Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pasar Triwindu

anakpatirsa's picture

Seandainya, seandainya kakak dan adik-adikku melihat pasar barang antik di bekas gedung Srimulat ini, kami bakalan menjadi serombongan pelancong gila. Kami tertawa di setiap kios, bukan menertawai pedagangnya yang ramah. Juga bukan menertawai dagangan yang sudah berganti nama menjadi barang antik. Bukan! Kami menertawai kenangan masa kecil, kenangan saat kekonyolan terjadi secara alami.

Rumah kami penuh barang antik. Bukan karena bernilai dan kuno, tetapi karena ayah mengajari arti barang antik. Awalnya ibu selalu mengomeli ayah yang menyimpan apapun, dari tutup pulpen, engsel pintu, sampai bongkol lampu semprong. Alasannya selalu sama, benda-benda itu suatu saat menjadi barang antik.

Ibu suka bercerita kejadian saat Tiara, kakak tertua kami masih belum bisa berdiri. Pulpen rusak atau kosong bertebaran di seluruh rumah. Ibu jengkel, lalu mengumpul dan membuang pulpen segala warna dan bentuk itu melalui jendela kamar tidur. Sepulang sekolah, ia melihat ayah berjongkok di bawah rumpun pisang, mengumpulkan kembali pulpen-pulpennya.

Sejak saat itu, rumah kami menjadi museum barang antik.

Bila melihat sepeda tua dekat pintu samping pasar sementara ini, Mantuh tidak akan sanggup menyembunyikan muka merahnya. Kami tertawa, bukan menertawai sepeda itu, tetapi menertawai muka merah yang berubah masam. Tidak ada yang salah dengan sepeda ini, kami hanya menertawai sepeda tua kakek. Sepeda yang Mantuh jual seharga seribu rupiah sekilo.

Dalam sebuah keluarga, kelihatan ada yang mewarisi sifat ayahnya, dan ada yang mewarisi sifat ibunya. Dalam hal warisan, keluarga kami pun terpecah. Ada yang suka menyimpan barang tak terpakai dan ada yang suka membuangnya. Paling kentara pada si kembar, Nyai mewarisi sifat ayah. Bila kami memotong papan atau reng, ia mengumpulkan sisa potongannya. Mantuh mewarisi sifat ibu, menyukai rumah yang bersih. Hanya ia kalah suara. Demi rumah yang bersih, ia menyimpan koleksi kami di satu tempat, baik itu engsel pintu, paku, pemberat jaring, maupun segala barang yang kami temukan hanyut di sungai. Bukan hanya sekali ia bertengkar dengan saudara kembarnya, hanya karena si Nyai menemukan koleksi potongan kayunya berkurang satu.

Kami kuliah, hanya si kembar yang tinggal di rumah. Koleksi barang antik kami masih aman karena ada Nyai, dan sebagian barang antik itu milik ayah. Tetapi akhirnya mereka berdua juga harus kuliah. Di sebuah liburan semester, Nyai tidak bisa pulang, hanya Mantuh. Koleksi barang antik kamipun lenyap. Telah terjadi persekongkolan, Mantuh merayu ibu yang sudah lama ingin melenyapkan koleksi barang antik keluarga. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, stroke membuatnya tidak berdaya mempertahankan koleksi barang antik keluarga.

Mantuh kebablasan, ia tidak hanya menamatkan koleksi kami dengan api unggun. Loteng di atas ruang depan juga bersih. Bertahun-tahun sepeda itu di sana, bahkan sudah ada di sana sebelum kami lahir. Puluhan tahun tidak tersentuh. Entah bagaimana caranya menurunkan sepeda itu, tidak ada yang tahu.

Ibu sendiri hanya tutup mulut.

Kami hanya tahu satu hal, sepeda yang pernah menjadi satu-satunya sepeda di kampung ini akhirnya lenyap. Berita sepeda itu terjual seharga seribu rupiah sekilo benar-benar menyebar cepat. Bertahun-tahun menjadi pembicaraan. Mantuh akhirnya tidak pernah punya keberanian mengunjungi para sepupu kami. Mereka tidak bertanya apakah ia baik-baik saja. Mereka hanya bertanya, apakah benar ia telah menjual sepeda kakek seharga seribu rupiah sekilo.

Bila sudah puas membalas penghancuran koleksi, aku akan mengajak kakak dan adik-adikku melihat koleksi lampu petromaks yang kami sebut lampu strongking. Lampu ini pasti membuat mereka mengingat rumah. Ada empat potongan besi menjulur dari langit-langit rumah kami, tempat menggantung lampu strongking. Hanya satu strongking yang selalu menyala setiap malam, sisanya hanya hidup bila ada acara khusus. Bila lampu ini meredup, artiya saat untuk memanggil ayah. Ia segera datang, menurunkan lalu memompanya kembali.

