Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SOS BOPKRI

Purnawan Kristanto's picture
Selama dua dekade terakhir, sekolah-sekolah yang dinaungi oleh Yayasan Bopkri menurun jumlahnya secara signifikan. Di Gunungkidul, saya mencatat ada beberapa sekolah BOPKRI yang gulung tikar karena kekurangan murid.
1. SPG BOPKRI Ponjong
Ketika pemerintah menetapkan keputusan untuk menutup semua Sekolah Pendidikan Guru (SPG), maka senjakala terhadap sekolah ini mulai terbit.
Meski kemudian sempat diubah menjadi SMA BOPKRI Ponjong, namun umurnya tidak berlangsung lama. Sisa-sisa peninggalan sekolah ini masih  terlihat di desa Susukan, Ponjong berupa gedung sekolah.
 
2. SMA BOPKRI Wonosari
Pada awalnya, sekolah ini masih menumpang di gedung SMP Bopkri Wonosari, di jalan Sumarwi. Mereka masuk pada sore hari. Setelah itu mereka memiliki gedung sekolah sendiri di pinggiran kota. Tepatnya di desa Selang, kecamatan Wonosari. Mereka masuk pagi. Namun mulai tahun 1990-an, kondisinya mulai sekarat hingga akhirnya tutup usia pada menjelang pergantian abad ke 21. Menurut dugaan saya, pengelola sekolah telah melakukan dua blunder:
Pertama: Dengan memindahkan sekolah tersebut ke pinggir kota yang sulit dijangkau oleh angkutan umum. Beberapa murid harus berjalan sejauh 2 km untuk mencapai sekolah tersebut.
Kedua: Dengan memindahkan jam belajar menjadi pagi hari. Sebelumnya, mungkin SMA BOPKRI adalah satu-satunya sekolah SMA yang sekolah pada sore hari. Dalam istilah marketing, sebenarnya sekolah ini telah menciptakan segmennya tersendiri. Sebagai contoh, bulik saya sengaja disekolahkan di sana karena pada pagi hari harus membantu pekerjaan rumah tangga sementara anggota keluarga yang lain bekerja pada pagi hari. Dengan memindahkan jam sekolah pada pagi hari, maka unique selling menjadi hilang.
3. SD BOPKRI I Wonosari
Pada mulanya, gedung sekolahnya masih satu kompleks dengan SMP BOPKRI Wonosari. Namun karena SMP membutuhkan ruang yang lebih luas, maka gedung sekolah SD digusur masuk ke dalam kampung, sekitar 800 meter. Keputusan ini juga kurang bijak karena menjauhi rumah-rumah warga yang selama ini menyekolahkan anak ke SD BOPKRI. Dampaknya mulai terasa beberapa tahun kemudian ketika mereka kesulitan mendapatkan murid. Setelah itu, sekolah ini pun berakhir mengenaskan. Sekolah ini ditutup, sementara guru-gurunya digabungkan ke SD BOPKRI II yang jaraknya hanya sekitar 400 meter dari situ. Kini, aset-aset gedungnya masih berdiri dan digunakan sebagai asrama siswa SMP BOPKRI.
Lalu bagaimana nasib sekolah BOPKRI lain di Gunungkidul? Saat ini SD BOPKRI II Wonosari masih beroperasi tapi setiap tahun ajaran baru, para gurunya harus kebat-kebit karena kesulitan mendapatkan murid. Salah satu kiat yang digunakan untuk menarik minat siswa adalah dengan menggratiskan SPP bagi keluarga kurang mampu.
Sedangkan SD BOPKRI di Padangan harus bersaing dengan sekolah Muhammadiyah di sana. Lokasinya ada di pelosok Gunungkidul. Dari kota Wonosari ke arah Selatan sekitar 40 km, atau perjalanan sekitar satu jam perjalanan. Dapat dikatakan, sekolah ini merupakan ujung tombak dari pekabaran Injil di Gunungkidul. Sayangnya, pelaksanaan belajar-mengajar hanya dilakukan sekadarnya saja. Artinya sekadar bisa bertahan hidup saja.
Sebagai contoh, selama ini sekolah ini ternyata tidak memiliki sarana kamar mandi dan WC. Jadi jika siswa kebelet buang air kecil atau besar, maka mereka [maaf] membuang hajat di ladang belakang sekolah. Setelah gempa, ada lembaga pelayanan Kristen, yaitu PERKANTAS, yang tergerak untuk membantu. Saat ini mereka membutuhkan seperangkat alat drum band. "Yang bekas pun nggak apa-apa" kata ibu Kismi, sang Kepala Sekolah. "Jika ada drum band, maka anak-anak akan tertarik untuk bersekolah di sini."
Kalau SD Padangan ada di pinggir selatan Gunungkidul, maka di sebelah utara kabupaten berkapur ini terdapat SD BOPKRI Watusigar. Sekolahnya cukup unik karena dipisahkan oleh sungai. Untuk kelas 1-3, ada di sebelah utara sungai, sedangkan sisanya ada di sebelah selatan sungai. Celakanya jika sungai sedang banjir. Siswa tidak bisa bersekolah karena belum ada jembatan untuk menyeberang. Empat tahun yang lalu, ketika saya berkunjung ke sana, kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Kerangka atap sudah lapuk. Sewaktu-waktu bisa ambruk. Bahkan ada beberapa bagian yang sudah patah. Kondisi ini sudah dilaporkan kepada pemerintah dan yayasan BOPKRI, tetapi belum ada tanggapan. Semoga saja keadaan sekarang sudah lebih baik.
 
