Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Seandainya Kristus Tidak Naik ke Surga

arie_saptaji's picture

The Ascension by Brian Jekel

Sejak abad IV, gereja merayakan Kenaikan Kristus secara terpisah pada Kamis ke-6 atau hari ke-40 setelah Paskah. Sebelumnya, Kenaikan termasuk dalam rangkaian perayaan Paskah yang berlangsung mulai dari Kebangkitan sampai Pentakosta. Kenaikan, menurut St. Agustinus, "adalah perayaan yang meneguhkan kesemarakan seluruh perayaan Kristen lainnya. Tanpa kenaikan Kristus, perayaan-perayaan itu akan kehilangan maknanya."

Kenaikan menandai permulaan gereja dan penantian akan kedatangan Kristus yang kedua. Perayaan ini mendorong kita merenungkan Tritunggal. Kristus naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dan di sana menjadi Imam Besar kita, serta menjanjikan pencurahan Roh Kudus bagi gereja-Nya. Paulus mengatakan, Kristus naik ke surga "untuk memenuhkan segala sesuatu" (Ef. 4:10).

Beberapa negara memperlakukan perayaan ini secara berbeda. Di Jerman, misalnya, hari ini merupakan libur resmi sekolah. Mereka menyebutnya perayaan Christi Himmelfahrt (perjalanan Kristus menuju surga). Sebaliknya, dalam budaya Amerika Utara, meskipun di sana banyak penganut Kekristenan, minggu ini biasanya akan berlalu begitu saja tanpa ada pembicaraan tentang peristiwa kenaikan, khususnya di antara kaum Prostestan.

Di Indonesia, meskipun Kenaikan Kristus termasuk hari besar keagamaan yang dijadikan libur nasional, kondisinya hampir sama: kita jarang merayakannya. Seumur hidup, baru satu kali saya merayakannya di gereja. Itu pun dengan kegiatan yang generik: pentas seni, cerdas cermat Alkitab dan pertandingan olah raga.

Bagaimanapun, kenaikan Kristus adalah salah satu unsur utama dalam tradisi Kristen. Peristiwa ini disebut-sebut dalam dua kredo klasik. Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea meneguhkan bahwa Yesus "naik ke surga."

Yesus sendiri menggarisbawahi pentingnya Ia naik ke surga. Pada perjamuan malam menjelang penyaliban, Yesus berkata, "Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu” (Yohanes 16:7).

Kalau begitu, apa manfaat kenaikan Kristus?

Pertanggungjawaban Pribadi
Salah satu manfaat kenaikan-Nya berkaitan dengan hubungan kita satu sama lain. Bisa dibayangkan kalau Yesus tidak juga pergi dan tetap berada di tengah para murid?

Mereka menganggap kedekatan dengan Tuhan sebagai sumber persaingan di antara mereka: siapa yang terbesar, siapa yang akan duduk di sebelah kanan-Nya. Bisa jadi para murid justru akan saling menjegal demi memperebutkan kedudukan tersebut.

Philip Yancey dalam Bukan Yesus yang Saya Kenal membuat sebuah pengandaian menarik. Seandainya Yesus tetap tinggal di muka bumi, akan lebih mudah bagi kita dalam menghadapi berbagai pertanyaan dan keraguan – kita tinggal mendatangi Sang Sumber Jawaban. Perpecahan gereja dan penyesatan juga tidak perlu terjadi, karena Yesus akan selalu siap menjadi penengah, menawarkan nasihat dan kearifan.

Namun, bukankah itu juga berarti kerepotan? Bagaimanapun, Yesus hadir di Palestina sebagai satu orang manusia saja. Berarti, kita harus berziarah ke Yerusalem dan antre satu per satu untuk menemui-Nya?

Barangkali Yesus melihat kerepotan itu. Ia memilih untuk pergi. Ia memilih untuk disalibkan. Dan setelah kenaikan-Nya, Ia mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita dan diam di dalam diri kita.

Dengan demikian, kedekatan kita dengan Tuhan ditentukan oleh keputusan kita masing-masing. Tidak ada seorang pun yang bisa menjegal kita. Barangsiapa mendekat kepada Tuhan, Tuhan akan mendekat kepadanya. Barangsiapa bertekun mencari Dia, Tuhan akan berkenan ditemukan. Barangsiapa memberi diri untuk dipimpin oleh Roh, dialah anak Allah.

Iman, dalam satu sisi, menjadi persoalan pribadi antara kita dan Tuhan. Iman menjadi sebuah pertanggungjawaban pribadi.

Iman di dalam Komunitas
Di sisi lain, iman Kristen secara khas perlu diekspresikan di tengah suatu komunitas. Iman Kristen tidak melahirkan pertapa, yang mungkin membangun kerohaniannya secara mandiri, terpisah dari dunia ramai. Iman Kristen, sebaliknya, disiapkan untuk sebuah komunitas.

Penghayatan iman kita kepada Allah yang tidak kelihatan justru nyata dalam hubungan kita dengan sesama manusia yang kelihatan. Tuhan secara tegas menghendaki kita mengekspresikan kasih kita kepada-Nya dengan mengasihi saudara-saudara kita yang kelihatan (1Yohanes 4:20). Chip Ingram dalam Mukjizat Perubahan Hidup menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan, “Alkitab mengajarkan bahwa Allah mendatangkan perubahan hidup melalui Firman-Nya dan Roh-Nya di dalam konteks hubungan yang penduh dengan pengorbanan dan berpusat pada orang lain.”

