack-snack daerah seperti usus emping dsb, sayang aku tak sempat melihat apa yang ada di Jakarta. Beberapa tahun belakangan, aku juga melihat ada yang baru yaitu penjual kopi atau minuman instan lain yang sudah jadi. Jadi penjualnya hanya cukup membawa termos berisi air panas, satu renteng minuman instant bungkusan, dan beberapa gelas plastik. Kau minta, ia pun membuka satu bungkus, dituang air panas, jadi sudah. Benar-benar instant, tapi aku belum pernah mencoba rasanya. Setiap stasiun, atau paling tidak stasiun utama di sebuah kota juga selalu memiliki sebuah stan penjualan donat. Entah sejak kapan hal ini berlangsung. Stan penjualan donat yang penyajian atau namanya selalu dibuat semirip mungkin dengan restoran franchise internasional Dunkin Donuts itu nampaknya juga telah menjadi sebuah jaringan franchise lokal. Stan ini jugalah yang menjadi salah satu favoritku. Maka jika uang mencukupi akupun selalu tak lupa membeli 3-4 donat yang rasanya memang tak beda dengan yang bisa dibeli di Dunkin itu, untuk dimakan di tempat atau di jalan, tak peduli pula apakah aku dalam posisi hendak berangkat atau sudah pulang.

Sebuah stasiun yang bagus untukku adalah stasiun yang dimana aku bisa duduk di mana saja, bahkan tidur di situ tanpa merasa aneh, asing, atau khawatir. Dari beberapa saja stasiun yang pernah kudatangi atau lewati, Gubeng mungkin yang bagus disusul Tugu, sedang yang paling jelek adalah Gambir. Stasiun ibukota itu memang yang paling tidak nyaman bagiku; ramai, terburu-buru dengan banyak tatapan mata menakutkan bertebaran di sekitar. Apakah itu mungkin juga karena kota itu sendiri adalah yang paling asing bagiku dibanding yang lain, bisa jadi itupun mempengaruhi.

Sudah lumayan lama, berbulan-bulan aku tidak pernah mengunjungi stasiun lagi. Aku jadi ingat dengan julukan yang kami, para calon sarjana waktu itu, berikan pada stasiun: sebuah titik untuk orang-orang pergi, atau rumah bagi orang-orang pergi. Sebutan yang ingin melukiskan keutamaan sekaligus kaburnya arti tempat bernama stasiun. Dan setahun lebih ini aku bukan lagi orang pergi, bahkan untuk sekedar berwisata sekalipun. Meski demikian aku tetap selalu ingin kembali, masih dalam rangka mencari-cari di mana sebenarnya rumahku.

Indonesia-saram's picture

Cerita Stasiun

Memang menyenangkan bila kita membicarakan stasiun. (Ah, sebenarnya bicara apa pun dapat menjadi menyenangkan kok.) Dalam hal ini, memang saya sendiri baru menikmati perjalanan dengan kereta api tahun lalu, ketika hendak ke Jakarta dari Tugu Yogyakarta. Pengalaman pertama seumur hidup, meskipun di Medan juga ada stasiun kereta api yang akan membawamu ke kota lain, misalnya Siantar. Karenanya, itu pengalaman yang amat berharga. Menyenangkan.

Gambir? Hmm, jangan salah sangka. Gambir masih lebih bagus daripada ... Jatinegara. Untuk pertama kalinya saya turun di stasiun lain, ya di Jatinegara itu. Buseeeet, kecil dan penuh sesak.

Ada lagi Stasiun Jakarta Kota. Lebih besar memang daripada Gambir, tapi jangan salah pula. Gambir masih jauh lebih teratur daripada stasiun yang letaknya memang di pusat kota itu, yang memang arsiteknya warisan Belanda banget.

Bagaimana di Medan? Hmmm, tidak besar. Meski saya belum sekalipun masuk, saya sering sekali melintasinya. Terletak dekat sekali dengan Lapangan Merdeka, tidak jauh dari Mal Paladium dan Kantor Walikota, stasiun itu pun dari luarnya tampak kurang bersih. Tapi yang menarik di sana adalah adanya lokomotif tua yang dipasang nangkring di sebelah kanan stasiun yang diusung di tempat yang cukup tinggi. Nah, mungkin Anda harus mencoba main-main ke Medan. Siapa tahu rumahmu itu sebenarnya di Medan.

"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.