Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SAL, sela antar lagu

Purnomo's picture

 Ketika saya ingin menjadi guru Sekolah Minggu (selanjutnya disingkat GSM), saya pergi ke sebuah pos SM kecil di pinggir kota yang menempati sebuah ruang Taman Kanak-kanak. Jalan menuju pos ini selalu banjir bila turun hujan Penanggungjawabnya seorang gadis, cantik, tapi tak pernah senyum, apalagi tertawa.

 
Minggu pertama saya sight seeing dan tidak disapanya. Minggu ke-2 saya kebagian kerjaan mengabsen anak. Minggu ke-3 saya disuruh memimpin doa persembahan. O, itu gampang. Tetapi di tengah jalan, mendadak ucapan saya tersendat. Rasanya ruangan itu sunyi senyap dan setiap kata yang saya ucapkan terpantul ke dinding dan balik menghantam gendang telinga saya dengan volume berlipat kali. Doa saya macet agak lama karena saya tidak tahu harus omong apa lagi. Tetapi senior saya tidak menyambungnya. Dengan susah payah, dengan suara gemetaran, akhirnya saya sampai pada kata “Amin.” Saya malu berat.
 
Ketika akan pulang, Sang Senior membagi tugas untuk Minggu depan. Saya kebagian Cerita. Mulut saya sudah terbuka tetapi batal membantah ketika melihat matanya mendelik.
 
Minggu ke-4 saya berCerita. Wow, lancar sekali karena saya sudah berlatih di rumah berhari-hari. Tetapi ada beberapa anak mulai gaduh bercerita sendiri. Senior saya cuek saja. Konsentrasi saya rusak. Lutut saya gemetaran. Cerita berhasil saya akhiri, tetapi baju saya terasa basah lengket ke punggung. Maka saya memutuskan untuk pindah ke pos lain dan tidak akan kembali ke sini. Secantik apa pun kalo sadis banget siapa yang tahan jadi bawahannya?
o—
Tetapi rancangan Tuhan lain sehingga kelak saya harus kembali ke pos ini. Beberapa tahun kemudian ketika saya ada dalam kepengurusan Komisi SM, pengasuh Remaja menyodorkan sejumlah nama. “Ini 11 nama siswa SMA yang ingin jadi guru SM. Kamu harus melatih mereka jadi GSM yang berdedikasi. Setelah selesai Kebaktian Remaja, mereka akan saya suruh ke SM. Kamu mau latih mereka di mana?”
 
Gereja kami besar, juga SM-nya. Selain yang bertempat di gereja ditambah dengan 13 pos yang ada, SM kami memiliki 32 kelas dengan 75 GSM terdaftar dan jumlah anak hadir sekitar 800 orang setiap Minggu. Walaupun demikian, belum pernah terpikir oleh para pengurus untuk melatih calon GSM secara khusus. Mau mengajar, ya datanglah, belajarlah sendiri. Kalau beberapa Minggu kemudian calon ini tidak lagi datang ke SM, ia tidak diwawancarai mengapa sampai membatalkan niat sucinya itu. Untuk apa? Mereka biasanya masuk ke SM dengan alasan “mau lihat-lihat dulu apa pelayanan di SM cocok buat saya”. Pengurus juga malas mencatat mereka berada di pos mana karena sebagian besar dari mereka setiap Minggu koordinatnya berubah. Jika ditanya mengapa mereka berpindah-pindah tempat, jawaban yang diberikan adalah “saya sedang melakukan studi banding”. Tahu sendirilah, apa yang mereka bandingkan.
 
Beberapa orang dari mereka yang sekarang sudah berkeluarga heran bila saya ingatkan kiprah mereka di SM dulu. “Kok kamu masih ingat?” tanya mereka. Bagaimana tidak ingat bila saya yang mengurusi pendataan dan selalu diomeli Ketua karena data saya tidak pernah up-to-date. Saya berkata kepada isteri mereka, “Kamu tahu, kamu dulu ditemukan oleh suamimu ini dari kegiatannya melakukan studi banding di Sekolah Minggu.”
 
Yang diingatkan tertawa. Malah ganti ia yang mengingatkan saya, “Kamu jangan hanya menyalahkan yang laki. Dulu ada pos SM dengan 25 orang murid tapi gurunya 6 orang, cewek semua dan senang dandan. Biar ada 5 anak kentut bersamaan, pasti tidak ada yang tahu. Lha gimana, melangkah ke mana saja bau deodoran dan parfum guru-gurunya. Makanya pos ini sering ketamuan guru-guru laki dari pos lain.”
 
Keadaan seperti itulah yang membuat pengurus Remaja ini meminta saya serius menangani 11 orang remajanya. Ia meminta saya menentukan terlebih dahulu di mana mereka akan dilatih. Ia tidak ingin mereka keluyuran kian kemari. Ia galak sekali dan konservatip. Ia tidak senang melihat siswa SMA sudah pacaran.
 
