Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

ORANG PINTAR BELANJA HEMAT SEKOLAH MURAH

Purnomo's picture

            Siang tadi aku ke Sekolah Nasional Mataram untuk menemui Kepsek SD-nya memberitahu siswanya yang aku santuni masih ada 7 orang dan undangan untuk mengambil uang aku kirim langsung ke ortu ybs lewat sms, tidak lagi melalui Kepsek. Sewaktu melintas depan kelas TK aku melihat seorang lelaki muda yang anaknya aku santuni waktu kelas 6 SD dan mulai bulan Oktober akan disantuni kembali karena SMP-nya tetap di sekolah ini.

 


          “Papa Velis menjemput siapa?” tanyaku.
          “Anak saya dua. Velis yang kelas 7 dan yang kedua masih di kelas TK ini.”
        
           Waktu mau bertanya lagi, tukang yang sedang menambal langit-langit di dekat kelas TK turun dari tangga dan bertanya kepadaku, “Pak purnomo, beasiswa untuk anak saya masih bisa diambil?”
          “Namanya siapa?”
          “Agustus.”
          “Oooo ya sudah dicoret dari daftar karena 2 bulan berturut-turut santunan tidak Bpk ambil.”
          “Saya ‘kan tidak punya uang untuk terlebih dahulu melunasi spp. Apa tidak ada dispensasi, pak?”
          “Tidak ada.”
          “Kalau anak saya dikeluarkan dari sekolah bagaimana?”
          “Ya saya tidak mikir sampe ke situ lha wong dia bukan anak saya, tapi anak panjenengan. Apa sekarang dia sudah dikeluarkan?”
          “Ya tidak. Anak saya bersama beberapa anak dapat sponsor lain. Malah karena Kepsek kasihan sama saya, saya disuruh kerja di sekolah ini, bantu-bantu betuli yang rusak ringan dan bersih-bersih. Masuk jam 6 pagi pulang jam 5 sore.”
           “Makanya suruh anak bpk rajin belajar, jangan kebaikan sekolah ini disia-siakan.”

           “Pak pur, ini ada anak yang perlu ditolong. Namanya Angel, rumahnya di Kedungmundu, perlu beasiswa. Bapaknya minggat, ibunya belum bekerja,” katanya.
           “Pak, di sekolah ini saya tidak bisa menambah anggota beasiswa baru.”
           “Sebentar pak pur, saya panggilkan ibunya.”

            Gimana seh orang ini. Dia kembali bersama seorang perempuan yang tampak masih muda usia. Dia memperkenalkan diriku sebagai orang yang memberi beasiswa kepada banyak siswa di sekolah ini.
            “Pak, kalau perlu beasiswa sebaiknya ibu ini menghadap ke Kepsek, biar dicarikan sponsor. Bpk tidak bisa langsung begini karena melompati Kepsek, lagipula saya tidak bisa jadi sponsornya karena jumlah siswa di sini yang saya santuni sudah ‘mentok’.”

             Setelah ibu muda ini meninggalkan kami, Papa Velis berkomentar, “Mbokyao dicarikan pekerjaan, pak. Di Jalan Gajah banyak toko yang perlu karyawan, toko laundri, warung fotokopi, tukang jahit.”

            “Sudah saya beri beberapa alamat yang butuh karyawan, tetapi dia tidak mau ke sana. Pinginnya kerja di luar negeri jadi tekawe.”



            “Kalau di sini dia tidak mampu bayar uang sekolah, pindahkan saja anaknya ke sekolah gratis sebelah kelenteng Gang Lombok. Di sana mutunya juga bagus. Anak di TK-B saja sudah bisa menulis,” saranku.
           “Saya sampaikan,” katanya dan berjalan menuju tempat berkumpulnya para ortu yang akan menjemput anak-anaknya.

           “Tetapi saya melihat orang tua siswa sekolah kelenteng Khong Kauw (Kuncup Melati) tidak sedikit yang pakaiannya rapi dan bagus, ibunya pakai anting-anting dan gelang emas. Mereka tidak miskin. Tetapi demi bisa masuk sekolah gratis mereka meminta SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari kelurahan,” cerita Papa Velis kepadaku.

            Dia mengatakan “saya melihat” karena dia salesman snack anak-anak yang HET-nya 500 sampai 700 rph sebiji sehingga mengunjungi sebanyak-banyaknya kantin sekolah adalah wajib baginya.
            “Mungkin karena mutunya sekarang makin bagus setelah Pak Aman jadi ketua yayasannya.”

            “Bukan karena mutunya, tetapi karena gratisnya mereka menyekolahkan anak-anaknya di sana. Harusnya mereka tahu sekolah itu untuk yang tidak mampu. Lalu kalau semua kelas sudah penuh ‘kan kasihan anak-anak yang betul-betul tidak mampu tidak kebagian bangku di sana. Orang sekarang walau punya uang maunya serba gratis, bila perlu mengambil jatah orang lain.”



            Aku terpesona melihat wawasannya yang luas. Dia seorang salesman, banyak melihat, banyak mendengar, banyak menyimpan cerita. Dengan alasan mau menemui Kepsek SD aku berpamitan. Aku kuatir nanti dia bertanya motorku pakai premium atau petramax. Di dapur rumahku aku menyimpan tabung gas biru atau melon.

           Sebetulnya, apa salahnya orang memanfaatkan kesempatan yang ada selama itu tidak melanggar hukum yang berlaku? Orang beli gas melon atau premium tidak ditangkap polisi walau bawa mobil yang harganya di atas 500 jt. Di gerejaku pendeta juga tidak pernah mengkotbahkan itu perbuatan dosa. Kata temanku, “Akal yang TUHAN beri jangan disia-siakan. Manfaatkanlah setiap kesempatan yang ada. Orang pintar itu bisa belanja hemat bisa sekolah murah, bila perlu gratis. Kalau ada yang gratis mengapa harus cari yang membayar?”

            Lalu mengapa Matius 22:37 mencatat perintah Yesus, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap AKAL BUDImu.” Mengapa tidak memakai kata AKAL saja tanpa BUDI?

           Duh, si Budiiiiiiiiiiiiii lagi, bikin pusing saja.

           (Semarang, Jumat 23.09.2016)