Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

PDT EME-3 – PANGKUR PALARAN

Purnomo's picture

             Pada tahun 1960-an guru sekolah dihormati, terlebih di desa. Walau ‘hanya’ guru SD, bagi orang desa dia adalah orang hebat karena bisa membaca, menulis dan berhitung. Selain menjadi penolong penduduk membacakan surat-surat yang diterima dari sanak keluarga yang tinggal jauh dan kemudian menuliskan surat-surat balasannya, dia juga menjadi tempat bertanya tentang apa saja. Dan kehormatan yang lama disandang oleh Bpk Soemardiyono ini lenyap setelah dia diasramakan oleh pemerintah selama 2 tahun sebagai tahanan politik. Orang yang selalu disapa dengan hormat oleh setiap penduduk kini dihindari seperti orang berpenyakit menular. Bukan karena mereka membencinya, tetapi bila tampak akrab dengannya takut didatangi tentara untuk diperiksa apa punya “kuman penyakit” yang sama.


             KTP-nya ditandai sehingga dia tidak bisa bekerja di pabrik, apalagi kembali menjadi guru SD. Entah berapa banyak mereka yang setelah lepas dari asrama tahanan politik kemudian menjadi gila atau bunuh diri akibat dicabut haknya bekerja. Tetapi dia tidak takut karena baginya hidup harus terus berlanjut. Dia melakukan pekerjaan apa saja untuk menyambung hidup. Membetulkan atap rumah tetangga, mengecat rumah dsbnya dia lakukan. Bila tidak bertukang dengan dibantu istrinya dia mengambil air dari sungai kecil atau sumur di tengah sawah untuk dijual kepada famili-familinya yang kaya. 

           “Itu saat musim kemarau. Bagaimana bila musim hujan di mana setiap sumur penduduk tidak kering?” tanyaku.
            Itu telah dipikirkannya. Karena itu suatu hari dia menumpang kereta api pengangkut kayu jati ke Semarang. Turun di setasiun Poncol dia berjalan kaki menyusuri Jl. Imam Bonjol kemudian Jl. Mataram (sekarang MT Haryono) ke arah selatan. Di setiap rumah yang sedang dibangun atau direnovasi dia bertanya kalau-kalau masih dibutuhkan tukang cat. Sampai di Jomblang dia belum mendapatkan pekerjaan. Lalu dia ke Jl. Jeruk mencari bibinya karena dia ingat anak Bibi seorang pemborong. Dia diminta kembali besok pagi.

            Esok harinya dia ditawari sepupunya membantu temannya yang sedang membangun sebuah rumah di Peterongan. Karena tukang cat sudah ada, dia ditawari menjadi kernet tukang batu. Dia mau. Etos kerja yang ditunjukkan selama bekerja membuat bosnya terkesan sehingga kemudian dia dipindahkan ke sebuah rumah di Jl.Mataram dekat Pasar Dargo untuk menjadi tukang cat. Sejak itu pekerjaannya memikul kaleng air di desa diserahkan kepada keponakannya karena setiap hari dia harus ke Semarang dengan sepeda pinjaman.

           “Ilmu mistik dan kleniknya masih dipelihara, Pak?” tanyaku.
            Tidak. Selepas dari tahanan politik dia mulai menekuni Alkitab mencari di manakah Tuhan ketika penderitaan menggelapkan hidup seseorang. Itu pun kalau Tuhan memang ada. Tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Lalu dia ingat kata guru agamanya dulu, “Kamu harus suci bila menghadap Tuhan.” Dia mencari buku-buku mistik dan kleniknya. Tetapi tidak ditemuinya. Dia ingat ada laci rahasia di bawah lemari pakaian. Buku-buku itu ada di sana. Buku-buku itu dibakar. Setiap hari Minggu dia mengumpulkan beberapa tetangganya untuk membaca dan menyelidiki Alkitab. Itulah awal berdirinya gereja di dusunnya.

