Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Deklarasi rawan dikorupsi?

Purnomo's picture

Deklarasi adalah uang biaya perjalanan, begitu yang tercatat dalam KBBI. Istilah ini sudah lama dipergunakan oleh gereja kami untuk honor yang diberikan kepada pendeta atau penceramah tamu yang kami undang. Di gereja lain istilahnya PK, persembahan kasih.

o –

          Natal tahun itu gereja kami mengadakan kebaktian Natal gabungan seluruh komsel. Seluruh lagu yang dinyanyikan dalam ibadah ini diiringi oleh orkes keroncong dari gereja lain. Para pemainnya berusia di atas 40 tahun dan semuanya adalah karyawan gerejanya. Saya yang bertugas sebagai pemimpin nyanyian jemaat harus sering menoleh ke kelompok musik ini untuk memberi aba-aba. Inilah kali kedua saya berdiri di depan anggota seluruh komsel. Kali pertama adalah ketika saya diminta membahas lagu-lagu sekuler yang dinyanyikan dalam gereja akibat adanya beda pendapat atas masuknya lagu “You raise me up” dalam ibadah Minggu dan perohanian beberapa lagu pop.

           Penugasan kali ini bukan karena saya dinilai trampil dan berpengalaman dalam memimpin jemaat menyanyi, tetapi karena sayalah yang mencari kelompok musik ini. Untuk memberi suasana lain, pengurus komsel menugasi saya mengganti organ, keyboard dan piano dengan yang lain. Gambang keromong tidak mungkin karena kelompok musik Semarangan ini tinggal sedikit dan jarang berlatih. Lagipula tidak semua anggotanya Kristen. Musik etnis Tionghoa saya coret dari daftar pilihan karena baru kami pergunakan dalam ibadah Advent bersama dengan gamelan dan musik etnis Batak. Saya pergi ke sebuah gereja untuk melihat latihan musik campursarinya. Sayang, setiap alat musik dimainkan sama kerasnya sehingga melodi lagu nyaris tak terdengar. Atas rekomendasi pendetanya, saya pergi ke sebuah gereja yang memiliki orkes keroncong.

           Saat Firman diberitakan, barulah saya duduk di kursi jemaat. Seorang mencolek lengan saya dari belakang. Tius yang pengurus komsel menyodorkan sebuah amplop. “Ini deklarasi untuk orkes. Kamu yang memberikan selesai ibadah,” bisiknya.

          Deklarasi adalah uang biaya perjalanan, begitu yang tercatat dalam KBBI. Istilah ini sudah lama dipergunakan oleh gereja kami untuk honor yang diberikan kepada pendeta atau penceramah tamu yang kami undang. Di gereja lain istilahnya PK, persembahan kasih. Deklarasi tidak diberikan kepada para pengkotbah atau penceramah yang juga warga gereja kami. Saya membuka amplop yang tidak dilem itu. Ada beberapa helai uang berwarna merah di dalamnya. Saya menoleh ke belakang, tetapi Tius telah menghilang. Saya ingin memberitahu jumlah deklarasi terlalu banyak.

           Bagaimana tidak terlalu banyak bila yang disepakati tidak semua dipenuhi? Seorang penyanyi puteri yang mereka janjikan membawa lagu untuk saat teduh tidak datang. Tiga kali saya datang ke gereja mereka untuk menyaksikan latihan, tetapi latihan itu tak pernah ada. Padahal saya harus tahu bagaimana mereka membuat intro dan coda setiap lagu yang telah kami pilih. Malam sebelumnya baru mereka berlatih di gereja kami dan saya terpaksa terlibat di dalamnya. Saya ingin tahu bagaimana mereka memainkan ritme ¾ yang ada dalam lagu Malam Kudus sementara musik keroncong hanya mengenal ritme 4/4. Betul juga, malam itu saya harus mengajari mereka bagaimana memainkan lagu itu dalam ritme 4/4.

          Saya diam-diam membuka kembali amplop itu. Saya mencabut satu helai dan memindahkannya ke dalam dompet saya. Setelah acara selesai dan para pengurus berkumpul, saya memberikan uang itu kepada Tius. “Deklarasi orkes aku potong seratus.” Saya memaparkan alasannya. Ia protes.

