Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mereformasi Pemikiran Homogenisme Sejumlah Politisi

sarlen's picture

Prinsip Homogenisme Ditolak Sejak Awal

Upaya keras sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam pansus (panitia khusus) dan panja (panitia kerja) DPR untuk segera mensahkan RUU Pornografi menjadi UU Anti Pornografi, merupakan upaya untuk mengadopsi prinsip-prinsip homogenisme yang dianut oleh golongan atau kelompok tertentu, kedalam wilayah ranah konstitusi Indonesia, sebagai hukum formal yang mengikat seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Tindakan ini mereka lakukan karena sesungguhnya mereka tahu dan menyadari kalau mereka mencoba memaksakan keinginan untuk menerapkan secara utuh prinsip-prinsip homogenisme kedalam konstitusi, maka hal itu akan sulit tercapai karena prinsip-prinsip homogenisme bukanlah sebuah cara pandang atau tatanan kehidupan yang selama ini dijalani oleh bangsa Indonesia.

Alasan terbesar kenapa masyarakat menolak adanya keinginan sejumlah politisi untuk menerapkan prinsip-prinsip homogenisme didalam tatanan kehidupan masyarakat yang berbangsa dan bertanah air Indonesia, karena sejarah bangsa Indonesia memang hanya mengenal bentuk tatanan kehidupan masyarakat pluralisme, yang telah dijalani semenjak bangsa ini belum meraih kemerdekaan.

Sikap menolak memang sudah mengemuka semenjak bangsa ini berdiri. Pertama kali, sikap penolakan ditunjukkan oleh para pendiri bangsa kita, dengan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dari rancangan isi Pembukaan UUD 1945, atas prakarsa Mohammad Hatta.

Pada saat badan Konstituante ingin merevisi kembali keberadaan dasar hukum negara kita, Bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno, mengintervensi upaya sejumlah anggota badan Konstituante yang kembali ingin memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta kedalam konstitusi, dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.

Dua memontem bersejarah itu memberikan satu makna mendalam, yaitu para pendiri bangsa kita, memang meyakini kalau pola tatanan kehidupan masyarakat plural yang melekat didalam kehidupan masyarakat Indonesia, merupakan sesuatu hal yang tidak dapat terbantahkan lagi, sehingga mereka tetap berkehendak agar kehidupan masyarakat plural, tetap dipertahankan.

Mereka lebih menggunakan hati nurani serta pola pemikiran rasional untuk lebih mendorong adanya persatuan dan kesatuan didalam masyarakat, dengan menghindari sikap egois maupun cara pandang sempit, yang bisa merusak atau menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat plural yang telah lama terbentuk dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat.

Para pendiri bangsa nampaknya sangat menyadari, kalau segenap perjuangan para pejuang kemerdekaan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, yang dilakukan dengan mengandalkan kekuatan satu, dua, atau gabungan tiga daerah semata, tidak akan membuahkan hasil.

Segenap upaya untuk mempertahankann kemerdekaan dengan menempatkan persatuan dan kesatuan diatas perjuangan yang bersifat kedaerahan atau berlandaskan semangat homogenis, ternyata membawa negara kita tetap bisa hidup di alam kemerdekaan, hingga saat ini. Cerita sejarah ini adalah bukti, bukan cerita isapan jempol belaka.

Akan tetapi, keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, ternyata bukanlah akhir dari upaya-upaya aktif sejumlah politisi di MPR dan DPR, untuk memasukkan kembali prinsip-prinsip homogenisme, yaitu tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi negara kita. Hal ini terjadi pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Namun upaya tersebut kembali mengalami penolakan karena kurangnya dukungan politik dari para anggota MPR dan masyarakat luas. Masyarakat memang sudah merasa nyaman dengan kondisi plural dalam kehidupan bermasyarakat.

Patut diingat, kalau seluruh draft isi UUD 1945, memang telah mengandung nilai-nilai Islami, sehingga tidak perlu lagi ada upaya untuk memaksakan kehendak dari para politisi, memasukkan aturan hukum yang bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip homogenisme.   

Prinsip Homogenisme Dalam Perda

Kehadiran Reformasi menggantikan Orde Baru, dimanfaatkan oleh para politisi untuk kembali aktif memperjuangkan dimasukkannya prinsip-prinsip homogenisme ke tengah-tengah masyarakat, dengan memformalkan syariat Islam ke dalam konstitusi. Namun kali ini, polanya dirubah.

