Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Si Lawung

anakpatirsa's picture

Tidak bisa kuhindari lagi. Sudah dua hari main kucing-kucingan, tetapi akhirnya panggilan namaku itu terdengar juga. Seruan "Hei, sini!" itu tergiang di telinga. Tidak ada gunanya pura-pura tuli. Jadi, aku menoleh jengkel. Ulangan sudah selesai, seharusnya aku bisa menikmati minggu tenang menunggu pembagian rapor. Panggilan itu merupakan awal pupusnya ketenangan. Tidak bakalan bisa kunikmati suasana santai menunggu libur. Tidak bisa kutonton siswi SMKK menjagai stand mereka. Padahal ini kesempatan langka. Di STM, hanya ada sepuluh siswi, membuat mereka bertingkah seperti lebah ratu.

Minggu depan akan ada pergantian suasana, ada pekan kejuruan. Sekolah kejuaran dari seluruh pelosok propinsi membawa barang kebanggaan masing-masing. Rakitan rongsokan mesin, meja kayu tanpa garis sambungan, hingga rangkaian bohlam lampu natal bakalan menghiasi sekolah kami. Saat ini mereka sedang menyulap kelas menjadi ruang pameran. Sejak Kamis lalu, aku menonton persiapan ini sambil main kucing-kucingan dengan guruku, terutama wakil kepala sekolah.

Hari pertama selesainya ulangan kulewati dengan damai. Beberapa orang memang berkata, "Hei, Pak Dani mencarimu." Membuatku sempat takut. Pak Dani, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan mencariku berarti masalah. Membuatku mencoba mengingat, kesalahan mana yang kira-kira menyerempet bahaya. Meretakkan kaca jendela? Rasanya bukan! Tidak ada saksi mata. Kejadiannya juga sudah sebulan dan satu kelas telah dihukum. Menggergaji papan peti mati terlalu pendek? Seharusnya masalah ini juga sudah beres. Toh penghuninya tetap muat di dalamnya. Dan seandainyapun mereka memang masih mau mengungkitnya, ini bukan urusan Pak Dani lagi. Ini urusannya wakil kepala sekolah bagian kurikulum.

"Kamu ikut Lomba Ketrampilan Siswa," jawab ketua kelas saat kutanya alasan Pak Dani mencariku.

Entah siapa yang kerasukan setan, memilihku ikut lomba ini. Aku memang sudah tahu ada lomba saat pameran nanti, tetapi tidak pernah bermimpi masih ada orang kesurupan. Satu-satunya lomba yang pernah kuikuti adalah lomba upacara bendera. Waktu kelas lima SD, kepala sekolah yang kesurupan memaksaku ikut penggerek bendera. "Biar kamu tidak semakin pemalu," katanya. Aku memang tidak malu waktu berjalan seperti robot itu. Rasa guguplah yang membuatku tidak mampu memperhatikan sekeliling, sehingga berjalan terus melewati tiang bendera.

"Kamu mewakili kelas kita, nanti kalau menang baru mewakili sekolah," lanjut si Pingping membuyarkan lamunanku. Di kelas satu, anak ini terkenal suka membolos. Menjadi alasan kami memilihnya menjadi ketua kelas sekarang. Mengecewakan! Setelah menjadi ketua kelas, begitu guru terlambat lima menit, ia sudah mendatangi petugas piket.

"Tidak mau!" jawabku dengan nada yang ia tahu tidak 'malu tapi mau'. Aku benar-benar tidak mau. Bukan karena sombong atau apa. Hanya merasa itu percuma, pasti kalah juga. Ini lomba ketrampilan, bukan adu teori tanpa praktek. Lebih banyak waktu praktek kuhabiskan menonton orang lain menguras tenaga. Bengkel kayu bukan hanya tempat praktek, tetapi tempat mengerjakan pesanan orang. Seharusnya mereka masih ingat kasus peti mati yang lebih pendek lima centimeter itu.  

"Bilang sendiri kalau tidak mau ikut!" balas Pingping ketus.

Aku tidak peduli. Aku tidak akan menemui Pak Dani, aku akan bersembunyi.

Besoknya aku tetap datang ke sekolah. Melewati kantor dengan kecepatan maling dengan barang curiannya. Belum sampai jam sebelas, aku sudah mendengar panggilan itu, "Hei! Sini kamu."

"Kamu ikut lomba!" kata Pak Dani, sama tegasnya dengan nada saat menyuruhku maju karena tidak memakai topi di upacara bendera. Nada yang membuatku yakin ini saatnya menjadi murid yang baik.

Senin, lomba antar kelas dimulai. Membuat lemari kecil. Aku tidak terlalu berminat menang. Kukerjakan dengan santai. Lebih banyak waktu kuhabiskan untuk mengasah ketam dan pahat. Mereka pasti sengaja memberi kayu yang jelek dan keras. Kubunuh waktu dengan mengasah pahat dan ketam. Bahkan kalau bisa, palunya ingin kuasah juga. Inilah awal masalah itu. Mereka menilai apa yang kulakukan itu sangat baik. Mereka memang sengaja memberi kayu yang keras dan ketam yang tumpul. Supaya siapa yang mengasah peralatannya akan mendapat nilai dan siapa yang langsung mengetam, otomatis mendapat pengurangan nilai.