          “Kalau menurut kamu aku salah, besok kamu ke gereja mereka untuk menambahinya. Tahu kamu tidak setuju aku pakai uang itu untuk jajan saja. Kamu juga tidak tahu sebetulnya aku potong seratus atau dua ratus ribu rupiah.”

          “Aku percaya kamu,” jawabnya.

           Percaya? Kata ini tidak bisa menjadi dasar keabsahan sebuah laporan keuangan. Memang gereja itu bukan perusahaan. Tetapi laporan keuangan berdasarkan “percaya saja” sulit untuk dipertanggungjawabkan. Karena, yang percaya Anda pasti menyerahkan deklarasi tanpa diskon kepada yang berhak menikmatinya tidak setiap orang. Hanya teman-teman Anda yang percaya. Bagaimana dengan orang lain? Apalagi bila suatu saat Anda mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa melunasi kredit bisnis saat jatuh tempo sehingga muncul gosip bahwa Anda sengaja menunda-nunda melunasinya karena mau “nakal.” Bisa saja kemudian orang bergunjing, “Jangan-jangan ia juga ‘menakali’ uang deklarasi yang dulu oleh gereja dipercayakan kepadanya.”

           Tetapi itu tidak terjadi di gereja saya. Petugasnya adalah pemilik perusahaan yang sukses sekaligus penatua senior. Semua orang – juga warga jemaat yang bukan aktivis – percaya atas kejujurannya. No problem, bukan?

          “Nanti dulu,” sergah saya dalam bincang-bincang santai tentang deklarasi dan korupsi dengan beberapa penatua. “Ia sudah lama mengurusi deklarasi, mungkin lebih dari 2 tahun. Mengapa tidak diganti orang lain?”

          “Untuk apa? Selama ia tidak berkeberatan mengapa harus diganti?”

          “Aku pun diganti tidak masalah. Malah berterimakasih,” komentar yang bersangkutan.

          “Kalau mulai minggu depan ia diganti aku yakin tidak ada masalah dalam lingkup internal kemajelisan karena kamu semua akrab dan bisa berterus terang. Tetapi apa yang dipikir oleh jemaat awam? Mengapa penatua itu tidak lagi memegang kas deklarasi? Apa sudah tidak bisa dipercaya lagi?”

           Beberapa pengurus Komisi Pemuda menyiapkan uang deklarasi untuk penceramah tamu. Yang mendapat tugas memperlihatkan uangnya kepada teman-temannya dan berkata, “Lihat, jumlahnya sudah cocok. Aku masukkan ke dalam amplop. Aku lem. Kamu semua jadi saksi.”

          Saya tertawa. “Ini bercanda ya. Siapa tahu sampai di rumah kamu ganti amplopnya setelah kamu comot selembar. Atau, ibumu mendadak butuh uang dan dia pikir uang dalam amplop itu uangmu. Dia ambil selembar lalu amplop dilem lagi, tapi dia lupa memberitahu kamu.”

          Ia bingung. “Lalu bagaimana baiknya?”

          “Masukkan uang itu dalam amplop terbuka. Serahkan kepada penceramah dan minta ia menandatangani kwitansi sebagai tanda bukti penerimaan uang.”

          Ia meringis. “Jangan ah, saya risih.”

           Memang rasanya risih melakukan sesuatu yang belum atau tidak lazim. Itu juga saya rasakan ketika pertama kali setelah menyerahkan amplop kepada seorang pendeta kemudian menyodorkan kwitansi dan berkata, “Maaf Pak, untuk tertib administrasi tolong kwitansi ini ditandatangani.”

          Tius setelah tahu apa yang saya lakukan protes. Tetapi saya tetap bersikukuh akan terus melakukan prosedur administrasi ini. Lepas dari organisasi gereja, Tius menyelenggarakan persekutuan Jumat siang di sebuah sekolah nasional yang punya SD, SMP dan SMA. Karena lepas dari organisasi maka Tius harus mendatangkan SDM dari luar gereja kami. Saya disuruh membantunya sebagai bendahara.

