Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

"Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun" - Bab. 2 (Up-Date)

Julius Tarigan's picture


/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Rumah Tuhan

dan Sarang Penyamun 

 

 

R

 

umah Tuhan dan sarang penyamun? Lho, kok?! Apa hubungannya? Tetangga bukan, mirip pun tidak! Lalu, kenapa disandingkan begitu? Memang, jika dilihat dengan sepintas, keduanya sama sekali tidak ada hubungannya. Keduanya jelas-jelas berbeda, bahkan begitu bertentangan. Tetapi, itu kalau hanya dipandang dengan sekilas pintas saja. Akan menjadi berbeda, kalau kita mau memeriksanya dengan lebih seksama.

       Sebenarnya, segala sesuatu di dalam hidup ini pun begitu juga,  tidak ada yang sungguh-sungguh bertentangan sepenuhnya antara satu dengan yang lainnya. Apa yang disebut perbuatan baik, misalnya, juga memiliki sisi-sisi yang buruknya. Dan, sebaliknya, apa yang dikatakan perbuatan jahat, masih ada juga sisi-sisi yang baiknya.

       Saya berikan contohnya: Menghukum dengan memenjarakan  seorang pencuri berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tentunya adalah sebuah tindakan yang pantas, dan hal itu baik untuk dilakukan. Tetapi, hal itu jelas tidak baik, khususnya untuk anak dan istrinya, yang hidupnya bergantung sepenuhnya padanya. Ternyata, hanya si bapak inilah yang selama ini menghidupi keluarganya itu. Sebab, istrinya sudah sakit-sakitan dan anak-anaknya masih sangat kecil-kecil.

       Atau, contoh lainnya: Perbuatan menghianati bangsa sendiri tentulah kita katakan, itu jahat. Tetapi, waktu Rahab melakukan hal itu (Yos 2:1-24), justu perbuatannya itu dipuji-puji di dalam Alkitab sebagai tindakan iman. Tidak tanggung-tanggung, Alkitab mencantumkan namanya di dalam daftar para pahlawan iman (lih: Ibr.11:31).

 

 

Hindarkan Cara Berpikir

yang Hitam-Putih

 

Mungkinkah hubungan antara Rumah Tuhan dan sarang penyamun sesungguhnya juga seperti itu? Atau, seperti sebuah koin dengan kedua sisinya? Mungkin tidak persis seperti itu. Dan, saya percaya memang tidak tepat begitu. Saya mengatakan hal yang di atas itu tadi hanyalah untuk “melenturkan” daya pencerapan kita saja. Sebab, kita seharusnya tidak boleh menjadi begitu kaku, dan selalu melihat segalanya secara hitam-putih saja. Kebiasaan seperti itu akan sangat merugikan bagi kita. Sebab, jika kita melakukan pendekatan yang seperti itu terhadap kehidupan ini, maka hal itu hanyalah akan membuat kita menjadi orang-orang yang sempit dalam wawasannya, cetek dalam pemahamannya dan kaku dalam pertimbangannya.

...di dalam realita kehidupan ini… sering kali lebih banyak... yang abu-abu...

daripada yang hitam... atau yang putih....

...di dalam realita kehidupan ini… sering kali lebih banyak... yang abu-abu...

daripada yang hitam... atau yang putih....

       Di dalam kehidupan ini, kita tidak dapat membagi segala sesuatunya hanya ke dalam kotak hitam dan kotak putih saja. Seharusnya, kita menyediakan satu kotak (yang lain) lagi, yaitu kotak abu-abu. Dan, kotak yang ketiga ini nampaknya harus dibuat lebih besar dari kedua kotak yang lainnya tadi. Mengapa? Sebab, bukankah memang begitu yang kita dapati di dalam realita kehidupan ini, yaitu bahwa sering kali lebih banyak (hal-hal yang tergolong ke dalam) yang abu-abu (= tidak secara langsung bisa jelas kelihatan apakah benar atau salah, baik atau buruk, dst.), dari pada (ke dalam) yang hitam (= jelas-jelas salah, buruk, dst.) atau yang putih (= jelas-jelas benar, baik, dst.)?