Pengasuh Remaja ini mantan ketua pos di mana saya pernah dianiaya, setelah senior saya dulu itu pensiun sebelum waktunya. Dedikasinya untuk SM yang tinggi membuat ia berhasil membesarkan pos itu sehingga ruang TK tidak bisa lagi menampung jumlah anak yang berhasil dikumpulkannya bersama “gang”nya. Pos itu sekarang meminjam ruang-ruang poliklinik sebuah rumah sakit Kristen (RSK) dengan jumlah anak hadir sekitar 125 orang. “Suruh mereka ke pos RSK,” jawab saya. Ia setuju karena memang pos RSK ini guru-gurunya bermutu prima hasil didikannya dulu.
 
Kemudian saya mencari ketua pos itu. “Saya tidak bisa melatih,” katanya. Ups, lalu bagaimana? Saya sendiri belum mempersiapkan bahan pelatihan. Saat itu belum ada buku tentang GSM yang diterbitkan oleh percetakan Kristen. Ini saya ingat betul karena 2 tahun setelah peristiwa ini saya dipanggil oleh Sinode untuk bergabung dalam sebuah tim yang bertugas menyusun buku panduan bagi GSM.
 
Begini saja,” usul saya. “Beri saya waktu 3 minggu untuk keliling pos lain mempersiapkan bahan pelatihan. Selama itu mereka tidak usah diberi tugas, biar lihat-lihat dulu.”
 
Tiga minggu kemudian saya datang ke pos itu. Calon GSM tinggal 9 orang. Mana yang lain? Rupanya ia berpesan kepada bawahannya untuk tidak “menyentuh” para calon ini. Dan perintah ini diterjemahkan menjadi “cuekin aja mereka”. Kok begitu? Sambil senyum-senyum ketua pos ini menjelaskan, “Mereka di sini untuk melayani, bukan untuk dilayani.” Nah loe!
 
Waktu para GSM membawakan Cerita, para cagur (calon guru) saya kumpulkan untuk menjelaskan jadwal pelatihan mereka. Dasar pelatihan ini adalah “learning by watching” yang akan saya jelaskan berikut ini. Siapa tahu berguna bagi Anda bila di SM Anda belum mempunyai program pelatihan cagur, sementara Anda ingin sekali melayani di SM.
 
1* Observasi.
Saya minta mereka menceritakan apa yang mereka lihat selama 3 Minggu dan menilai apakah itu bagus atau jelek. Bagaimana disiplin dan dedikasi GSM di sini? Bagaimana komunikasi dan keakraban mereka dengan anak asuhnya? Bagaimana mereka memimpin pujian dan membawakan Firman? Bagaimana mereka memanfaatkan buku catatan kehadiran anak? Apakah mereka tahu pada Minggu itu ada anak yang berulang tahun? Apakah mereka memanggil anak dengan namanya?
 
Banyak masukan yang saya dapat dari mereka. Kemudian saya minta mereka memilih GSM pembimbing. Minggu depan diam-diam mereka akan mencatat “kelemahan” pembimbing mereka dalam memimpin pujian. O ya, ada PR buat mereka. Yaitu memilih dan menghafal satu lagu karena lagu itu akan menjadi lagu perdana mereka di SM.
 
Sebelum mereka memimpin pujian, mereka harus wanti-wanti kepada pembimbingnya untuk segera menolong bila mereka panik. Bisa dengan menyanyi lebih keras, atau segera maju ke depan mendampingi yuniornya. Selama mereka memimpin pujian, GSM pembimbing dilarang keras meninggalkan kelas. Dan itu saya beritahukan kepada ketua pos ini.
 
Mereka saya larang memimpin doa, karena saya tidak ingin mereka mendapat pengalaman buruk seperti yang pernah saya alami. Jika mengabsen anak, silakan saja.
 
2* Lagu perdana.
Minggu berikutnya ketika acara Firman, mereka saya kumpulkan kembali. Satu persatu bercerita tentang kelemahan pembimbingnya dalam memimpin pujian. Lalu seharusnya bagaimana? “Ya harus begini, begini, begini,” jawab mereka.
 
Well, Anda praktekkan apa yang Anda sarankan. Lalu satu-persatu mereka saya minta melakukan gladi resik lagu yang akan mereka pimpin Minggu depan. Setiap selesai satu calon menyanyikan lagunya, yang lain memberikan kritik perbaikan.
 
Ketika ada yang suaranya masih gemetaran, temannya usul. “Payah kamu, jangan menatap mata kami. Kamu lihat tembok sejengkal di atas kepala kami. Anggap saja kamu sedang sendirian di kamar mandi.” Boleh juga begitu, asal tidak sambil memegangi risleting celana kamu, tambah yang lain. Gugup boleh-boleh saja, tapi kalau perlu pegangan ya carilah pegangan yang sopan.
 