           “Aku tahu kamu percaya aku tidak akan mengurangi selembar uang deklarasi seperti dulu tanpa memberitahu kamu,” kata saya. “Tetapi bagaimana dengan para donatur lain yang tidak mengenal saya luar-dalam? Jika semua kwitansi deklarasi aku yang menandatangani apa mereka tidak curiga? Jika kamu tidak suka aku meminta tandatangan pendeta yang menerima deklarasi, kamu kumpulkan nomor rekening bank mereka. Nanti uangnya aku transfer lewat ATM dan bukti transfernya aku serahkan kepada mereka tanpa mereka perlu membubuhkan tandatangan karena aku bisa menyimpan fotokopi bukti transfer itu sebagai dokumen pendukung pengeluaran uang. Jika kamu tidak setuju juga, aku cabut. Kamu urus sendiri uang kegiatan ini.”

          Lama kelamaan saya tidak risih menyodorkan kwitansi dan para pendeta juga tidak lagi tersentak ketika selembar kwitansi disodorkan kepadanya. Mereka tidak langsung membuka amplop untuk mencocokkan isinya. Tetapi setidaknya mereka ingat angka yang tertera di lembar kwitansi itu yang nanti di rumah bisa dicocokkan dengan isi amplop itu.

           Kepada satu dua orang pendeta saya menjelaskan mengapa saya melakukan prosedur ini. Mereka bisa mengerti dan tidak tersinggung. Bahkan ketika saya pecah kongsi dengan Tius karena menyelenggarakan persekutuan Jumat di sekolah lain dan meminta bantuan pelayanan dari para pendeta ini sambil berbisik ”maaf Pak, uang kas hanya untuk menyantuni SPP siswanya, jadi tidak ada PK untuk Bapak,” mereka segera saja setuju membantu saya. Saya senang mendapat bukti bahwa masih banyak pendeta yang tetap menomorsatukan pelayanan.

           “Uang itu belakangan,” seorang pendeta bercerita kepada saya. “Bahkan pernah setelah berkotbah saya mendapat PK berupa satu kaleng roti,” sambungnya sambil tertawa. “Malah saya jadi risih. Bagaimana tidak? Jemaatnya sebagian besar tukang batu, tukang becak, babu cuci, PRT dan semacamnya.”

          Tentu keterusterangannya kepada saya dikarenakan kami sudah akrab. Pernahkah terpikir oleh para pengurus gereja bahwa keakraban antarpendeta juga bisa mendorong munculnya pertukaran informasi tentang jumlah deklarasi yang mereka terima dari gereja-gereja yang pernah memakai tenaga mereka?

           Seorang teman perempuan bercerita. “Kemarin aku diminta memimpin persekutuan karyawan pabriknya Bu Hartono. Setelah itu aku diberi amplop. Kamu tahu berapa isinya? Lima ratus ribu rupiah. Kamu pernah diminta pelayanan di pabrik itu?”

          “Tidak. Tetapi kalau aku nanti diminta, apa aku juga akan diberi 500 ribu?”

          “Pasti tidak. Paling kamu diberi lima puluh.”

          “Kok?”

          “Bicaramu kasar. Kotbahmu isinya mercon mulu bikin orang kram jantung. Aku ‘kan lain.”

          Saya tertawa. “Bukan itu sebabnya. Kamu dapat 500 karena kamu datang pakai sepeda motor jelek. Aku diberi 50 karena datang pakai mobil bagus.”

           Mungkin saja ada gereja melakukan hal yang sama: tidak memberi deklarasi yang sama kepada para pengkotbah tamu walau mereka datang dari kota yang sama. Hal ini bisa membuat seorang pendeta tamu bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa aku menerima 1 juta sedangkan rekanku bulan lalu menerima 2 juta dari gereja ini? Jangan-jangan punyaku disunat oleh penatua yang tadi menyerahkan amplop ini.” Gereja ini membedakan deklarasi mungkin karena, “Pendeta yang ini masih muda, anak orang kaya. Sedangkan yang datang bulan lalu sudah hampir pensiun sementara anaknya ada yang masih SMA dan istrinya membuka warung makan.”

           Prasangka ini tidak akan muncul bila penyerahan deklarasi dalam bentuk uang tunai atau lembar bukti transfer uang juga disertai selembar kwitansi yang harus ditandatangani penerimanya. Atau bila masih risih melakukannya, dalam surat ucapan terima kasih atas pelayanannya cantumkanlah kalimat “Bersama surat ini ijinkan kami menyerahkan kepada Bapak uang sejumlah Rp. . . . . . . untuk membantu pelayanan Bapak selanjutnya.”

          Berani mencoba?

 

(the end)

 

Catatan: semua nama telah disamarkan.

