Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Otak Otak Bandeng
Aku langsung membuka tudung saji di atas meja makan saat masuk dapur.
“Ya ampuuunnn… tas, jaket dan barang bawaan itu ditaruh dulu kan bisa…” teriak adikku
“Aku lapeeeeeeeeerrrr buangeeettt” jawabku sambil nyengir
“Kapan kamu ini nggak laper. Tuh lauknya otak-otak bandeng… cukuplah kalau dimakan dengan nasi panas” kata adikku sok ketus
Aku mengamati otak-otak bandeng yang berada di atas piring itu, baunya semakin menggoda perutku. Hmmm… perutku memang susah diajak berkompromi dengan satu kata ini “kelaparan”
Nasi putih panas , otak-otak bandeng, sambel siap kusantap, dapur yang hening membuatku mengingat sesuatu tentang makanan ini beberapa tahun lalu.
**
Hari sudah lewat jam makan siang tetapi teman-temanku belum kembali ke kantor. Aku melongok ke kubikal sebelah, masih sepi. Aku mendengus kesal.
Aku memeriksa catatan sekali lagi, sejak jam makan siang sudah ada dua penelpon yang kuterima. Bukan masalah berat sih… hanya sekedar curhat yang menurutku bisa dicari sendiri pemecahannya.
Bekerja di kantor konseling rohani seperti ini gampang-gampang susah, menerima telpon, mencari celah masalahnya, mencari jawaban dengan mengetikkan keyword pada program alkitab di komputer dan menjawab penelpon. Mirip dengan customer service perusahaan telekomunikasi dan sejenisnya itu, hanya saja jawabannya tidak berdasar keluhan pada perangkat atau layanan.
Aku telah dipertemukan dengan begitu banyak orang sejak bekerja di tempat ini satu tahun lalu. Seorang anak yang broken home dan ingin mengakhiri hidupnya, seorang istri yang suaminya selingkuh, seorang gadis yang menunggu jodoh, dan para pria yang cemas dengan dosa tersembunyi yang dilakukan mereka.
Pekerjaan ini juga membawaku memasuki kamar-kamar gawat darurat di rumah sakit untuk bertemu air mata dan wajah sembab, bahkan penjara. Seorang konselor memang tak harus turun dan mendarat di tempat tempat seperti itu, hanya menjawab dari telepon saja sudah cukup, dan selanjutnya para ‘pendeta’ yang melakukan kunjungan. Namun jadwal padat para pendeta akhirnya memaksa kami para konselor turun ke lapangan juga.
Tuttttt… Tuttttt…. Tuuuuuttt… bunyi telepon kembali memekakkan telinga
“Selamat siang, di sini Shallom ministry dengan Iik… ada yang bisa kami bantu?” sapaku
Suara seorang perempuan terdengar dari seberang sana “Ya, saya Ibu Priyambodo. Bisa saya berkonsultasi mbak?”
“Monggo Ibu…” jawabku dengan logat Jawa yang kental
Ibu Priyambodo bercerita tentang anak laki-lakinya yang sangat tertutup, tidak bisa bergaul sangat sensitif, pemarah dan bertanya bagaimana cara mengatasinya secara rohani.
Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal, aku sungguh tidak tahu jawabannya, untunglah tak terlihat oleh penelpon. Mana ada keyword pria kesepian di Alkitab? keluhku
“Bagaimana jika mbak yang berkenalan dengan Bagas? Mungkin dia akan lebih terbuka? Mbak ‘kan seorang konselor pasti dengan lembut bisa menuntunnya untuk membuka diri” usul Ibu Priyambodo
Dengan bodoh aku menyetujui usul tersebut.
**
“Woiii… telepon untukmu dari Bagas… di line 5? teriak Mirza di telpon. Anak satu ini memang mempunyai kebiasaan berteriak.
Amira menoleh padaku dengan menyeringai, “Hati – hati jatuh cinta dengan klien…”
Seringai yang mengandung peringatan untuk tidak diabaikan sebenarnya. Kelembutan cara bicara dan sikap seorang konselor yang terkadang cenderung kharismatik sangat mengundang orang untuk mudah jatuh hati. Tidak terlalu jauh masuk dalam masalah klien dengan emosional adalah peraturan nomer satu. Tapi katakan padaku, siapa yang tidak akan terjatuh dalam dentingan yang mendadak muncul saat mendengar suara seorang lawan jenis yang lemah lembut? Toh aku masih berusaha meyakinkan diri kalau ini masih sejalan dengan aturan standar profesional konseling rohani.
Hmmmm… aku mendesah pelan sambil mengangkat telepon
Waktu bergulir, pria bernama Bagas itu menelpon hampir setiap hari di jalur konseling kami. Kali ini dia bercerita tentang ayam peliharaan keluarga mereka yang mulai bertelur, petak sayuran mereka yang mulai bertumbuh, dan masakan ibunya.
Aku tersenyum, misi sang Ibu tercapai. Bagas mulai membuka komunikasi dengan orang lain meskipun hanya melalui telepon saja.
“Bisakah aku berkunjung ke rumahmu hari minggu besok?” tanya Bagas
“Uh! Berkunjung ke rumahku?” tanyaku mengulang
“Iya! Kok heran? Bolehkan?”
“Tapi kita belum pernah bertemu…” tanyaku bodoh
“Hadooohhh… karena kita belum pernah bertemu itulah alasanku berkunjung ker rumahmu…”
“Ohhh….” jawabku singkat
“Kenapa? Bisa kan? Aku berkunjung dengan ibuku ya…” kata Bagas lagi
Aku hampir melonjak saking kagetnya, “Dengan ibumu???”