Oh, ya ada satu lagi SD BOPKRI di Kulonprogo yang pernah saya kunjungi bersama tim penerbit Gloria. Lokasinya ada di pegunungan Menoreh, berbatasan dengan kabupaten Purworejo. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan mobil off-road karena jalannya masih berbatu dan licin. Jika kurang hati-hati, bisa masuk jurang yang sangat dalam. Kondisi gedungnya masih bagus, namun kesejahteraan guru-gurunya tidak mendapat perhatian yang cukup. Padahal setiap hari mereka harus meniti punggung gunung, menantang bahaya, untuk dapat mencerdaskan dan mengenalkan anak-anak kepada Kristus.
Itulah keadaan sebagian sekolah BOPKRI. Sejauh yang saya tahu, sejauh ini belum ada terobosan signifikan yang dilakukan oleh pengurus yayasan BOPKRI pusat. Mungkin mata mereka disilaukan oleh kecemerlangan prestasi sekolah-sekolah BOPKRI di kota Jogja. Akan tetapi sekolah-sekolah yang ada di pinggiran sudah hampir mengibarkan bendera putih.
Sebagai alumni BOPKRI saya prihatin melihat kondisi ini. Jika ada kesempatan, saya berusaha untuk menyumbang untuk sekolah ini. Misalnya dengan mencarikan orangtua asuh, donatur, atau alat-alat sekolah bekas dari kota besar. Ada banyak alat-alat sekolah yang sudah diafkir oleh sekolah-sekolah favorit di Jakarta. Daripada mangkrak, alangkah baiknya jika alat-alat itu disumbangkan ke sekolah di Gunungkidul. Contohnya, ada banyak buku tulis yang tidak dipakai lagi oleh SD Petra Surabaya. Padahal belum pernah dipakai sama sekali. Lembaran halamannya masih kosong. Ketika buku itu saya bagi-bagikan ke SD BOPKRI, ternyata mereka menerimanya dengan penuh syukur.
Kini saatnya bagi BOPKRI untuk bangkit atau tidak sama sekali. Harus ada perombakan besar-besaran. Pengurus yayasan BOPKRI seharusnya dipegang oleh orang profesional yang berkompeten. Selain itu perlu juga digalang solidaritas dari alumni BOPKRI. Setidaknya ada Pongki Jikustik dan Mendagri Mardiyanto pernah mengecap pendidikan Kristen ini.