Aku sendiri masih ingat bentuk bola lampunya. Bola lampu yang masih baru bentuknya seperti kaos kaki berenda. Ada tulisan Stormking di bungkusnya. Entah bagaimana caranya berubah menjadi strongking. Di bawahnya ada piring berbentuk biji jambu mete, tempat menuangkan spritus. Kalau sudah kena api, kaos itu berubah bulat lonjong. Setelah itu sama sekali tidak boleh kena getaran keras, bola lonjong itu sangat rapuh dan mudah sobek.

Juga ada lampu semprong. Kami pasti tertawa bila ingat, seringkali sumbunya terlalu tinggi sehingga paginya kami terbangun dengan lubang hidung menghitam. Rumah kami penuh tancapan paku untuk menggantung lampu semprong. Selalu ada lingkaran hitam di langit-langit tepat di atas paku gantungan. Ayah suka menyimpan rumahan logam tempat sumbu dan dudukan semprong ini. Kami tidak tahu namanya, karena bentuknya seperti bongkol pisang, maka kami menyebutnya bongkol semprong.

Pasar antik ini juga menjual bongkol semprong

Mebel jati mengingatkan kami pada pelajaran bahasa Indonesia. Ayah Budi sedang membuat meja dari kayu jati, namanya meja jati. Kami punya meja jati di ruang tengah. Kayunya kuat, kakek bilang itu dari Jawa. Meja jati di pojok ini bentuknya persis sama dengan yang diruang tengah rumah kami. Kursi tua itu juga mengingatkan kami pada kursi sama yang tersingkir dari ruang depan karena ada sofa baru. Kami tidak boleh tiduran di atasnya. Terjadi ketidakadilan, seekor makhluk boleh bercokol di sana, seekor kucing manja yang bulu putihnya memenuhi sofa itu. Bahkan akhirnya tamu pun lebih suka duduk di kursi kayu. Sofa itu telah menjadi miliknya, bukan hanya kucing tetangga yang mampu mencium sedikit bau pesing tanda kepemilikan sofa itu.

Seadainya, seandainya ibu ada, ia pasti tertarik pada setrika arang di lantai. Aku harap setrika ini membuatnya ingat pada sebuah janji. Aku menginginkan ayam jago yang ada di bagian depan setrika seperti ini. Bila mau mengisi atau mengipasi arang di dalam setrika, seseorang harus menarik ayam jago itu dulu. Tidak ada yang mengijinkanku melepaskannya. Aku pernah memintanya pada ibu, ia bilang tidak boleh. Berjanji, aku boleh memiliki ayam jago itu bila setrikanya rusak.

Bertahun-tahun kutunggu setrika itu rusak, benda hitam berbentuk kapal itu benar-benar tahan banting. Suatu hari, ayah membeli setrika listrik. Setrika arang itupun menjadi barang antik. Aku tidak lagi tertarik pada patung ayam  jagonya. Aku sudah kelas lima sekolah dasar, ayam jago besi itu tidak lagi menarik.

Bila keluar pasar, kami harus melewati pintu samping. Bila melihat kios sementara milik para penjual onderdil mesin, giliran Dein tertawa kecut. Ada klahar disana, bantalan peluru yang membuat as roda berputar cepat dan lancar. Suatu hari ia melihat peti mengapung di sungai. Ia bawa pulang, lalu memasang dua klahar sebagai rodanya. Di bawah rumah, ia mendorong si kembar yang berteriak kegirangan. Dein lalu menemukan ide baru, lebih mudah dan ringan kalau gerobak kecilnya punya rel. Ia pun mengambil papan ulin di bawah kamar kakek. Kakek tentu saja keberatan, ia menyiapkan papan ulin itu untuk peti matinya.

Bila sudah puas tertawa di pasar sementara, aku akan mengajak mereka ke tempat asli pasar ini. Akan kuceritakan pada mereka tentang Pasar Triwindu.

Pertama kali kudengar Triwindu dari seorang dosen pikun pensiunan kolonel. Ia selalu mengisi kuliah Kewiraan dengan cerita tentang cucunya, vokalis group band papan atas negeri ini. Juga bercerita pengalamannya menjadi penerbang angkatan udara. Membawa pesawat tempur dari Adi Sucipto ke Adi Sumarno hanya untuk makan soto di Triwundu.

Lalu aku menginjakkan kaki di kota ini.

Hanya mendengar cerita, pasar Triwindu berisi kios-kios barang etnis dan antik yang berjejer di antara gang sempit. Terletak dekat Pura Mangkunegaran. Agak tersembunyi, sehingga pendatang harus bertanya untuk menemukannya.

Lorong sempit dan kios sederhana, cocok dengan bayanganku sendiri tentang sebuah pasar barang antik maupun bekas. Nuansa remang-remang serta sedikit semrawut memang seharusnya menjadi ciri khas pasar seperti ini. Lantainya tidak boleh mengkilap tanpa cacat, harus ada sedikit lubang. Sehingga bila baut terjatuh, perlu senter dan beberapa menit mencarinya. Dindingnya juga tidak boleh putih bersih, harus berwarna gelap dan ada bolongnya. Demi sebuah keserasian.