Para politisi mengadopsi prinsip-prinsip homogenisme ke dalam peraturan daerah (perda). Terbukanya pintu otonomi daerah dimanfaatkan oleh para politisi daerah untuk memasukkan prinsip-prinsip homogenisme kedalam perda.

Alasan yang ingin dipakai untuk membenarkan tindakan mereka itu, mereka ingin mengembalikan identitas lokal tatanan kehidupan masyarakat daerah berdasarkan sejarah awal keberadaan masyarakat daerah.

Syariat Islam pada saat ini telah diterapkan secara utuh (namun masih bersifat luwes) di propinsi DI Aceh. Prinsip-prinsip homogenisme di Indonesia, memang terkait dengan penerapan syariat Islam dalam konstitusi.

Meskipun dalam tingkat propinsi penerapan syariat Islam masih terbatas dalam lingkup propinsi Aceh, namun kehadirannya, telah menginspirasi sejumlah pemerintah daerah, yang berada dalam lingkup pemerintahan tingkat kabupaten atau kotamadya, untuk mengadopsikan syariat Islam kedalam perda.

Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Banjar, Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan Pemerintah Kotamadya Padang, secara terbuka telah memproklamasikan diri, kalau wilayah kabupaten atau kotamadya yang mereka pimpin, menerapkan syariat Islam.

Kompromi politik yang melibatkan tidak hanya masyarakat Aceh namun juga masyarakat dunia, merupakan alasan pokok ditetapkannya syariat Islam sebagai aturan hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat propinsi DI Aceh.

Tindakan kompromistis diambil pemerintah pusat karena ingin menciptakan kedamaian di tanah Aceh, yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya, marak dengan konflik bersenjata. Dalam hal ini, peraturan perundangan-perundangan yang terkait dengan penerapan syariat Islam di Aceh, merupakan lex specialis, atau aturan hukum khusus pengecualian.

Sedangkan penerapan prinsip-prinsip homogenisme pada sejumlah wilayah tingkat kabupaten dan kotamadya, tidak diawali dengan sikap kompromi antara masyarakat dengan pemerintah daerah setempat, karena memang, tidak ada alasan politis serta sosiologis yang membenarkan pihak pemerintah daerah untuk menerapkan syariat Islam, yang diatur dalam perda.

Kecenderungan yang ada, sifat kompromi hanya terjadi antara para wakil rakyat di DPRD dan pihak pemerintah daerah, sebagai pemenuhan janji politik pada saat kampanye pilkada. Para politisi tingkat daerah tersebut, memang tidak mengkomunikasikan terlebih dahulu keinginan sepihak para politisi tersebut, kepada masyarakat.

Bisa dibilang, kehadiran perda dengan nuansa syariat Islam, memang merupakan komoditas politik semata, untuk menarik dukungan masyarakat. Apalagi diketahui kemudian, sejumlah perda bernuansa syariat Islam tersebut rata-rata dibuat pada saat seseorang baru saja diangkat menjadi pemimpin daerah, atau pada masa akhir jabatan sang pemimpin.

Selain itu, upaya untuk membuat perda bernuansa syariat Islam, juga ditujukan untuk menguatkan citra dari pemimpin daerah, dalam hal ini, gubernur, bupati, atau walikota.

Dengan kata lain, dibuatnya perda bernuansa syariat Islam, hanyalah bagian dari investasi politik dari para pemimpin daerah, terkait dengan pelaksanaan pilkada. Karena, apabila dicermati lebih mendalam, masyarakat daerah cenderung lebih memilih untuk mendukung penerapan syariat Islam pada bidang pendidikan.

Jadi, janganlah heran kalau pembuatan perda bernuansa syariat Islam (atau bahkan RUU Pornografi yang sedang dibahas di DPR) tersebut, masyarakat tidak dilibatkan.

Para politisi memanfaatkan kekuasaan yang ada pada mereka, untuk membuat dan mensahkan suatu peraturan perundang-undangan bernuansa syariat Islam (yang didasari oleh sikap arogan dan pemaksaan kehendak oleh para pemimpin daerah), tujuannya hanyalah untuk komoditas kepentingan politik kelompok dan diri mereka semata.