       Kebenaran yang hanya hitam-putih pada dasarnya bukanlah kebenaran. Paling-paling, itu barulah setengah dari kebenaran. Dan, tentang hal itu mungkin kita semua sudah pernah mendengar pernyataannya: Setengah kebenaran lebih berbahaya dari pada sepenuhnya kebohongan.

 

__________________

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

Julius Tarigan's picture

"Rumah Tuhan menjadi ..." (update)

“Sarang Penyamun” Menunjuk 

kepada Rumah Tuhan

 

Berbicara mengenai setengah kebenaran, justru itulah sesungguhnya yang terjadi di dalam kasus tentang “sarang penyamun” yang di sebutkan di dalam Alkitab. Yang ditunjuk dengan sebutan itu di dalam Alkitab bukanlah sarang penyamun yang sungguhan atau secara harfiahnya. Setidaknya, ada dua peristiwa yang dicatat di dalam Alkitab dimana sebutan itu digunakan, yaitu: 1) di dalam PL: ketika Yeremia berkhotbah mengenai Bait Suci (Yer 7:11), dan 2) di dalam PB: ketika Yesus menyucikan Bait Allah (Mat 21:13, juga: Mrk11:17; Luk 19:46).[1] Di dalam kedua peristiwa itu, Allah (dala PL) dan Yesus (dalam PB) menyebut tentang “sarang penyamun” bukannya untuk menunjuk tempat tertentu – yang seram dan banyak bandit-bandit di dalamnya. Atau, suatu wilayah/daerah tertentu di mana sering terjadi tindak kejahatan, yang dilakukan dengan nyata-nyata. Tetapi, sebutan itu ditujukan untuk rumah Tuhan/Bait Allah yang ada pada masa itu.

       Penyebutan itu ditujukan kepada rumah Tuhan/Bait Allah, karena orang-orang (umat Israel) pada masa itu telah menyalahgunakan Bait Allah itu. Mereka menyalahgunakannya sedemikian rupa, sehingga kejahatan-kejahatan yang terjadi di dalam rumah Tuhan itu, bisa dibilang, sama saja dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh penyamun-penyamun di luar sana, walaupun dalam bentuknya yang halus.

       Bentuk halus yang dimaksud, misalnya: Pada waktu mereka memaksa orang – dengan ancaman — supaya menyerahkan apa yang mereka miliki, mereka tidak menodong orang itu dengan menempelkan sebilah kelewang dilehernya. Jadi, apa yang mereka lakukan? Mereka “menodong” orang itu dengan menggunakan ayat-ayat dari Alkitab.

       Ups! Mungkin itu adalah versi yang lebih modernnya, ya? Saking semangatnya, mungkin, saya tadi langsung “meloncat” ke contoh itu. Contoh yang lebih sesuai dengan zamannya mungkin seperti ini: Mereka “menodong” orang itu dengan jalan melakukan kongkalikong antara imam-imam dan para pedagang, yang pada akhirnya membuat orang-orang yang akan melakukan persembahan korban di Bait Allah itu harus membeli ternak yang akan dijadikan korban persembahan itu dengan harga yang jauh di atas kewajaran.

       Nah, kalau begitu, berarti bisa dibilang bahwa ada hubungan yang “aneh” (baca: misterius) antara rumah Tuhan (= gereja, dalam konteks kita) dan “sarang penyamun”. Itu berarti, rumah Tuhan atau gereja bisa juga sekaligus menjadi “sarang penyamun”. Dan, tentunya berlaku juga untuk sebaliknya, “Sarang penyamun” bisa juga sekaligus menjadi rumah Tuhan/gereja (Ah, mas Tarigan ini, sedikit sedikit dibalik, sedikit sedikit dibalik.....dibalik kok cuma sedikit sedikit.....?! Hehehe...!)



