Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Omerta

kurnia's picture

Beberapa minggu terakhir ini aku mulai terpengaruh oleh kebiasaan teman-temanku di studio - membaca novel. Apapun jenis novelnya - dari novel anak-anak (Harry Potter), novel detektif, sampai novel “kiri” (karya Pramudya). Novel terakhir yang aku baca adalah Omerta, sebuah novel karya Mario Puzo, yang berkisah tentang kehidupan mafia di Amerika.

Omerta, yang artinya adalah budaya tutup mulut di kalangan mafia asal Sisilia, berkisah tentang pertikaian yang terjadi di antara mafia, yang melibatkan pihak FBI, kepolisian dan bahkan konsulat jendral suatu negara. Novel tersebut menambah pengetahuanku tentang dunia mafia (yang selama ini aku ketahui dari film-film di TV), budaya dan hukum yang berlaku di antara mereka. Banyak kontradiksi yang aku temui dalam novel itu - bos mafia (Don) yang kejam terhadap musuh, namun dikenal juga sangat dermawan, agen FBI yang menerima uang suap namun gencar memburu para mafia, kesetiaan dan pengkhianatan dalam organisasi, dsb. Namun ada satu budaya yang membuat aku merenung, yaitu KESETIAAN.

Para anggota mafia umumnya memiliki kesetiaan yang sangat tinggi kepada pemimpinnya, bahkan mereka tidak lagi memperdulikan nyawanya. Hanya satu hal yang biasa ditakutkan oleh anggota mafia - keselamatan keluarganya. Mereka tidak peduli kalau nyawanya terancam - itu sudah menjadi resiko bagi mereka - tapi mereka akan berpikir dua kali kalau ada anggota keluarga mereka yang terancam.

“Jangan mengandalkan rasa terima kasih untuk kebaikan yang kaulakukan pada orang di masa lalu.” demikian nasehat yang diberikan seorang don kepada calon penggantinya. “Kau harus membuat mereka merasa berterima kasih untuk apa yang akan kaulakukan bagi mereka di masa depan.” Entah mengapa perkataan dalam novel itu terngiang dalam pikiranku. Tampaknya itu adalah salah satu alasan mengapa anggota mafia begitu setia dan penuh dedikasi, tanpa memikirkan resiko yang mereka hadapi. Asalkan mereka mendapat jaminan bahwa keluarga mereka akan terjamin kehidupannya, mereka sudah tenang dan akan selalu setia. Itulah “rasa terima kasih atas apa yang akan didapat di masa depan”.

Hampir bersamaan ketika aku membaca Omerta, aku membantu menerjemahkan bahan sekolah Alkitab. Bagian yang aku terjemahkan bertemakan Jabatan Hakim yang dimiliki Allah. Allah adalah adil, benar, dan fair. Dialah satu-satunya Hakim yang Benar, Dia merupakan Kebenaran itu sendiri, dan Dialah yang bisa memberikan keadilan secara tepat, karena dia maha tahu, maha hadir, dan keadilan adalah bagian dari diriNya. Dia menjalankan penghakiman dengan adil, termasuk terhadap manusia. Tidak ada seorangpun yang akan lolos dari pengadilan Allah, dan pengadilan itu diawali dari ‘rumah Tuhan’ (2 Kor 5:10; I Pet 4:17). Kitapun, sebagai orang Kristen, akan berhadapan dengan pengadilan Allah, atas setiap dosa maupun perbuatan baik yang kita lakukan.

Jadi apa bedanya, kita sebagai orang percaya, dengan dunia, jika kita sama-sama jatuh dalam pengadilan Allah, Yang Maha Adil ? R.C. Sproul mengatakan bahwa “Jika kita tidak diadili kita bukanlah orang Kristen, dan tidak akan pernah mendiami Kerajaan Allah”. Sementara Tozer mengungkapkan bahwa “Karena dosa kita, kita semua berada dalam hukuman maut, pengadilan yang dihasilkan ketika keadilan berhadapan dengan situasi moral kita.”