“Ya… dengan ibuku… lebih baik kan?!”
“Ya ya… boleh boleh…” jawabku menyerah
Aku terduduk diam beberapa saat setelah telepon ditutup. Kena jebakan? Aku harus bagaimana? Kata tanya ‘bagaimana-bagaimana’ melintas liar di pikiranku. Aku memaki dalam hati tanpa putus.
“Hei, gampang itu! Kamu belum punya pacar kan, dan ibunya suka sama kamu…! Udah! Hajaaaarrr!!” kata Mirza setengah berteriak
“Hajar hajar…! Enak tok ngomongnya! Masalahnya …” jawabku menggantung
“Masalahnya ini skenario ibunya… ha ha ha ha ha ha…” sambung Mirza sambil tertawa ngakak
“Tawamu jelek sekali!” rengutku
***
Aku menatap canggung dua orang yang muncul bersamaan di hadapanku. Seorang ibu dengan anak lelakinya yang tinggi dan berkacamata.
“Hai…” sapaku mengulurkan tangan pada Bagas setelah mencium dan memeluk ibunya
“Hai juga…” jawabnya sambil tersenyum
Aku menatap matanya seperti yang biasa kulakukan untuk mencari kilasan karakter seseorang. Bukan pria yang terlalu tampan, wajahnya biasa saja dengan kulit sawo matang, senyumnya manis, cuma matanya membuatku merasa sedikit bergidik.
“Ini Ibu bawakan otak-otak bandeng… buatan sendiri lho… semoga suka ya…” tukas Ibu Priyambodo segere saat menyaksikan canggungnya sikap kami berdua.
Aku menemui kedua tamuku bersama Ibu, adikku beberapa kali mengintip di balik korden sambil matanya mengedip nakal.
“Cieeehhh… dilamar” celetuknya saat aku ke dapur untuk membuatkan minuman
“Dilamar gundulmu itu!” jawabku sambil menjitak kepalanya
Tak ada percakapan istimewa yang kami lakukan, hanya sekedarnya saja. Aku tahu Ibu tua ini berharap banyak padaku.
Aku sungguh berharap waktu cepat berlalu.
**
Hari selanjutnya Bagas masih sering menelponku, semakin sering malahan. Dia mulai banyak tertawa dan berusaha melucu meskipun selera humor kami berbeda. Aku sebaik mungkin berusaha menimpalinya.
“Kamu lebih pendiam sejak kita bertemu ya…” kata Bagas suatu hari
“Ah masak?” tanyaku sambil mengusap rambutku seperti yang biasa kulakukan saat gusar
“Iya lho… kenapa? Kamu tak suka padaku?” cecarnya
“Suka? Bukannya aku tak pernah mengatakan suka padamu?” jawabku mulai asal asalan
“Tapi… kamu begitu lembut, baik dan peduli padaku…”
Aku mengernyitkan dahi, pria ini sungguh kuper sekali, keluhku. Bagaimana mungkin lembut, baik dan peduli sama dengan suka?
Aku mendengus pelan, “Memang aku harus begini…”
“Apa maksudmu harus begini? Karena tuntutan profesi sebagai konselor saja? Atau apa? Bukannya aku menganggapmu lebih dari teman” suara Bagas yang meninggi terdengar dari sana
Aku kembali menggaruk kembali kepalaku. Aku mengenali ciri-ciri resiko seperti ini di buku ketentuan standar pelayanan. Aku telah kecemplung dalam pusaran emosional klien, dan mendapatkan complain karena pelanggaranku. Aku menggelengkan kepala keras-keras.
“Maafkan aku Bagas… aku menganggapmu tak lebih dari…”
Jawabanku yang menggantung terpotong oleh bentakannya, “Klien!!! Ini pasti skenario ibuku!!”
Telepon terputus begitu saja, aku menyandarkan punggung, dan menutup mata
Amira dan Mirza melongok dari sebelah atas kubikal, “Ngapain? Ada apa?”
“Bagas marah besar, membentakku dan menutup telponnya begitu saja…” jawabku
“Kamu juga sih… nggak mau jadi pacarnya…” sahut Mirza sambil menyeringai jelek.
“Kau ini Mir…” tukas Amira
Aku menatap wajah kedua sahabat baikku itu sambil mendengus kesal, “Bukan sekali ini dia begitu. Sejak pertama kali menerima telponnya, dan menjalin persahabatan selama beberapa bulan ini, dia selalu begitu. Emosinya naik turun mengerikan. Sangat menakutkan. Aku tak mau lagi terlibat di urusan ini. Biar ibunya membawanya ke psikolog saja setelah ini. Semoga saja dia tak pernah muncul di rumahku…”
“Bukannya Firman Tuhan sanggup memulihkan luka dan kejahatan pada hati seseorang” goda Mirza lagi sebelum akhirnya wajahnya menghilang kembali ke kubikalnya
“Iya, aku tahu itu… tapi mungkin tidak melalui perkataanku. Biar sajalah dianggap aku ini gagal, karena nyatanya memang seperti itu. Firman yang kuucapkan tak mempan untuk Bagas… justru aku yang terseret olehnya” gumamku pada Amira yang masih menatapku dengan rasa peduli.
“Heh! Mau makan atau melamun? Kalau makan otak-otak pasti teringat Mas Bagas dan Ibunya ya??” goda adikku yang mendadak muncul di dapur
Aku melemparkan tissue bekas ke arahnya
***
*gambar dari google
a house in the middle of nowhere
- iik j's blog
- Login to post comments
- 4687 reads