[1] Dalam Injil Yohanes disebut “tempat berjualan”(2:16). Para ahli tidak sepakat mengenai apakah Yohanes mencatat peristiwa yang sama seperti yang terdapat di dalam ketiga buku Injil yang lainnya atau peristiwa yang hanya mirip. Dengan kata lain, para ahli tidak sepakat mengenai apakah peristiwa penyucian bait Allah itu hanya sekali saja terjadi atau lebih dari sekali.

 

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

__________________

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

Julius Tarigan's picture

"Rumah Tuhan menjadi ..." (update/2)

Dusta yang Paling Efektif Adalah

yang Berisi Setengah Kebenaran

 

Saya harap janganlah Anda dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa saya setuju dengan hal itu (gereja sekaligus juga menjadi “sarang penyamun”). Apa yang saya sampaikan di atas itu hanyalah sekedar mengungkapkan halnya secara apa adanya saja – bahwa memang bisa terjadi seperti itu. (Bahkan, sebenarnya itulah yang sudah terjadi di banyak sekali gereja sekarang ini, seperti yang akan kita ungkapkan nanti di dalam bab-bab selanjutnya ). Apakah saya setuju seperti itu, yaitu gereja sekaligus juga menjadi “sarang penyamun”? Tentulah saya tidak setuju. Dan, bahkan, sangat tidak setuju! Justru untuk menyatakan ketidaksetujuan saya itulah, makanya saya menulis buku ini.

       Seperti yang sudah saya katakan di depan tadi, bahwa hal ini adalah merupakan contoh dari apa yang disebut sebagai “setengah kebenaran” itu, yang justru lebih berbahaya dari pada kebohongan yang sepenuhnya. Sebab, kebohongan yang sepenuhnya itu akan bisa terlihat jelas sebagai kebohongan. Sehinga, kita bisa langsung mengenalinya, dan kita tahu harus mengambil sikap yang bagaimana terhadapnya. Tetapi, kalau segalanya tampak sangat benar di permukaannya (walaupun sebenarnya di bagian dalamnya penuh dengan kejahatan), akan jauh lebih sukar untuk menentukan sikap kita terhadapnya.

       Gereja yang telah menjadi “sarang penyamun” tidak akan membentangkan spanduk atau memasang plang merk di depannya dengan tulisan yang besar-besar: GEREJA SARANG PENYAMUN atau: GEREJA PARA PENYAMUN. Pastilah tidak ada orang yang mau datang atau menjadi anggota jemaatnya.

       Tetapi, mungkin saya keliru, kalau mengatakan begitu. Sebab, mengingat zaman yang sudah semakin gila ini, mungkin saja ada juga orang-orang yang mau datang dan bergabung menjadi anggota jemaat, walaupun (atau, justru karena?) memakai merk/nama yang seperti itu. Lihat saja, sebagai contohnya, yang pernah ramai dibicarakan di media-media kita, yaitu “gereja Setan”. Banyak juga yang mau menjadi pengikutnya, kan? Khususnya, dari kalangan anak-anak muda.

       Tetapi, di luar dari yang ngaconya udah kebangetan itu, menurut saya, bahkan sebenarnya tidak ada satu gereja pun yang tahu (apa lagi yang ngaku!) kalau mereka kini sesungguhnya sudah menjadi “sarang penyamun”.

       Padahal, ini masih menurut saya lagi, pada umumnya gereja-gereja yang ada sekarang ini – mulai dari yang ada di dalam negeri kita ini, sampai yang terdapat di seluruh penjuru dunia — sebenarnya telah menjadi “sarang penyamun”. (Nggak percaya? Silahkan mengikuti terus pembahasan dalam bab-bab yang selanjutnya, sehingga Anda akan dapat melihat juga jalan pikiran yang membuat saya bisa berkata seperti itu.)