“Allah yang adil ingin mendapati kita semua tidak bersalah. Dia ingin memberi pengadilan yang adil bagi kita semua. Namun karena Dia adil, Allah tidak bisa sekedar melupakan kenyataan buruk mengenai hidup kita.” demikian diungkapkan oleh Bisagno. Memang benar, Allah itu adil, dan Dia murah hati. Namun keadilan tetap harus ditegakkan, dan Dia tidak bisa hanya sekedar ‘melupakan dosa-dosa kita’, menganggapnya tidak pernah ada. Bisagno melanjutkan ulasannya, “Karena Allah kita adil, karena Allah kita benar, kita dapat ditebus. Allah kita yang adil telah menyediakan jalan raya - pembenaran oleh iman dalam Yesus Kristus - bagi kita semua. Ini begitu mudah; kita hanya perlu percaya. Allah mengurus sisanya.” Praise God! Allah sendiri menyediakan jalan raya bagi kita, suatu jalan kasih karunia - dan itu tidak otomatis. Yesus Kristus, sebagai penjelmaan dari kebenaran dan keadilan Allah, yang sempurna dan tidak berdosa, telah menjadi berdosa bagi kita, sehingga seluruh kesalahan kita ditimpakan kepadaNya.

Yesus melakukan penebusan bagi kita di kayu salib. Dan seperti yang dikatakan Bisagno, KITA HANYA PERLU PERCAYA. Pertobatan dalam iman kita kepada Kristus, membuat kita menerima kebenaran dan keselamatan. Ada suatu jaminan bahwa di tahta penghakiman Allah nanti, kita akan dapat berdiri dan dibebaskan dari segala hukuman yang selayaknya kita terima. Itu semua karena apa yang telah diselesaikan Yesus bagi kita, di kayu salib. Betapa besar kemurahan yang telah Ia berikan, yang merupakan jaminan bagi masa depanku, masa depan kita semua, yang percaya kepadaNya.

Pelajaran tentang penebusan itu telah sering aku dengar, yah, setidaknya setelah aku bertobat beberapa tahun lalu. Tapi ketika aku teringat kembali sikap para anggota mafia dalam novel Omerta, aku jadi malu. Mereka memiliki pengabdian dan kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin mereka, seorang don - manusia biasa, hanya karena rasa terima kasih akan apa yang telah dijanjikan sang Don bagi ‘masa depan’ keluarga mereka. Padahal bisa saja Sang Don itu ingkar janji atau kehilangan kekuasaan (mengingat sengitnya persaingan di dunia mafia, belum lagi campur tangan pihak berwenang). Sepertinya suatu dedikasi yang konyol !

Tapi, mengenang kembali kisah penebusan yang dilakukan Allah bagi setiap orang yang percaya, aku jadi merasa konyol - atau lebih tepatnya tidak tahu diri! Aku mendapatkan jaminan masa depan yang lebih pasti dan lebih meyakinkan, dari Allah yang tidak pernah ingkar janji, dan tidak pernah akan kehilangan kekuasaanNya ! Tapi apa yang kuberikan bagi Dia sebagai ungkapan terima kasih. Jangankan nyawa (seperti yang dilakukan para anggota mafia), sedikit uang, sedikit waktu, atau sedikit tenaga pun kadang-kadang terasa enggan untuk aku berikan. Aku malu melihat pengabdian orang-orang yang ‘tak bermoral’ itu. (Bahkan saat aku mengetik kata-kata ini, rasa bersalah itu tetap menghantui - tidak tahu berterima kasih, tidak tahu diri, dsb - mungkin Anda punya gambaran yang lebih tepat).

