Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

PERTANDINGAN TERAKHIR

anakpatirsa's picture

"Cepat... cepat...!"

Telingaku bisa mendengar teriakan itu. Mereka mungkin sedang memberi semangat, atau bisa juga menganggapku terlalu lamban menggiring bola di depan kesembilan belas pasang kaki yang sedang mengejar. Bisa kurasakan beberapa kaki itu menghantam betis. Kutahan, nanti biar ibu yang mengurusnya. Ia sudah tahu cara mengurangi bengkak di betis--merendamnya dengan air hangat. Tetapi aku harus menyerah, ada anak bertubuh besar berlari mendahului, lalu berbalik menghadap aku. Kaki kanannya menendang bola dari arah depan, meleset lalu menghantam kakiku.

Aku sedang bersemangat, ini pertandingan pertamaku. Aku tidak keberatan berlari mengejar bola dengan terpincang-pincang. Selama ini hanya bisa menonton, semua orang tahu aturannya. Hanya kelas enam yang boleh ikut pertandingan sepak bola. Anak kelas lima, hanya boleh ikut bila pemainnya kurang. Itupun hanya anak yang bertubuh besar atau pernah tinggal kelas yang boleh ikut. Selama ini aku hanya boleh melihat mereka mengejar bola seperti ikan menggeromboli mata kail. Mereka kelihatan bersenang-senang, kecuali penjaga gawang. Kiper baru senang bila gerombolan seperti kawanan ikan itu mendekati gawangnya. Itupun hanya satu orang yang senang, penjaga gawang satunya hanya bisa memandang iri dari kejauhan.

Kalah atau menang, tidak akan mendapat guci cina, kami tahu itu. Sudah cukup bila mendapat kesempatan menendang bola atau menghantam betis lawan. Gol itu urusan nanti. Juga tidak ada hadiah, kecuali berderet di atas panggung. Menerima tepukan tangan saat penutupan pasar malam.

"Ayo... jangan bergerombol seperti itu," seseorang berteriak keras.

Tetapi tidak ada yang peduli, semua orang mengingini bolanya.

Seseorang memanggil namaku, lalu berteriak, "Ayo! Kamu jangan berlari seperti anak perempuan."

Kulupakan rasa sakit. Aku tidak mau tampak lemah di pertandingan pertamaku. Lawan kami rata-rata bertubuh besar. Dua hari lalu mereka mengalahkan SD tetangga dengan kemenangan telak, tujuh kali bola itu menembus gawang hingga masuk kebun Pendi. Aku harus mengalahkan rasa sakit ini bila ingin tetap berada di tengah lapangan. Sebelum memulai pertandingan tadi, wasit menyuruh kami berdiri berhadap-hadapan. Ternyata regu kami kelebihan satu orang. Kami sama sekali tidak bermaksud curang, hanya lupa menghitung jumlah pemain.  Pak Didi, guru olahraga menyuruh Nenes yang bertubuh kecil keluar. 

Dan aku tidak mau Nenes menggantikanku karena berjalan tertatih-tatih.

Pertandingan berakhir dua kosong. Aku tidak ikut menyumbang gol, tetapi saat penutupan pasar malam empat hari lagi, aku pasti ikut naik ke atas panggung. Aku sudah membayangkan, pincang ini tidak bakalan sembuh sampai pasar malam berakhir. Tahun lalu, aku melihat anak-anak yang naik ke atas panggung. Mereka juga berjalan terpincang-pincang, padahal pertandingannya sudah berlangsung lebih dari seminggu.

***

Aku masih terpincang-pincang saat menonton final sepak bolanya orang dewasa. Pertandingan antara Kompas dengan Fajar Sungai. Pertandingan antara kesebelasan yang disponspori lima pengusaha terkaya kampung dengan kesebelasan yang disponsori perusahaan kayu. Bukan hanya kami yang menikmati tujuh-belasan, orang tua juga. Bola bisa menghasilkan uang. Kalah atau menang tidak mendapat guci cina tidak berlaku bagi mereka.

Semua orang sudah tahu Kompas pasti menang. Sudah bertahun-tahun kesebelasan Kompleks Pasar ini tidak terkalahkan. Bila kesebelasan lain berlatih bulan Juni dan Juli, Kompas sudah menggusur sapi dari bagian barat lapangan sejak bulan Mei. Awalnya mereka menerima pemain dari luar pasar. Beberapa orang ikut, tetapi akhirnya pemain luar tidak tahan menerima sikap permusuhan dari tetangga kiri dan kanan.

Tujuh belasan berarti tidak belajar. Tadi pagi beberapa orang memasang jemuran raksasa di pinggir lapangan. Sepotong tali terbentang antara sebatang kelapa dengan sebatang pinang. Di situ berkibar puluhan kain bertuliskan nama toko atau pedagang di pasar.  Sejak dari pasar, mereka mengarak kain-kain itu sudah dalam keadaan tergantung di talinya.