       Jadi, mau tidak mau, sekarang ini kita diperhadapkan pada pilihan, sbb: Apakah kita bersedia untuk mencari tahu mengenai apa artinya rumah Tuhan/gereja telah menjadi “sarang penyamun” dan apa pula yang membuat suatu gereja itu menjadi “sarang penyamun”? Lalu kemudian mencari tahu juga, apa yang bisa membuat gereja bisa pulih kepada keadaannya yang semestinya? Dan akhirnya, apakah kita bersedia untuk terlibat di dalam usaha-usaha yang nyata bagi pemulihan itu (khususnya di tempat kita masing-masing)?

       Atau, membiarkannya begitu saja, dengan berpura-pura tidak tahu bahwa gereja-gereja sekarang ini telah menjadi sarang penyamun. Atau, hanya berkata: Mungkin, betul begitu. Tetapi, siapakah saya ini? Saya kan, bukan pendeta! Atau: Saya kan, hanya seorang pendeta biasa.

        Di sisi yang manakah Anda berdiri saat ini?

        Melalui tulisan ini, saya mengajak Anda untuk memposisikan diri Anda di sisi yang disebutkan pertama tadi.

 

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

__________________

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

Julius Tarigan's picture

"Rumah Tuhan menjadi ..." (update/3)

Ketika Yesus Menjadi Sangat Marah

 

Tahukah Anda, bahwa pada suatu kali Yesus pernah marah, bahkan menjadi sangat marah, melebihi dari apa yang bisa atau pernah orang-orang bayangkan? Ketika itu, Dia masuk ke halaman bait Allah, yang sedang penuh sesak dengan kehadiran banyak orang. Dia membawa sesuatu yang seperti sebuah cambuk di tangan-Nya. Wajah-Nya jadi memerah karena menahan emosi kemarahan, dan urat-urat-Nya menegang. Kemudian, hal itu pun terjadilah: amarah-Nya meledak, bak gunung api yang memuntahkan lahar panas, yang menghanguskan semua yang ada di sekelilingnya.

       “Keluuaaar! Kalian semua… keluar... dan bawa semua barang-barang ini dari sini!” Dia menghardik dan mengusir semua orang yang sedang berjualan di situ. Sambil meneriakkan hardikan itu, Dia bergerak kearah mereka, dengan melibas-libaskan cambuk di tangan-Nya, yang sesekali menimbulkan bunyi “ctaaar!” – akibat persentuhan keras dengan udara, karena dihentakkan dengan kecepatan tinggi. Atau, karena persentuhan, yang cukup keras, antara ujung cambuk dengan permukaan benda-benda, yang terkena libasan dari cambuk itu.

       Bukan hanya itu, bagaikan lahar panas yang “melahap” habis semua yang dijumpainya atau seperti banteng yang sedang mengamuk dan menyeruduk semua yang ada di depannya, begitulah Dia mengusir semua orang yang ada di sana, dan semua binatang yang ada di sana pada waktu itu. Bangku-bangku para penjual merpati dibalikkan-Nya. Dan juga uang-uang yang ada di atas meja-meja para penukar uang dihamburkan-Nya semua ke lantai, dengan membalikkan meja-meja itu (bnd: Mat 21: 12-13, Mrk 11:15-17, Luk 19:45-46, Yoh 2: 14-17)[1].

 

 

Penyebab Dari Kemarahan Yesus

 

Wow! Apa yang terjadi di sini? Mengapa Dia bisa jadi mengamuk dengan sedahsyat itu? Apakah karena Dia tadinya telah kebanyakan minum anggur? Bukan. Bukan mabuk anggur yang menyebabkan Yesus marah dengan kemarahan yang sangat besar pada ketika itu.

        Jadi, apakah sesungguhnya yang menjadi penyebabnya?

       Catatan Alkitab versi Lukas dengan sangat baik memberikan jawabannya bagi kita.

 

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, katanya kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun (Luk 19:45-46)

 

       Jelaslah bagi kita sekarang, apa yang menyebabkan Yesus menjadi sedemikian marah. Bukan karena apapun yang lainnya, hanyalah karena rumah Tuhan, yang semestinya menjadi rumah doa, telah dibuat menjadi “sarang penyamun”. Bagi Yesus hal ini adalah masalah yang sangat besar dan amat sangat serius.