Pasar Triwindu, segala barang berembel-embel kuno ada di sana. Keris, wayang, koin, lentera, hiasan dinding, topeng, lampu dan gantungannya, jam dinding, mebel, kursi, radio, dan stoples kue ada di sana. Barang kuningan seperti kalung, cincin, peralatan minum, bercampur dengan barang-barang perunggu dan logam lain. Pokoknya, apa yang bisa ditemukan di loteng rumah tua, ada di pasar ini.

Menurut cerita, sebagian barang itu berasal dari Pura Mangkunegaran. Awalnya hanya para abdi dalem yang menjual barang ke situ, tetapi akhirnya pihak Mangkunegaran ikut memasoknya dengan barang antik yang dianggap tidak berharga atau rusak. Bukan hanya barang antik yang ada. Onderdil sepeda, sepeda motor, mobil, mesin kapal juga ada. Pokoknya, semua isi mesin--pegas, piston, baut, busi, dan lain sebagainya--ada di Pasar Triwindu.

Aku sama sekali tidak pernah punya kesempatan ke Pasar Triwundu ini. Saat kesana, tukang sedang membongkarnya, renovasi. Pedagangnya untuk sementara pindah ke bekas gedung Srimulat. Di koran kubaca, ada masalah. Bahkan ada yang menuduh renovasi Triwindu sebagai pemusnahan masa lalu berdalih modernisai pasar tradisional. Ada yang keberatan karena salah satu masa lalu kota ini terkubur, sebuah pasar dengan lorong-lorong unik dan kecil berubah menjadi pasar modern bertingkat. Penjual mesin berat mengeluh karena mendapat tempat di lantai atas. Lalu bagian depan pasar yang strategis menjadi tempat istimewa. Tidak perlu pintar matematika untuk mengetahui hanya orang-orang tertentu yang menempati bagian depan ini.

Bila saudaraku sampai di pasar Triwindu, kami tidak menemukan apa-apa selain sebuah bangunan pasar yang kelihatannya megah. Masih sepi, katanya baru bulan Juni nanti pedagang bisa pindah ke tempat ini. Bila kami masuk ke dalam, kami hanya akan menemukan beberapa barang antik berupa botol bekas minuman keras di pojok.

Pasar ini masih belum selesai.

Bila pulang, kami, termasuk Mantuh, pasti sama-sama berharap, siapapun yang mempunyai ide tentang Triwindu yang asri, ia tidak seperti seorang di antara kami. Ia tidak sedang melakukan apa yang pernah si bungsu lakukan: Menjual sepeda kakeknya seharga sepuluh ribu sekilo demi loteng yang bersih.

Evylia Hardy's picture

@anakpatirsa: setelah tak terjangkau

benar sekali. sering kita sulit menghargai apa yang kita miliki, baru kita sadari setelah hal itu tak terjangkau lagi

isi tulisan anakpatirsa bagus deh

Eha

__________________

eha

joli's picture

@AP.. pasar favourite

Dear AP

Pasar triwindu adalah pasar favourit sebelum masuk ke pasar SS :)

Membaca tulisan AP, dan si kembar Nyai dan Mantuh, kayak melihat Joli n Paul (my bojo)..  Paul suka beli dan koleksi barang antik.. tuh kalau AP mau lihat pasar Triwindu pindah ke t4ku.. ada piring tahun bahulea, bahkan pecahan piring pun di simpan, jarik (kain panjang), lampu, kendi, dan segala macam mebel ada dit4ku, juga meja sembahyang sepasang, timbangan plus bandulnya, uleg-uleg, lesung, wayang, cap batik, wis pokoke komplit.. Joli kebalikannya, kalau ada yang mau beli.. ya.. silahkan.. meski sering barathayuda setelahnya he.. he..  itu dulu.. sekarang udah nggak begitu lagi, mencoba ikut menikmati rosokan..

Pasar Triwindu pindah ke Srimulat? wah belum kesana ik..  kayaknya mesti niliki sana lagi.. kalau ada yang bisa di beli untuk Paul.. solu untuk minta tukar dengan "tanah"..

Purnawan Kristanto's picture

Video Tri Windu

Bagi teman-teman yang belum pernah berkunjung ke Pasar Antik Tri Windu ini, silakan lihat videonya di sini:

 

 

 


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

esti's picture

@joli ... ada pasar baruKah"

Allow Joli, kmrn ada ibadah paskah jam 4 pg ora?

masak q baru tdr jam setengah loro...eh..h..eh j telu dibangunin pakne diajak ibadah subuh j 4 trus slesai ibadah gerak jalan keliling kebon raya, plg2 badanku jd remuk redam@

pg2 nengok psr, tau2 ada cerita psr mo pindah , bener ya?

ngomong2 rmh joli bs jd musium dong? kpn2 mo lihat rongsokan ah, sapa tau ada yg diloakin murah2.....he..he..he..

 

Salam"

jofie's picture

Pasar triwindu..

Pasar triwindu.. yang paling kuingat adalah soto triwindunya, ehm enaak.. he5