 

bygrace's picture

Persembahan kasih dan HAM

 Di daerah Sumatera Utara, uang deklarasi seperti ini sangat terkait dengan HAM. Para pelayan Firman akan meminta agar HAM mereka dipertimbangkan apabila mereka melayani jemaat.

Saya sempat kaget ketika tak sengaja terlibat dalam suatu diskusi informal dengan beberapa pendeta yang menyebut-nyebut tentang HAM ini. Seumur-umur baru saya baru tahu bahwa tugas pelayanan terkait dengan HAM. Tak tahan dengan kebingungan mengikuti pembicaraan para pendeta tersebut, saya meminta penjelasan kepada Pak Pendeta yang ada di dekat saya. Penjelasannya ternyata sangat sederhana,"HAM...hamauliateon." [= ungkapan terima kasih, dalam bahasa Batak]. Oooo....
 
Kepalang sudah dikaitkan dengan HAM, persembahan kasih - saya sependapat dengan Pak Purnomo - sebaiknya dibuat transparan penyampaian dan pencatatannya.
 
Purnomo's picture

@bygrace: Ingat Medan

Sharing Anda membuat pikiran saya melayang kembali ke Medan. Bagi orang-orang yang tinggal di Jawa apa yang Anda tulis bisa menimbulkan tanda tanya besar karena di sini HAM amat sangat jarang membuat masalah bagi penerimanya.

Dalam blog “Derma untuk Gereja” saya menulis:

Tetapi masih ada jemaat yang mengabaikan perintah ini. Bagi mereka seorang pendeta harus hidup prihatin, memikul salib, kalau dapat kendaraan ya yang ala kadarnya saja. Celakanya salib yang harus dipikulnya adalah salib buatan jemaatnya, bukan buatan sorga. Sudah berat, jelek lagi.

Dari pemikiran yang salah ini tidak perlu diherani bila ada gereja yang menggaji pendetanya sesuai UMR, seolah-olah pendetanya itu buruh pabrik garmen. Tetapi penatuanya tidak bisa memberi lebih karena pemasukan uang dari jemaat seret sekali. Lalu bagaimana beliau bisa membiayai hidupnya sekeluarga? “Berkat Tuhan itu sangat mengherankan,” jawab pendeta ber-UMR ini kepada saya. Apakah yang dimaksud dengan berkat itu? Ia menerima “uang mimbar” setiap membawakan kotbah atau melayani persekutuan-persekutuan. Jika masih juga kurang, jangan kuatir. Ada sebaris sesepuh gereja yang pada akhir bulan secara rutin memberikan “amplop syukur”nya bila dikunjunginya. Hati saya miris membayangkan beliau mengambil “gaji tambahan” seperti seorang pengemis. Karena itu jangan marah bila bertemu mahasiswa theologia yang punya cita-cita bekerja di gereja besar.

 Informasi di atas saya dapatkan ketika tinggal di kota Medan.

Salam.

 

Purnawan Kristanto's picture

Setuju Kwitansi

Menurut saya dengan kwitansi maka semuanya menjadi jelas dan transparan. Pemberi deklarasi bisa mempertanggungjawabkan keuangan. Sementara di penerima deklarasi juga bisa mengecek jumlah uang yang diterimanya karena tertera di kwitansi. Jika tidak ada tanda terima, maka seandainya isinya ditilep oleh petugas pemberi deklarasi, maka [mungkin] tidak ada yang tahu. Yang perlu dilakukan adalah menghilangkan budaya pekewuh itu.

Ketika diundang sebagai pemateri dalam seminar/talkshow yang diadakan pemerintah, saya harus menandatangani berlembar-lembar SPJ. Uang yang diterimanya pun kadang dalam bentuk recehan karena langsung dipotong pajak. Jadi budaya tertib administrasi seperti ini cukup baik untuk ditiru. Pertanyaannya, siapkah gereja kalau juga sekaligus memotong pajak lebih dulu sebelum menyerahkan deklarasi?

Oh, ya....