       Masalah yang satu ini mungkin melebihi semua hal yang pernah orang pikirkan menjadi suatu masalah yang penting untuk diurus. Mengapa saya sampai berkata begitu? Sebab, baru untuk kali inilah atau hanya untuk persoalan inilah kita menyaksikan (membaca di dalam Alkitab) Yesus menjadi sedemikian marahnya.

       Saya dan Anda pun tidak akan marah hanya untuk hal-hal yang sepele, kan? (Setidaknya, ketidaksepeleannya itu jika dilihat dari sudut pandang kita, yang sedang marah.) Hanya orang-orang yang sudah kehilangan kewarasannya sajalah yang menjadi marah untuk sembarang hal. Nah, kalau pribadi yang seagung Yesus itu sampai menjadi marah, apa lagi dengan kemarahan yang luar biasa, sudah pastilah hal itu terjadi karena hal atau persoalan yang menyebabkan Dia menjadi marah itu amat sangat penting bagi-Nya.

       Murid-murid Yesus yang menyaksikan pemandangan yang sangat tidak biasa itu menjadi begitu tertegun (itu kalo pake bahasa yang halusnya, kalo bahasa biasanya: bengong). Pada saat itu mereka hanya bisa mensejajarkan apa yang sedang terjadi di depan mata kepala mereka sendiri itu dengan kata-kata dari pemazmur yang mengatakan: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” (Yoh 2:17; Maz 69:10). Dan, itulah untuk pertama kalinya, mereka menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan oleh sang pemazmur dengan kata-katanya itu, yang selama ini merupakan teka-teki bagi mereka.



[1] Semua ekspresi yang diungkapkan/dituangkan di sini tadi, telah ditambahkan berdasarkan imajinasi saya sendiri, dari “bahan-bahan mentah” yang terdapat/tercatat di dalam Alkitab.

 

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

__________________

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

Julius Tarigan's picture

"Rumah Tuhan menjadi ..." (update/4)

 

Jenis Kemarahan Yang Sama

 

Saya tidak tahu dengan persis kapan dimulainya dan bagaimana terjadinya, tetapi saya perhatikan bahwa pada diri saya akhir-akhir ini menunjukkan ciri-ciri seorang yang sedang marah. Saya tahu, ini bukanlah kemarahan yang biasa. Ini bukanlah kemarahan yang berdasar pada atau dipicu oleh ketidak-harmonisan hubungan dengan sesama manusia. Sejujurnya, saya sedang marah karena melihat kondisi gereja-gereja sekarang ini. Ini bukanlah bermaksud untuk menyama-nyamakan diri saya sendiri dengan Yesus, dalam peristiwa yang barusan kita periksa tadi. Saya tahu, pastilah apa yang Dia rasakan pada waktu itu untuk rumah Tuhan, jauh melampaui apa yang saya sendiri rasakan sekarang ini. Tetapi, saya juga tahu, bahwa apa yang saya rasakan ini dan apa yang dirasakan oleh-Nya dulu (saya percaya, sekarang pun masih juga) adalah satu dalam jenisnya.

     Sebenarnya, perasaan ini sudah cukup lama juga saya rasakan – secara timbul-tenggelam. Tetapi, yang sedemikian intens saya rasakan adalah dalam beberapa bulan terakhir ini. Saat-saat khususnya adalah ketika saya sedang berkhotbah. Tidak peduli, apakah itu di gereja, di kantor-kantor perusahaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, dalam acara perayaan ulang-tahun seseorang atau di mana saja pun pada akhir-akhir ini saya diundang untuk berkhotbah, selalu dengan emosi yang meledak-ledak. (Harap diketahui bahwa ini bukanlah semacam sindrom “semangat mula-mula”. Sebab, saya sudah berkhotbah mungkin hingga seribuan kali sebelumnya!). Ada dorongan yang sedemikian kuat di dalam diri ini untuk membukakan dan membeberkan bagaimana sebenarnya gereja dan kekristenan itu.  Dan, bersamaan dengan itu, saya ingin menelanjangi semua kepalsuan yang telah diterima dan dipercayai oleh banyak orang selama ini, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang sesungguhnya itu.