Kulihat cabang semua pohon di pinggir lapangan sudah penuh. Untung akhirnya aku melihat sebatang langsat yang masih ada dahannya yang kosong. Semua orang sudah tahu aturan mainnya. Boleh menonton bola dari atas pohon yang sama, tetapi satu dahan hanya untuk satu orang.

Dari sini bisa kulihat para pemain berbaris di tengah lapangan dengan kaos warna-warni. Hanya satu orang memakai kaos putih, si Gulet. Kaos yang masih baru dengan tulisan namanya di punggung. Pemain lain juga memakai kaos yang ada tulisan di punggungnya, tetapi bukan nama mereka. Terlalu banyak kaos Maradonna di tengah lapangan, padahal hanya ada satu Maradonna di kampung, sekarang ia berdiri gagah di tengah lapangan. Nama aslinya Iskandar, mendapat nama Maradonna karena kakinya paling tahan berbenturan dengan kaki orang lain.

Kakek tampak di antara penonton. Seperti kebanyakan orang tua yang sedang menonton dari pinggir lapangan, ia juga menyandang parang di pinggang. Kakek pasti tidak mau repot-repot pulang ke rumah dulu dari kebun di belakang. Ia menyukai bola, di ruang tamu, ada fotonya yang sedang melempar bola dari bawah pohon pisang. Ia bangga dengan foto itu. Kata ibu, itu fotonya waktu masih sekolah.

Pertandingan yang seru. Tidak seperti waktu kami main, mereka tidak berebutan bola seperti gerombolan ikan yang merebut umpan. Mereka hanya suka berteriak-teriak. Bila temannya membawa bola, selalu ada yang berteriak, "Sini... Sini...."

Pertandingan sudah berlangsung lama saat kaos si Gulet sudah berubah warna. Sekarang aku tahu ia pasti menulis namanya dengan bubuk hitam baterei soak. Aku pernah mencobanya, bila terkena air, baju dan tubuh menjadi hitam.

Pemain Fajar Sungai kebanyakan dari luar daerah. Ada yang bekerja sebagai penebang kayu dan ada juga yang menjadi sopir  traktor atau lori yang bannya setinggi pohon pisang. Hanya sekali mereka memasukan bola ke gawang lawan. Kompas protes, mengatakan bola tidak masuk, padahal jelas-jelas bolanya sudah masuk kebun pisang.

Kalau menang, Kompas pasti mengarak spanduk-spanduk itu. Membawanya kembali ke pasar dengan cara yang sama seperti mereka membawanya kesini. Mereka kalah. Dan tidak punya keberanian pulang lewat jalanan kampung. Mereka memilih pulang lewat jalan setapak di belakang kampung. Jalan setapak melewati kuburan dan tembus di samping gereja, di ujung pasar.

Itulah menjadi pertandingan terakhir di  kampungku. Setelah itu, hanya anak kelas enam SD yang mengisi pertandingan sepak bola. Selalu saja ada yang naik ke panggung dengan terpincang-pincang.

***

minmerry's picture

Football...

Ap, Ap, kenapa jadi PERTANDINGAN TERAKHIR ?

Itu juga yang menjadi pertandingan terakhir bagi seorang anak kelas lima?

Tetapi aku harus menyerah, ada anak bertubuh besar berlari mendahului, lalu berbalik menghadap aku. Kaki kanannya menendang bola dari arah depan, meleset lalu menghantam kakiku.

That must be really hurt.

When reading, I can imagine the story.

^-^

__________________

logo min kecil

Risdo M S's picture

Yuk maen bola

Basket tiap sabtu juga boleh (libur kan??), hehehe

Eirene Humin.

__________________

Eirene Humin.

anakpatirsa's picture

@minmerry Mengapa menjadi

@minmerry

Mengapa menjadi pertandingan terakhir?

Karena orang dewasa tidak mau lagi main meramaikan pertandingan sepak bola di kampungku. Ada yang menganggap kekalahan sebagai sesuatu yang menyakitkan.

Tentang pertandingan terakhir bagi si anak? Saat itu aku kelas enam, selulus SD tidak ada lagi pertandingan sepak bola bagi anak SMP.

@Ridsdo

Sayang sekali aku juga tidak suka basket. Kalau bilyard? Ok.

 

 

 

 

clara_anita's picture

@AP

Ternyata tidak semua orang dapat menerima kekalahan dengan mudah ya?

Sebenarnya, siapa yang mengalahkan mereka; musuh --- ataukah diri sendiri?
^_^

 

Yang saya tahu orang yang dapat mengendalikan dirinya melebihi orang yang menguasai kota

 

GBU

nita