Ada soal lain dalam hal tertib administrasi. Kadangkala ada jemaat yang memberi persembahan khusus bagi pendetanya. Persembahan ini dicatat, lalu jumlahnya diumumkan di warta. Hal ini tidak masalah kalau pendetanya satu. Tapi kalau pendeta di gereja itu lebih dari satu, dan yang diberi persembahan hanya satu pendeta; atau kalau kedua-duanya diberi persembahan khusus tapi jumlahnya berbeda, pertanyaanya: haruskah jumlahnya diumumkan di warta? Kalau diumumkan, ada kemungkinan timbul "iri" dalam hati di antara pendeta itu.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnomo's picture

@Pak Wawan, ini bukan aturan standar

          Tentang persembahan khusus bagi pendeta, setiap gereja punya aturan masing-masing karena belum diatur dalam tata gereja. Di gereja saya ketika punya 2 pendeta sudah disepakati semua masuk ke kas gereja dan diwartakan dengan redaksi “persembahan untuk Pendeta” tanpa menyebut nama penerima.

          Bahkan “salam tempel” baik saat jemaat menyalaminya selesai ibadah Minggu atau pun dalam kebaktian di rumah jemaat atau rumah duka, oleh pendeta diserahkan kepada kantor gereja.

          Di gereja dengan sistem seperti ini lebih baik jemaat memberi pendetanya barang, misalnya laptop, pulsa, hape, voucher makan or wisata, mesin cuci, vacum cleaner, sepeda motor, mobil atau rumah.

          Salam.

 

SAMMY SIGA's picture

selalu ada celah

Wah, Pak Pur, kalo seseorang punya niat  nakal sih, saya kira memang selalu ada celah. Andaikan saya yang melakukannya, kwitansi yang ditandatangani nara sumber adalah jumlah yang sudah dikurangi nilai tertentu yang saya tilep. 

Lantas saya palsukan tanda tangan beliau di kwitansi baru, sejumlah yang ditugaskan gereja untuk diserahkan. Nah kwitansi dengan tanda tangan palsu inilah yang saya serahkan sebagai pertanggung jawaban.

__________________

Purnawan Kristanto's picture

Setiap sistem ada celahnya.

Setiap sistem ada celahnya. Sepanjang belum ada cara yang sempurna, maka sistem yang terbaik di antara yang terburuk yang kita pakai. Kalau tidak mau bersikap begitu, ya sudah, tidak usah melakukan apa-apa saja. Toh semua sistem pasti bisa diakali. Jangan sampai kita kehilangan pengharapan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnomo's picture

@Sammy, korupsi itu kreatif

          Saya telah mengkonter komen Anda dalam blog saya: memanfaatkan fasilitas transfer antarrekening atau mencantumkan angka nominalnya pada surat ucapan terima kasih. Tetapi apakah cara ini sudah pasti manjur. Tidak, (kata Anda) selalu ada celah karena (kata Pak Wawan) setiap sistem ada celahnya. Mengapa demikian?

          Kata orang korupsi bisa terjadi karena adanya kebutuhan dan peluang. Saya pribadi – menimba pengalaman mengaudit laporan keuangan di tempat kerja – ada faktor ketiga yang sangat menentukan: kreativitas.

 

          Kebutuhan. Harusnya hanya mereka yang butuh materi saja yang terdorong untuk korupsi. Ini teori kuno karena sekarang menuruti anjuran Maslow yang namanya kebutuhan jangan hanya materi. Orang juga butuh pengakuan, pengakuan bahwa ia orang pandai yang bisa mengakali pengaman sebuah prosedur. Atau, setidaknya kepuasan diri karena bisa menyiasati atasannya atau superiornya.

          Peluang. Tanpa ada peluang tidak akan ada korupsi. Ini juga teori kuno. Karena – kita lihat faktor ketiga.

          Kreativitas. Tanpa kreativitas para koruptor akan bernasib konyol seperti maling jemuran. Kreativitas bisa membuat orang lain yang bersih menjadi kambing hitam. Kreativitas bisa menciptakan peluang yang semula tidak ada. Cerita seorang blogger SS, seorang calon pejabat mau membangun jembatan di dapil-nya. Ketika diingatkan bahwa di daerah pemilihannya tidak ada sungai, dengan tenang ia berujar: “Mengapa bingung? Selain membuat jembatan, kita buat sekalian sungainya.” Inilah kreativitas tingkat tinggi.

          Salam.

