Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Orang yang bangkrut

Sri Libe Suryapusoro's picture

Beberapa hari yang lalu seorang teman kuliah menghubungi saya. Dia sedang mempunyai masalah keuangan yang sangat parah. Tokonya mengalami kerugian besar karena banyak pelanggannya yang belum membayar hutang. Ketika dicari ke rumah atau tempat usaha mereka sudah tidak ada. Sementara itu pembayaran ke pemasok barang sudah mendekati deadline.

            Siapa sih yang mau dekat-dekat dengan dia? Dia sedang mengalami banyak masalah dan masalah utamanya adalah uang. Dia mencari solusi dan satu-satunya solusi yang terpikirkan adalah tersedianya uang untuk membayar tunggakan uang. Tentu saja pelayan-pelayan Tuhan seperti saya tidak mempunyai cukup uang untuk membantunya. Kalau ratusan ribu sih saya bisa membantu tapi kalau ratusan juta? Rumah saja masih kontrak bagaimana mungkin saya bisa membantu dia?

            Sebenarnya ada rasa ketakutan dalam diri saya ketika dia mau bertemu dengan saya. Tetapi saya memberanikan diri. Saya persilahkan dia untuk main ke rumah saya-tepatnya ke kontrakan saya. Saya memberi kesempatan baginya untuk melihat kenyataan di dalam diri saya. Wajar saja dia menganggap saya ada beberapa juta rupiah karena saya sudah lama bekerja. Bukan cuma itu, teman-teman kuliah saya memang kaya. Mereka berkarier di bidang mereka (kami sama-sama lulusan ITB) sedangkan saya beralih ke pelayanan. Bahkan seorang teman saya telah membeli tanah 10 hektar untuk memulai usaha sampingan sebagai petani. Sementara saya beberapa bulan yang lalu memulai usaha perternakan dengan modal satu juta dan sudah bangkrut karena kena penyakit.

            Akhirnya kami bertemu. Awalnya dia menceritakan teman-teman kami yang sudah cukup sukses. Dari tiga belas orang (dulu kami bertiga belas menjadi pengurus persekutuan kampus), dua orang ada di Australia. Beberapa lain di Jakarta dengan posisi yang sudah cukup mantap. Seorang lagi sedang di Aceh menangani proyek pemulihan Aceh. Setelah itu dia menceritakan semua beban hatinya. Kerugian-kerugian yang dia alami, kecerobohannya, keadaan orang tuanya dan saudara-saudaranya. Terus terang, saya yang hanya mendengar ceritanyapun merasakan pusing. Saya coba memberikan nasihat. Saya coba memberikan solusi, hanya saja tidak ada solusi yang ditemukan.

            Saya masih ingat pertanyaannya, sampai batas manakah kita melakukan bagian kita? Saat itu saya menceritakan bahwa kita harus melakukan yang terbaik yang menjadi bagian kita dan Allah akan melakukan sisanya. Terus terang saya tidak bisa menjawab pertanyaannya. Semua yang bisa dia lakukan sudah dilakukan, saat ini yang ada adalah yang tidak mungkin lagi dia lakukan.

            Beberapa hari kemudian dia sms saya,”bantuin aku dong” begitulah intinya. Saya bisa bantu apa? Tentu saja tidak ada selain doa. Saya pun memberikan ayat yang dulu kami pelajari bersama di kampus. Apakah itu membantu? Saya tidak tahu, hanya saja dia sudah menyerah. Tetapi sehari setelah itu dia menceritakan percakapannya dengan temannya yang lain, yang menguatkan dirinya.

            “Kita dari dulu dilatih untuk menjadi problem solver. Ketika ada permasalahan maka yang kita lakukan pastilah solusinya. Kita sudah pusing dulu memikirkan solusi baru setelah itu berdoa. Itu langkah yang salah. Seharusnya kita berdoa dulu baru memikirkan solusi.” Apa yang dia katakan benar. Di kampus dulu kami dilatih untuk menyelesaikan permasalahan dan setiap permasalahan pasti ada solusinya.

            Sebenarnya lucu juga, dia yang menasihati saya bukan saya yang menasihati dia. Dia yang mempunyai masalah justru dia yang membagikan berkat ke saya. Akhirnya saya sadar bukan saya yang melayaninya tetapi dia sedang melayani saya. Bukan saya yang dipakai Tuhan untuk menolongnya tetapi dialah yang dipakai Tuhan untuk menolong saya.

            Sebagai seorang pelayan, saya sering bangga dalam hati saya setelah saya melayani seseorang. Wah… saya merasa dipakai Tuhan luar biasa. Saya merasa hidup saya berguna buat orang lain. Tetapi ada satu hal yang tidak saya sadari, sebenarnya orang yang saya layani adalah orang yang Tuhan utus untuk melayani saya.

            Bukankah ketika saya melayani seseorang, saya lebih mengenal Tuhan? Bukankah saat itulah saya belajar banyak tentang hidup ini? Bukankah saat itu saya juga bisa mensyukuri atas setiap peristiwa dalam hidup saya? Sering kali saya mengingat masa lalu saya ketika saya melayani seseorang dan saat itulah saya mempelajari hidup saya sendiri. Sering kali juga saya kehabisan kata-kata dan saat itulah saya berpikir keras sehingga menemukan hikmat dari Allah.

            Akhirnya saya menyadari, bukanlah kebanggaan ketika saya mempunyai banyak pelayanan. Karena sebenarnya saya sedang dilayani banyak orang. Ketika saya melayani seseorang sebenarnya saya sedang dilayani Allah melalui orang tersebut. Terima kasih Tuhan karena telah mengirimkan orang-orang yang mempunyai masalah kepadaku sehingga saya boleh merasakan pelayanan mereka.

__________________

Small thing,deep impact

Chipurru's picture

Hikmat Tuhan

Menurut saya, seperti apa yang diungkapkan oleh Anda di atas bukan hanya sekedar pengertian Anda sendiri, ada hikmat Tuhan di sana. Sama seperti pada saat saya melayani anak-anak di PA anak. Setiap kali saya melayani mereka, saya merasakan sukacita yang besar. Pada saat saya merasa sedih pun, saya tidak akan merasa sedih, justru saya merasa mendapat penghiburan dengan melayani mereka. Tuhan memang sungguh ajaib!