Padahal bukan itu tujuanku. Aku hanya membuat diriku sibuk sebelum mengetam balok yang terlalu banyak matanya. Ingin kucetok kepala Pingping yang berteriak kegirangan saat kepala sekolah mengumumkan kelas kami sebagai pemenang. Ingin kubalas dengan berteriak siapa yang membuat seluruh kelas dihukum karena kaca yang retak.

Hanya dua hari istirahat. Pamerannya benar-benar tidak bisa kunikmati. Aku harus mempersiapkan diri di bengkel kayu. Mengetam balok bengkok 4x5 menjadi 2x2. Memeriksa kelurusannya hanya menggunakan siku-siku dan perusut. Setiap hari, aku juga harus masuk ruang kepala sekolah. Mendengar ceramah tentang pentingnya menjadi juara.

Kamis, lomba dadakan tingkat propinsi itu pun dimulai. Para guruku memastikan aku pasti menang. Bukan karena aku hebat, tetapi karena semua jurinya dari sekolah ini. Bahkan soal ujian prakteknya sudah kudapatkan malam sebelumnya.

"Ini rahasia," kata pak Siswoyo, guru kerja kayu, saat menyerahkan gambar rancangan miniatur pintu dan kusennya. "Seluruh STM Bangunan di Indonesia mendapat soal yang sama."

Aku masuk final. Tidak perlu kutepuk dada. Semua orang tahu, sejelek apapun wakilnya, STM negeri pasti masuk final. Tiga sekolah tersisa, sekolahku; STM misi; dan satunya lagi merupakan salah satu STM terbaik negeri ini.

Hari itupun tiba. Aku harus melewati ujian teorinya tanpa kecurangan, aku harus berjuang sendiri. Seperti kata guruku, kelemahan utamaku di praktek, tetapi mereka yang akan mengurusi lubang ini.

Lalu kami masuk ke bengkel kayu. Tiga potong balok tergeletak di atas meja, salah satunya sangat jelek. Juri membuang undi. Tadi malam mereka memberitahu, kalau aku yang mendapat kayu jelek, undian dibatalkan. Alasannya, kayuku terlalu keras. Kalau orang lain yang terkena sial, terutama anak STM terbaik itu, lomba tetap dilanjutkan.

Inilah cara menyingkirkan saingan terberatku.

Aku yang mendapat balok terjelek itu. Waktu mulai mengetamnya, Pak Warto pura-pura kaget melihat betapa kerasnya kayuku. Kulihat saingan terberatku mengetam baloknya dengan gaya tukang kayu tulen. Juri lalu rapat, memutuskan tidak adil jika aku harus mengerjakan kayu ini. Sepakat mengganti kayuku. Tidak ada yang keberatan. Aku lalu mendapat balok baru. Balok yang memang sudah disiapkan untukku.

Beberapa orang menonton kami. Setelah bosan mereka langsung pergi. Tidak ada anak SMKK yang datang. Lumayan juga, ada orang TVRI datang, tetapi kelihatannya mereka lebih banyak menyoroti si Lawung, wakil STM terbaik itu.

Saat lomba selesai, bisa kulihat karyaku jauh di bawah karya kedua sainganku. Tetapi aku pasti menang. Para pendukungku sudah menemukan alasan yang tepat. Secara praktek, karyaku memang lebih jelek, tetapi ada ujian teori tadi pagi.

Hari Jum'at, saat pengumuman, aku tidak bisa menjadi juara I. Ternyata setelah karya kami dijejerkan, karyaku tampak menonjol. Kelihatan paling tinggi sendiri, lebih tinggi dua centimeter. Percuma main curang. Semua orang bisa melihat ada peserta yang salah membaca gambar rancangan.

***

Beberapa bulan kemudian, aku sudah duduk di kelas tiga saat mendapat kabar, Si Lawung menang. Ia bahkan menjadi juara umum Lomba Ketrampilan Siswa tingkat Nasional itu.

Beberapa tahun kemudian, saat kuliah, aku bertemu lagi dengannya. Ia bercerita, sekolahnya sudah mempersiapkan dirinya untuk lomba itu sejak kelas I. Targetnya juga bukan tingkat propinsi, tetapi ajang Worldskills. Olimpiadenya sekolah Kejuruan.

Tidak heran bila waktu itu aku tidak bisa melihat garis di sambungan kayu yang ia buat.

        Ia memberiku pelajaran terbaik. Ia bertanding di kandang lawan. Juri, penonton, dan fasilitas tidak mendukungnya, tetapi ia membuktikan dirinya tetap yang terbaik. Membuatku tidak bisa percaya bila ada yang membuat alasan, "Aku kalah karena lingkungan yang curang."

Samuel Franklyn's picture

Cerita menarik dengan pelajaran moral yang berharga

Cerita menarik dengan pelajaran moral yang berharga. Satu lagi masterpiece dari anakpatirsa.

clara_anita's picture

@AP: lingkungan

Menyalahkan lingkungan memang percuma , AP. Walaupun memang lingkungan sering begitu menguntungkan pihak tertentu dan menjegal yang lain. Entah mengapa, banyak orang bilang saya masuk ke golongan kedua. Tapi toh saya tidak setuju.

Jalan dan rencanaNYA beda dan tak terselami. Mungkin, jalan saya memang harus lebih panjang dan bercabang serta naik turun. Biar saja orang-orang itu mengasihani saya. Saya justru merasa beruntung, karena ada banyak padang berbunga yang dapat dijumpai di sepanjang jalan yang panjang itu. Toh, ke puncak tak selalu menanjak ....

GBU

anita

apgan's picture

I like it

Aku suka sekali gaya tulisannya AP.