 

Judul Komentar : Mungkin SD BOPKRI Kulonprogo
Pengirim : erick
Tanggal : Sun, 14 Dec 2008 23:27:37 +0700
Komentar :

SD BOPKRI di Kulonprogo yang pernah saya kunjungi bersama tim penerbit Gloria. Lokasinya ada di pegunungan Menoreh, berbatasan dengan kabupaten Purworejo. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan mobil off-road karena jalannya masih berbatu dan licin. Jika kurang hati-hati, bisa masuk jurang yang sangat dalam. Kondisi gedungnya masih bagus, namun kesejahteraan guru-gurunya tidak mendapat perhatian yang cukup. Padahal setiap hari mereka harus meniti punggung gunung, menantang bahaya, untuk dapat mencerdaskan dan mengenalkan anak-anak kepada Kristus.

Entahlah mungkin SD BOPKRI ini yang pernah aku kunjungi beberapa tahun yg lalu. Kami 1 tim pergi kesana dalam misi pelayanan. Satu hal yang kuingat dan tak terlupakan adalah minibus L300 kami harus 2X ganti ban karena batu-batu spanjang jalan membuat ban kami pecah, saat menuju kesana. Dan hal tersebut membuat kami harus berjalan super hati-hati ketika pulang menuruni jalan berbatu.

 

 


Judul Komentar :

Penyebabnya tidak sesederhana itu

Pengirim :

kristenberea

Tanggal :

Sun, 14 Dec 2008 23:33:35 +0700

Komentar :

Banyak faktor dan kendala yang menyebabkan Sekolah BOPKRI dalam keadaan darurat mau pada bubar.

  • Hal ini memang disengaja oleh pihak-pihak tertentu. Dulu, semasa Sekolah BOPKRI masih jaya banyak guru DPK yang dikirim bukan yang beragama Kristen. Ada indikasi bahwa guru-guru yang dikirim ini sengaja untuk melemahkan sekolah yang bersangkutan. Di Bantul, pada saat masa pendaftaran murid baru, ada spanduk yang sengaja dipasang di sekitar sekolah BOPKRI yang bertliskan "HARAM HUKUMNYA BAGI SISWA YANG BERSEKOLAH DI SEKOLAH KRISTEN".
  • Keberhasilan Program KB juga ikut mendorong bubarnya banyak sekolah, termasuk sekolah BOPKRI. Bukankah saat ini banyak SD yang digabung? Di Gunungkidul sudah ada beberapa SMA Negeri yang mau tutup karena hanya punya siswa baru belasan orang.
  • Dari pihak orang Kristen sendiri, pada umumnya orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah-seko
    lah negeri yang favorit ketimbang ke sekolah BOPKRI. Mereka lebih bangga anaknya sekolah di negeri ketimbang ke BOPKRI.
  • Orang-orang di Yayasan BOPKRI dan pimpinan sekolah kurang ulet dalam mencari peluang-peluang untuk mengembangkan sekolahnya. Contoh kasus. Dulu sewaktu di Jogja "kebanjiran guru-guru eksodus dari Tim-Tim tidak ada kepala sekolah BOPKRI yang aktif mencari guru-guru yang beragama Kristen untuk mengajar di sekolahnya atau mengganti guru yang non Kristen. Justru yang aktif mencari tambahan guru adalah dari sekolah negeri walaupun jumlah gurunya sudah memenuhi. Padahal Kanwil memberi kebebasan baik guru dari Tim-Tim maupun sekolah untuk mencari sekolah dan mendapatkan guru dari Tim-Tim. Hasilnya banyak guru Kristen yang mendapat sekolah di Negeri dan guru non Kristen mendapat sekolah di BOPKRI.
  • Pihak Yayasan dan Sekolah kurang bahkan tidak pernah melakukan koordinasi dengan gereja-gereja yang mempunyai warga jemaat yang berprofesi sebagai gu
    ru. Contoh kasus : gereja ditempat saya mempunyai warga sebagai guru kurang lebih 10 orang yang sebenarnya mau membantu sekolah BOPKRI meski imbalannya sangat kecil. Namun potensi yang luar biasa ini tidak pernah "dikarohke". Tetapi sekarang ketika keadaan darurat, pihak yayasan baru mengajak gereja untuk ikut "cawe-cawe".

Dengan demikian, untuk mengembalikan masa kejayaan sekolah BOPKRI, dubutuhkan orang-orang yang ulet, tahan banting, mau tombok,  dan tidak kenal kompromi, serta orang yang pandai mencari peluang di tengah kesempitan. dan kalau tidak ada orang yang demikian ... lebih baik banting stir saja..