Apabila dikaji lebih mendalam, pola pikir yang ingin diterapkan sebagai landasan hukum perda bernuansa syariat Islam terhadap aturan perundangan-perundangan yang ada diatasnya, justru tidak sejalan dan saling bertolak belakang, mengingat UUD 1945 dan aturan perundang-undangan yang ada, tidak membenarkan adanya upaya para politisi di DPRD dan pemerintah daerah, untuk membuat produk hukum yang menerapkan prinsip-prinsip homogenisme.

Terlebih lagi, sisi historis pembentukan konstitusi di Indonesia, memang telah menolak untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta kedalam konstitusi negara kita, dan belum ada aturan hukum yang membenarkan tindakan aparat pemda tersebut.  

Apabila dikaitkan dengan interpretasi konstitusi mengenai perlindungan HAM, maka, pembuatan perda bernuansa syariat Islam, telah mengarah pada tindakan pemaksaan kehendak, terutama dalam hal pemahaman arti dan metodologi pelaksanaannya.                                     
                                             

Faktanya, Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Plural

Cerminan tatanan kehidupan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip homogenisme, bukan sebuah inspirasi yang bisa membangun harmonisasi kehidupan masyarakat plural dan heterogen, yang melingkupi kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu sama artinya, ada tindakan nyata untuk memaksakan kehendak agar mereka yang berbeda cara pandang atau prinsip, mengikuti aturan yang didasari oleh prinsip-prinsip homogenisme.

Dalam hal ini, masyarakat tidak diajarkan untuk dapat menghargai adanya perbedaan diantara komunitas masyarakat yang plural, dan memandang kalau segenap perbedaan itu, merupakan konsepsi yang patut dihindari.

Cara pandang seperti itu, tidak membangun suatu keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, namun justru menghancurkan sesuatu yang sudah baik tersebut.

Kerawanan situasi akan mudah tercipta, karena akan ada banyak upaya atau tindakan diskriminatif yang akan dihadapi serta diterima oleh pihak-pihak yang memiliki cara pandang atau prinsip yang berbeda dengan golongan ataupun kelompok yang ingin agar prinsip-prinsip homogenisme diterapkan di Indonesia.

Segenap dalil, dalih maupun argumentasi yang disampaikan oleh sejumlah pihak yang menginginkan agar prinsip-prinsip homogenisme dapat diterapkan seluruhnya atau sebagian dalam konstitusi Indonesia, merupakan cerminan sikap egois serta tidak menghargai pilihan sikap benar yang telah diambil oleh para pendiri bangsa kita.

Egoisme sikap dapat terlihat dari adanya pendapat imajinatif yang menyatakan, kalau “mayoritas” masyarakat muslim Indonesia menghendaki diterapkannya syariat Islam sebagai konstitusi yang berlaku dan mengikat seluruh anggota masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya, disebutkannya kata Islam di belakang kata syariat, merupakan salah satu aspirasi yang tidak mewakili keberadaan kelompok masyarakat lain, yang tidak mengimani Islam sebagai iman kepercayaan anggota masyarakat yang bukan pemeluk agama Islam.

Sejumlah besar elemen masyarakat Indonesia, termasuk pemeluk agama Islam sendiri juga tidak meyakini kalau penerapan syariat Islam akan menghadirkan perilaku tidak menyenangkan serta tindakan diskriminatif kepada anggota masyarakat yang menolak penggunaan hukum syariat Islam sebagai konstitusi yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, karena sebagian anggota masyarakat kita, masih mudah digoyahkan dan terpengaruh oleh hal-hal yang dipolitisir.

Bahkan, sebuah laporan yang dibuat oleh Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh, hingga saat ini, korupsi masih marak dan terus berlanjut di Aceh, meskipun propinsi ini telah menerapkan syariat Islam sebagai aturan hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat.

Apalagi dalam dunia politik kita, sulit rasanya masyarakat bisa memegang kata-kata dari para politisi kita, yang terkenal tidak jujur, licik, dan sangat suka sekali bertindak semena-mena kepada kelompok masyarakat yang lemah.

Payung hukum yang ada sekarang, tidak berhasil melindungi keberadaan posisi dari anggota masyarakat yang lemah atau kelompok minoritas, meskipun UUD negara kita menjamin adanya kesamaan derajat hukum diantara seluruh anggota masyarakat tanpa ada pengecualian.