 

Yenti's picture

Duit lagi deh:)

Kalo di gereja saya, dah ada ketetapannya Pak. Jadi misal : pembicara luar berapa, pembicara dalam berapa. Nah Jumlahnya pasti akan tetap, kecuali kalo ada perubahan untuk jumlah tersebut,  Misal : ada acara Paskah. si Bendahara komisi memberikan uang tersebut ke bendahara acara, dan akan dibuat tanda terima, Kemudian si bendahara acara harus meminta tanda tangan ke pembina dan ketua untuk pengeluaran tersebut. Tapi kalo mau main curang bisa aja seh. Si bendahara acara memalsukan jumlah uang dan kwitansi pengeluaran tetap diubah karena emang kagak ada tanda tangan si penerima.

Kalo mau catut, banyak seh pak.. apalagi yang hitung uang persembahan. Saya kebagian ngitung tuh:) Setiap ada setoran kas untuk sekolah minggu, yang hitung adalah koordinator atau guru di bagian tersebut, kemudian baru diberikan ke saya- bendahara komisi . Saya lapor ke gereja. Nah yang bisa catut itu ada 2 tuh.. saya dan guru yang menghitung di bagian tersebut:p he..he...

Yah akhirnya sistem percaya toh:)

ArcH's picture

Inspired

Where have you been all my life ?

__________________

Destiny is what you make of it

Purnomo's picture

@Yenti, Akhirnya percaya saja deh

         Bagaimanapun unsur kepercayaan tetap harus ada. Tidak harus dalam hal keuangan saja, tetapi untuk guru SM BPH-nya harus percaya bahwa yang bersangkutan tidak mengajar anak-anak doktrin yang tidak direstui gerejanya (hanya?) karena tidak mungkin setiap Minggu para BPH-nya berkeliling ke seluruh pos untuk mengawasi mereka satu persatu.

         Namun demikian sebuah sistem kontrol harus ada karena kita tahu “sistem percaya saja” rawan sekali terhadap penyimpangan. Penyimpangan bisa terjadi bukan hanya disengaja, tetapi juga karena ketidaktahuan. Saya geli ketika menyaksikan seorang GSM membawakan sepenggal cerita Sam Kok di depan anak-anak. Saya tidak bisa marah karena dia telah menafsirkan “cerita bebas pada Minggu ke-5” dengan “boleh cerita apa saja.”

         Gereja sering tidak berani memberlakukan sebuah sistem kontrol karena takut dituduh tidak percaya terhadap aktivisnya. Ketika diselenggarakan pencatatan presensi kehadiran penatua yang bertugas dalam ibadah Minggu banyak yang marah. Saya (yang tidak pernah mau jadi penatua) berkata, “Kalau bersih mengapa risih? Kalau kamu marah berarti selama ini kamu sering membolos atau datang terlambat. Daripada kamu melayani dengan tidak sejahtera, lebih baik mundur dari penatua dan duduk manis sebagai jemaat saja.”

          Untuk mengamankan uang persembahan anak SM selain dengan perlengkapan administrasi, kami juga selalu mengingatkan “jangan berlaku seperti Hofni dan Pinehas.” Ketika menjadi warga jemaat sebuah gereja besar di Jakarta saya ditugasi untuk mengaudit ulang arsip keuangan Komisi SM-nya 3 tahun ke belakang. Hampir 10 dos besar arsip saya bawa pulang dan selama 2 bulan setiap malam kerja lembur. Hasilnya? Sebagian menjadi bahan ilustrasi dalam blog saya “Melayani sambil Mengutil” yang intinya adalah jangan jabatan gerejawi yang dipercayakan kepada kita membuat kita merasa bisa berbuat apa saja sehingga -

          ing ngarsa ngumbar angkara (di depan memuaskan nafsu), ing madya ngempalake banda (di tengah mengumpulkan harta), tut wuri tumut nitili (di belakang ikut mengutil).

          Salam.

 

Purnomo's picture

@ArcH akhirnya berkomentar juga

          Saya merasa tersanjung dengan komentar Anda di No repair but replacement dan di blog ini karena Anda user lama yang sangat jarang berkomentar. Karena itu walau pertanyaan Anda sangat ringkas dan merupakan pertanyaan yang sulit saya coba menjawabnya .

          Saya bingung dengan pertanyaan “Where have you been all my life” karena pertanyaan ini hanya saya dengar dari mulut istri saya bila dia sedang memarahi saya yang suka ngelencer keluar rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu.

          Hope it answers your question.

         Salam.