Judul Komentar :

Aku juga sedang gelisah........

Pengirim :

Liesiana

Tanggal :

Mon, 15 Dec 2008 22:04:14 +0700

Komentar :

Saat ini aku juga sedang gelisah, karena mendapat kabar bahwa sekolah tempat aku bersekolah dulu di SMA Masehi Pekalongan keadaannya tidak baik dan sangat menurun.

Aku berpikir apa yang bisa kuperbuat untuk ambil bagian memperbaiki keadaan ini. Ada beberapa kakak kelas yang juga akan bertindak memperbaikinya. Sekolah itu adalah satu-satunya sekolah kristen di Pekalongan, sekolah kristiani yang lain adalah sekolah katholik. Aku menyayangkan kabar bahwa GKI dan GKJ  yang tidak seia sekata dalam pengelolaan sekolah ini.


Judul Komentar :

Mungkin tempat yang sama

Pengirim :

Purnawan Kristanto

Tanggal :

Tue, 16 Dec 2008 09:35:14 +0700

Komentar :

Mungkin kita mengunjungi tempat yang sama. Tempatnya sangat tinggi, hingga kita bisa melihat laut Selatan dari puncak gunung ini. Kalau datang ke sana sebaiknya pas musim durian. Harganya pasti sangat murah. Kalau mau kulakan manggis atau nanas, bisa juga ke sana. Kalau sedang musim panen, buah nanas hampir tidak ada nilianya di sana. Cuma dipakai untuk pakan sapi. Bayangkan, sapi makan nanas!!!

Dari kunjungan itu, saya melihat ada satu murid yang menderita Hidrocephallus. Melalui dompet kemanusiaan majalah BAHANA, akhirnya anak ini mendapat bantuan pemasangan selang di otaknya sehingga dapat menyalurkan cairan di kepala ke lambungnya.

Oh, ya....kalau ada di antara pedagang pasar Klewer yang tahu ada anak kecil yang menderita Hidrocephallus, silakan hubungi yayasan Hidrocephallus di R.S. Sardjito Yogyakarta. Di sana ada bantuan operasi gratis, sampai tuntas. Jika ada anak yang menderita katarak, ada juga yayasan yang membantu pengobatan katarak. Namanya saya lu
pa. Kantornya di jl. Kaliurang. Saya pernah ke sana. Mereka memberikan bantuan operasi dan pendampingan gratis. Syaratnya harus masih anak-anak/bayi

Purnawan Kristanto

Visit my web!


Judul Komentar :

Sharing

Pengirim :

Purnawan Kristanto

Tanggal :

Tue, 16 Dec 2008 09:42:34 +0700

Komentar :

Kondisi serupa pernah terjadi di Klaten juga. SD dan SMP Kristen pernah menjadi sekolah swasta paling favorit di Klaten. Namun karena terlena, pamornya mulai memudar.

Tiga tahun belakangan ini para stake holder mulai sadar. GKI dan GKJ bekerja sama untuk mengembalikan kejayaan itu. Kami membentuk sebuah komisi yang bertugas mengupayakan kemajuan sekolah. Di dalam tim ini, ada seorang pengusaha menengah yang sangat antusias dalam bekerja. Dia adalah alumni sekolah ini. Segala pikiran dan tenaga dicurahkan di sana. Lalu ada dua pensiunan guru yang juga dapat mengimbangi semangat sang pengusaha.

Mereka bolak-balik ke Jakarta, Surabaya dan Singapura untuk mengupayakan bantuan. Kami mendapat sokongan dari Gereja Prebestarian di Singapura. Mereka mengundang guru-guru ke Singapura untuk melakukan studi banding sekolah Kristen di sana. Selain itu, setiap guru juga mendapat pelatihan secara rutin.

Hasilnya mulai nampak di SD Kristen. Sekolah ini mulai kelebih
an pendaftar murid baru. Prestasinya di tingkat kabupaten cukup benderang. Sayangnya, sebulan terakhir mereka diterpa badai pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu oknum guru. Saat ini pelakunya sudah mengundurkan diri.

Purnawan Kristanto

Visit my web!

__________________

------------

Communicating good news in good ways