           “Dan berkat Tuhan kemudian datang?” tanyaku.
            Tidak! Tetapi beberapa bulan kemudian istrinya disuruh temannya yang pegawai negeri untuk mengirim surat lamaran ke kantor kabupaten. Ada lowongan PLKB – penyuluh lapangan keluarga berencana. Istrinya ragu karena pendidikannya rendah. Pak Mar menyemangatinya dan suatu subuh pk.03.00 dia memboncengkan istrinya dengan sepeda pinjaman ke sebuah kantor pemerintah di Semarang karena ada panggilan wawancara. Wawancara dimulai pk.08.00 dan banyak pelamar. Wawancara dilakukan di lantai 2 dan mereka dipanggil satu-persatu. Setiap pelamar seusai wawancara selalu mengeluh pertanyaan yang diajukan sangat sukar. Pk.16.00 baru nama istrinya dipanggil. Begitu istrinya menaiki tangga ke lantai dua dia bergegas mencari tempat sepi untuk berdoa. Di tengah doanya yang panjang sayup-sayup dia mendengar dari atas turun suara yang melantunkan tembang: -
 
Gusti ingkang maha suci
paringa ngapura
mring titah manungsa
murih pada eling mring Pangeran
duh Gusti sembah kita
sumungkem ing ngarsa pada Gusti kula
 
rangu-rangu tyas matrenyuh.
maweh suka rena radyan anggarjita
ungguling ayuda kersaning Hyang
duh Gusti kasih kula
sumungkem ing ngarsa pada Gusti kula

         Tembang itu selaras dengan doanya sehingga merasuki jiwanya, meneduhkan hatinya. Dan itu diceritakannya kepada istrinya ketika pulang.
        “Tadi ada malaikat nembang pangkur untuk aku. Pangkur palaran.”
         (Pangkur = jenis tembang Jawa; palaran = minta pertolongan)
        “Itu yang nembang aku, Pak-e. Pertanyaan pertama yang diajukan adalah hobiku apa. Aku jawab nembang. Lalu aku disuruh nembang. Selesai nembang disuruh pulang.”
        “Cuma itu saja? Nembang saja? Tidak ada pertanyaan ilmu pengetahuan?”
        “Tidak ada.”

         Celaka! Pasti pengujinya sudah kelelahan sehingga malas menguji. Namun demikian pada hari pengumuman kelulusan Pak Mar mengajak istrinya ke kantor kabupaten di Demak. Dia tidak ikut berdesakan melihat papan pengumuman. Waktu istrinya berkabar namanya ada, dia tidak percaya. Dia menyuruh istrinya melihat lagi. Istrinya kembali melihat papan pengumuman dan kemudian mengabari namanya ada, dia tidak salah baca. Waktu dia mengungkapkan ketidakpercayaannya, istrinya menarik tangannya untuk ikut melihat sendiri. Di kertas daftar lulus itu dia melihat ada nama istrinya. Duh Gusti.

         Beberapa hari kemudian istrinya berangkat ke Temanggung mengikuti pelatihan selama sebulan. Ia tak mampu menjenguknya. Setiap akhir minggu istrinya menerima uang saku. Jika yang lain langsung membelanjakannya, dia menyimpannya. Setelah lulus dari pelatihan, istrinya mendapat jatah sepeda baru yang diberikan kepada Pak Mar sedangkan dia sendiri membonceng temannya ke kantor.



         Dengan sepeda baru inilah Pak Mar setelah selesai kerja sebagai tukang di Semarang bisa mengunjungi gereja-gereja untuk meminta pendetanya datang ke persekutuan Minggunya menjadi pembicara. Dari Seminari Simongan dia mendapat bantuan ‘mahasiswa week-end’. Dari mana biaya yang diberikan kepada mereka sebagai uang pengganti transport? Dari gaji istrinya yang merelakan sebagian besar penghasilannya untuk menjaga kelangsungan persekutuan ini. Mereka memberi dalam kekurangannya, sebuah tindakan yang tidak setiap orang Kristen memilikinya.

                                                        (Sabtu 29.08.2015)

Pak Tee's picture

orang-orang hebat!

Sy suka cerita-cerita Pak Pur tentang orang-orang "sederhana", yg bagi sy luar biasa. Kalau orang kaya banyak menyumbang untuk operasional gereja itu "lumrah", jamaknya begitu. Kalau orang sederhana memberi dari kekurangannya, sungguh sesuatu yang patut dipuji. Hebat! Tulisan yang menarik, Pak!

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!