Minggu depan sebelum menyanyi, mereka minta pembimbingnya memperhatikan apa suara mereka masih gemetar. Dan, meminta agar pembimbingnya tidak meninggalkan kelas ketika ia memimpin pujian. Dengan kehadiran pembimbingnya yang siap menolong dalam keadaan darurat, rasa percaya diri mereka tidak rentan.
 
3* Lagu Medley.
Siapa yang suaranya sudah tidak gemetaran, boleh memimpin pujian 3 lagu sekaligus. Syarat yang harus dipenuhi, lagu itu harus mereka hafal dan mendukung tema Cerita.
 
4* Mengisi Sela Antar Lagu.
Dalam diskusi berikutnya, ada cagur yang usul. “Rasanya tidak enak setelah memimpin satu lagu, lalu kita berkata ‘Anak-anak, sekarang kita nyanyi Belalai Gajah Yang Panjang. Satu, dua, tiga.’ Kan lebih enak bila kita bertanya dulu apakah mereka tahu binatang yang hidungnya panjang.”
 
That’s it! Maka kemudian kami berdiskusi bagaimana membuat narasi sebelum sebuah lagu dinyanyikan. Bagian ini disepakati disingkat dengan kata SAL. Ada yang mengartikan spasi antar lagu, ada yang bilang sela antar lagu. Whatever you like-lah!
 
Dan Minggu berikutnya mulailah mereka berkomunikasi dengan anak melalui sela antara 2 lagu. Syaratnya? Satu, jangan memberi pertanyaan kepada anak agar tidak terlibat dalam duel kata. Dua, jangan kepanjangan sehingga menjadi kotbah tandingan.
 
Setelah lancar, mereka boleh mengajukan pertanyaan kepada anak dalam SAL untuk mulai berlatih komunikasi-dua-arah.
 
5* Memimpin doa
Bila mereka telah mempunyai percaya diri, yang terlihat ketika mereka mengisi SAL, tibalah saatnya mereka memimpin acara dimana pembimbing mereka tidak bisa membantu. Memimpin doa! Pelatihan pertama, doa persembahan. Saya menceritakan “musibah” yang menimpa saya ketika pertama kali memimpin doa di cikal bakal pos ini.
 
Lalu bagaimana bila mendadak otak saya blank?” seorang cagur bertanya.
Boleh tidak bawa kepekan?” yang lain usul.
Hasil diskusi, kepekan ditulis di secarik kertas kecil dan hukumnya wajib digenggam ketika memimpin doa. Hehehe, tidak ada anak yang tahu gurunya dulu bawa kepekan.
 
6* Membawakan Cerita.
Banyak calon GSM yang takut membawakan Firman. Tetapi mereka tidak, karena ketika memimpin pujian mereka telah berlatih ber”Cerita” melalui pengisian SAL. Sebelum mereka ditugaskan membawakan Cerita, mereka diminta mengisi SAL dengan cerita pendek. Misalnya, kesaksian pribadi.
 
Tetapi karena mereka tidak boleh bawa kepekan ketika berCerita, pembimbing mereka harus stand-by. Stand-by untuk mengamankan teroris kecil. Dan ini yang paling penting, segera menggantikan si penCerita apabila yang bersangkutan mendadak tenggorokannya tersumbat rasa panik. Sekali-sekali tak mengapa satu Cerita disampaikan oleh 2 orang.
 
Ketika hal ini dikomunikasikan kepada para pembimbing, ada yang nyeletuk “Wah gawat. Kepingin pipis harus ditahan neh. Tetapi demi kamu, aku rela berkorban kok.” Dan terbukti, ketrampilan mereka dalam mengisi SAL membuat mereka lancar-lancar saja ketika membawakan Firman. Bukankah berCerita adalah SAL dalam porsi jumbo?
 
Tahukah Anda siapakah para GSM pembimbing ini? Di antara mereka ada yang dulu kepingin saya jitak kepalanya karena nyaris menghilangkan niat saya menjadi GSM. Mereka dulu adalah para teroris kecil di pos TK. Sedangkan yang tidak tinggal di sini, berkiprah menjadi aktivis SM di pos lain dengan dedikasi prima. Makanya bila ada anak SM yang nakalnya tidak ketolongan, jangan langsung main gaplok. E, siapa tahu kelak ia jadi pendeta Anda. ‘Kan ga enak kalo dia menceritakan pengalamannya di SM dari atas mimbar?
 
(selesai bagian ke-4 / firstly posted on 28.12.2008)
 
 
Bersukaduka bersama Sekolah Minggu
bag-7: Biarlah Allah bekerja