       Seringkali, saya sepertinya “menumpahkan” saja semua yang saya pikirkan dan rasakan pada saat berkhotbah itu kepada semua yang hadir. Dan, sering kali terjadi, pada satu titik, saya tersadar sendiri bahwa saya sepertinya sudah “memarah-marahi” mereka. (Ketika itu terjadi, saya pun buru-buru minta maaf atau berusaha untuk menetralisir keadaan dengan sedikit candaan atau  guyonan).

      Walaupun merasa sedikit lega, setiap kali habis berkhotbah itu (karena yah, paling tidak saya bisa cetuskan yang bergejolak di dalam diri saya kepada orang-orang yang hadir pada waktu itu), tetapi tetap masih ada rasa “frutrasi” juga, karena masih ada “bertumpuk-tumpuk” lagi yang masih memenuhi “gudang perbendaharaan” di dalam hati dan benak saya,  yang tidak memungkinkan untuk “dikeluarkan” pada saat itu.

        “Tidak memungkinkan,” sebab pada umumnya waktu yang diberikan untuk berkhotbah sangatlah terbatas (hal ini bukanlah disebabkan karena di Medan, Sumatera Utara, dimana saya tinggal dan melayani, waktu yang diberikan untuk khotbah lebih singkat daripada di tempat-tempat lain. Sebenarnya, waktunya sama saja seperti yang umum dimana-mana, yaitu sekitar 30 sampai 45 menit. Hanya pada akhir-akhir ini saja, saya sering merasa terlalu cepat kehabisan waktu. Penyebabnya, ya karena itu tadi, “tensi” saya sedang tinggi). Sebab lainnya adalah karena saya termasuk orang yang “susah hilang warasnya”. Jadi, biar emosi menggelegak seperti apa pun, “kontrol otomatisnya” masih tetap jalan. (Saya memang kurang cocok dengan filosofi: “hajar saja!”).

      Banyak hal yang saya harus “menginjak rem” untuk membicarakannya, karena menyadari posisi saya sebagai pembicara tamu/undangan pada waktu itu. (Hal ini lebih khusus lagi, tentunya, jika sedang berbicara di gereja-gereja). Akhirnya ya, tetap saja ada banyak lagi yang masih “tertahan di dalam”. Syukurlah, akhirnya Tuhan bukakan juga buat saya sarana untuk penyalurannya, yaitu melalui buku ini – dan buku-buku lainnya, yang akan menyusul lagi selanjutnya.

       Jadi, buku ini berisikan (sebagian dari) “kemarahan” saya, yang sedemikian menggelegak, yang selama ini lebih banyak tertahan di dalam diri saya, sekarang bisa saya tumpahkan (maksudnya, tuangkan) di sini. Karena itu, jangan kaget kalau buku ini terasa panas – khususnya ketika dibaca!

       Saya sebenarnya sudah dengan sengaja (bahkan kadang-kadang dengan agak memaksakan) menaburi di sana sini sedikit “hawa sejuk” yang disebut humor. Tujuannya, tidak lain, adalah sebagai upaya untuk sebisa mungkin mengurangi sedikit dari panasnya itu, supaya jangan terlalu panas (nanti jadi nggak bisa kepegang lagi, akhirnya jadi jatuh ke got. Sayang, kan!). Tetapi, humornya pun, harus saya akui, kurang efektif juga. Hal itu karena humor-humornya itu pun ikut-ikutan jadi panas juga (namanya juga orang yang sedang marah, humornya ya, rada nylekit juga).

       Mau merasakan yang lebih “panas” lagi? Lanjutkanlah membaca ke bab 3.

 

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~

__________________

~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~