Itu bisa terjadi karena para politisi dan aparat pemerintah, sebagai ujung tombak dari penegakan payung hukum di negara kita, tidak bertindak tegas, tidak konsekuen, dan tidak menjalankan aturan hukum itu dengan benar serta tepat pelaksanaan. Dalam hal ini, aparatur negara kita tidak menjunjung hukum sebagaimana adanya.

Hak-hak warga negara masih banyak yang disunat dimana-nama. Para pejabat publik justru bersekongkol untuk melegalkan adanya tindakan-tindakan yang mencoba untuk  menekan keberadaan kelompok minoritas atau mereka yang lemah, dengan membuat aturan hukum yang memihak suatu kelompok masyarakat tertentu semata.

Sejumlah aturan hukum yang ada dibuat multi tafsir sehingga mudah menjerumuskan elemen masyarakat kedalam pertikaian atau konflik horisontal karena adanya tindakan militan yang dihadirkan oleh kelompok-kelompok tertentu ditengah masyarakat.

Fakta dan realitanya memang berkata demikian. Perilaku diskriminatif memang masih terjadi pada kelompok masyarakat minoritas dan kaum lemah lainnya.

Contohnya, negara masih belum mampu memberikan jaminan secara menyeluruh dan sesuai dengan dengan hakekat hukum yang ada, yaitu didalam kebebasan bagi seluruh umat beragama di Indonesia, untuk memiliki tempat ibadah serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Padahal salah satu pasal didalam UUD negara kita, dengan jelas telah menyatakannya.

Komunitas masyarakat miskin dan orang-orang terlantar, masih dapat dengan mudah kita jumpai dimana-mana. Segenap kekayaan alam yang bermanfaat bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, masih dikuasai kelompok-kelompok usaha tertentu. Hidup menjadi calon pemimpin melalui jalur independen, sulit untuk dilakukan.

Bagaimana negara ini mau maju, kalau hukum positif yang ada saja, sudah ditelikung dan diinterpretasikan semaunya? Bagaimana hubungan antar anggota masyarakat kita mau harmonis, kalau kerangka tatanan kehidupan masyarakat plural Indonesia selalu ingin dirubah dengan prinsip-prinsip homogenisme?

Bukankah sebaiknya para politisi membangun sesuatu yang telah baik selama ini agar menjadi lebih baik lagi?

Pemikiran non-simpatik, terutama yang menggeneralisasikan sesuatu tanpa didukung oleh penggunaan rumusan yang berlaku di masyarakat, seperti layaknya sebuah pernyataan yang ingin mengimajinasikan kalau krisis ekonomi global yang sedang melanda dunia saat ini terjadi karena buruknya prinsip ekonomi kapitalis yang dipakai sebagian besar negara-negara di dunia, merupakan sebuah opini atau pola pemikiran yang menyesatkan.

Dikatakan menyesatkan, karena adanya unsur membiaskan pemahaman tentang konsep ekonomi kapitalis dan metode pelaksanaannya, yang pada prinsipnya tidak banyak dipahami dengan baik oleh seluruh anggota masyarakat kita.

Bangsa Indonesia akan sulit merasakan kemajuan hidup atau mengikuti perkembangan dunia apabila para pemimpin dan para politisi yang memimpin bangsa ini, masih suka menyampaikan hal-hal yang menyesatkan kepada masyarakat.

Adanya permasalahan-permasalahan sosial yang berkembang di tengah masyarakat, itu bukanlah pintu yang bisa dipakai untuk membangun suatu pola pemikiran sempit, yang ditujukan untuk menciptakan karakter berbeda atau tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip tatanan kehidupan pluralisme, yang selama ini menaungi kehidupan masyarakat Indonesia.

Para politisi seharusnya mengembangkan pola pemikiran otokritik agar tidak terjadi sikap yang saling bertentangan di tengah masyarakat, yang bisa berkembang menjadi konflik horisontal.

Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang menghargai pluralisme dalam masyarakat, bukannya menghadirkan ide-ide pemikiran yang didasari oleh pola pemikiran multi tafsir, yang bisa menghadirkan konflik horisontal di tengah masyarakat, dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

===

* Buku Rekomendasi :
NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA - Reformasi Hukum Ketatanegaraan, karya Denny Indrayana, Penerbit Buku Kompas, Juni 2008.

Thanks buat Sondang Susan Simangunsong atas hadiah bukunya ini, yang diberikan sebagai hadiah ulang tahun ke-34 saya bulan Juli kemarin.