Perjanjian Baru penuh dengan perintah timbal-balik seperti saling mengasihi, saling membantu, saling menghibur, saling mendukung, dan seterusnya. Pertanyaannya: Mungkinkah kita mematuhi perintah semacam itu seorang diri? Mustahil, bukan? Perintah-perintah itu mengimplikasikan keterlibatan orang lain. Perintah-perintah itu menyiratkan kehadiran suatu komunitas sebagai wadah untuk menerapkannya.

Komunitas itu tidak lain adalah ekklesia ‘gereja’, yaitu “kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar” dari kegelapan ke dalam terang-Nya. Dan gereja disebut juga sebagai Tubuh Kristus. Hal ini berkaitan erat dengan kenaikan Kristus.

Gereja disebut sebagai Tubuh Kristus karena gerejalah perpanjangan karya Kristus setelah Ia naik ke surga. Setelah menunaikan penebusan-Nya, sebagai ganti diri-Nya, Yesus mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita dan tinggal di dalam diri kita. Pencurahan Roh Kudus inilah yang melahirkan gereja. Dalam kata-kata Gerard Manley Hopkins, "Kristus sendiri hanyalah satu, dan hidup serta mati hanya satu kali; tetapi Roh Kudus membuat setiap orang Kristen menjadi Kristus yang lain, seorang pasca-Kristus; hidup dalam jutaan kehidupan di setiap zaman."

Dengan kata lain, setelah Kristus kembali ke surga, melalui gerejalah Allah menyentuh, menyembuhkan dan mengulurkan anugerah kepada dunia. Apa yang berlangsung di tengah komunitas gereja akan menentukan bagaimana dunia ini memandang Allah. Yesus mengatakan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35). Kasih dan persekutuan di antara kita menjadi kesaksian yang kuat dan tak terbantahkan bagi dunia; dan sebaliknya pula, kedengkian dan perpecahan di antara kita tak ayal akan mebuat dunia mencibir.

Kenaikan, dengan demikian, adalah sebuah kepercayaan, sebuah pendelegasian, yang mencengangkan. “Ketika Yesus pergi,” tulis Philip Yancey, “Ia meninggalkan kunci Kerajaan di tangan kita yang kikuk.” Ya, kepada kita yang kikuk ini, Ia mempercayakan suatu amanat untuk menyebarkan kabar baik dan berita pendamaian-Nya ke seluruh bumi. ***

__________________

kardi's picture

@as masih ada yang tidak percaya roh kudus, bagaimana?

@as, tulisan yang menarik, tapi masih ada yang tidak percaya roh kudus, bagaimana? Kalau di grj berdoanya dengan berbahasa roh, tapi kelakuan sehari-hari sepertinya pakai bahasa setan. Ada perbedaan yang besar antara kehidupan bergereja dengan diluar gereja, bagaimana menurut arie menyikapi ini, bagi mereka yang tidak percaya bahwa roh kudus tercurah bagi jemaatnya,sampai mereka bisa jatuh roboh waktu kkr, tumpang tangan dsb, bagaimana?.Arie sendiri sudah dibaptis dengan roh kudus ? bagaimana rasanya....

Terima kasih mau berbagi pengalamannya. GBU

Ulah's picture

roh setan

Kalo menurut aku sih... yang kayak gitu waktu doa juga pake bahasa roh setan...

arie_saptaji's picture

bukan ttg berbahasa roh

 

terima kasih, mas kardi, atas komentarnya.

hanya saja, esensi tulisan saya kali ini bukan ttg berbahasa roh. kalau kita membahas topik ini, jadi off the track dong.

nuwun.

__________________

Pniel's picture

@Pak Arie, renungan yang menarik

Kenaikan Kristus merupakan penobatan diriNya secara penuh sebagai Raja diatas segala raja, dan memegang pemerintahan atas segala sesuatu. Kita seharusnya merasa senang dan bangga bahwa kenaikan Kristus merupakan suatu penghiburan bagi kita bahwa dengan moment tsb Ia akan lebih leluasa dengan segala kepenuhan untuk melimpahkan segala berkatNya bagi Gereja (Ekklesia). Ia naik ke sorga untuk di kemudian hari turun kembali menjemput kita untuk tinggal di sana, dirumah abadi yang telah Ia persiapkan sebelumnya. Puji Tuhan!

@Pak Arie, renungan yang baik dan sungguh menarik yang kembali mengingatkan kita semua tentang peristiwa yang bersejarah tsb dan signifikansinya bagi Gereja. Saya suka dengan tulisan2 Anda di Friendster, dan dgn segera saya tahu bahwa Anda ternyata memang penulis rohani di beberapa majalah kristen dan renungan harian. Teruslah menulis demi kemuliaan Tuhan dan kebangunan Gereja.

Bless.

__________________

You have made us for Yourself O Lord and our heart is restless until it rests in You.

Turbine's picture

 @aj: Di sisi lain, iman

 @aj: Di sisi lain, iman Kristen secara khas perlu diekspresikan di tengah suatu komunitas. Iman Kristen tidak melahirkan pertapa, yang mungkin membangun kerohaniannya secara mandiri, terpisah dari dunia ramai. Iman Kristen, sebaliknya, disiapkan untuk sebuah komunitas.

 

Manusia kan makhluk sosial....memang tidak hidup sendirian.....

Kenaikan, dengan demikian, adalah sebuah kepercayaan, sebuah pendelegasian, yang mencengangkan.

Kenaikan-Nya memberitahu kepada saya bahawa Tuhan Yesus Kristus yang saya percayai itu adalah Tuhan yang hidup dan  berkuasa keatas kerajaan maut.