Pemimpin mafia itu menggunakan ‘janji kebaikan untuk masa depan’ untuk memperoleh kesetiaan dan pengabdian (dedikasi) dari para anggotanya. Dan sedikit banyak itu berhasil. Sementara Allah, Dia melakukan penebusan itu untuk kita. Kita lah yang diuntungkan, bukan Dia. Apa ruginya bagi Allah kalau satu (atau lebih) orang binasa dan menerima penghukuman. Apa Dia kekurangan orang untuk menemani Dia di surga? Atau apakah Dia butuh tambahan kekuatan untuk menunjukkan bahwa Ia berkuasa?

Semua yang Tuhan lakukan adalah demi kebaikan kita. Semua itu karena kasihNya pada manusia, - ciptaan yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupaNya sendiri namun selalu gagal untuk menunjukkannya. Melalui Yesuslah gambar dan citra Allah itu dipulihkan, dan lagi-lagi, itu untuk kebaikan kita. Masa depan kita terjamin. JanjiNya pasti digenapi. Tapi tidak hanya itu. Dia juga TELAH berbuat baik pada kita, dan bahkan Dia SELALU menyertai kita, turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom 8:28).

Wah, wah, aku jadi semakin malu. Entah sudah berapa banyak kebaikan yang Tuhan berikan dalam hidupku, dan tampaknya sebanyak itu pulalah yang telah aku lupakan. Atau mungkin aku mengabaikannya karena menganggap hal itu terlalu biasa. Itulah kelemahannya. Seringkali kebaikan Tuhan itu terasa ‘kabur’, aku nggak terlalu yakin apakah itu pemberian Tuhan atau bukan.

Kadang ketika ‘penglihatan rohani’ku sedang baik, aku bisa benar-benar menyadari betapa baiknya Tuhan itu. Tapi biasanya itu nggak bertahan lama. Keduniawian, kedagingan dan dosa terlalu sering mengaburkan mata rohaniku, dan kebaikan Tuhan itu lewat begitu saja. Terlupakan. Satu lagi catatan mengenai sikap “tidak tahu diri” yang aku miliki.

Dan masih ada satu lagi. Begitu sering aku mengabaikan kenyataan bahwa Allah ada besertaku, mengawasi dan menemaniku. Aku rasa para anggota mafia itu begitu takut pada pemimpinnya, bahkan meskipun pemimpin itu tidak ada di dekat mereka. Mereka takut, menyangka bahwa tindak-tanduk mereka akan diketahui oleh pemimpin itu, meskipun sebenarnya tidak. Tapi Tuhan kita, Dia tahu setiap inci pergerakan kita. Tapi begitu sering aku mengabaikannya, cuek dan menganggapnya nggak ada. Begitu sering aku melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatiNya, yang menyakitkan, - suatu pengkhianatan. Kalangan mafia tidak akan mentolerir hal ini. Pengkhianatan tidak akan diampuni.

Tapi syukurlah, sekali lagi, syukurlah. Tuhan masih memberi kesempatan padaku - setidaknya itu yang aku yakini. Dia masih membuka tangan lebar-lebar, dengan kemurahan yang melimpah, untuk menyambutku. Untuk hal ini, aku harus meneladani sikap Paulus yang tidak menganggap bahwa ia telah mencapai kesempurnaan, namun ia “melupakan apa yang dibelakangku dan mengarahkan diri pada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”(Fil 3:13-14). Satu lagi keyakinan Paulus : “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Fil 4:13)

Aku belajar banyak dari para anggota mafia, - orang yang mungkin tidak peduli akan apa yang benar dan yang salah -, dan seharusnya bertindak lebih baik dari mereka. Tuhan telah berbuat begitu banyak kebaikan di masa lalu, masa kini, dan juga bagi masa depanku. Aku harap aku bisa menunjukkan rasa terima kasihku sebagaimana seharusnya, tentu saja oleh anugerah Tuhan. Jangan lupa, Tuhan juga melakukan hal itu bagi Anda, kalau Anda mau percaya.

 

Juni 2001 

__________________

Just as i am,

kurnia