Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MENGUMPAT itu NIKMAT

Purnomo's picture

             Karena pekerjaan saya pernah tinggal satu tahun di Surabaya. Sebagai seorang salesman setiap hari saya banyak melewatkan waktu di toko dan pasar dan tidak pernah satu hari saja telinga saya tidak mendengar kata umpatan khas Surabaya: d*****. Kata teman, itu bukan makian tetapi sebuah sapa keakraban. Saya tidak tahu apakah di gereja Surabaya para jemaatnya juga saling menyapa dengan kata itu karena setiap Jumat sore saya telah kembali ke Semarang sehingga tak pernah menghadiri ibadah di kota itu.

              Di kantor Surabaya saya juga mendengar kata itu bila dua orang salesman sedang berbincang, atau ketika para supir perusahaan sedang bergerombol mengobrol. Tetapi saya tidak pernah mendengar kata itu keluar dari mulut bawahan saya ketika saya berbincang-bincang santai dengannya. Bahkan ketika saya duduk di depan atasan saya yang marah atas kesalahan saya dalam pekerjaan, saya tidak mendengar umpatan khas itu walau matanya sudah merah karena geram.

            Kata orang mengumpat – yang dalam bahasa Inggris disebut swearing – itu nikmat. Tekanan yang menyesak dada bisa keluar sehingga kita merasa lega seperti habis bersendawa. Mungkin saja karena “kelegaan” itu orang Amerika yang banyak ngemil stress gemar sekali swearing. Saya tahu bukan karena pernah tinggal di sana, tetapi karena menonton filem. Kata-kata swearing tak pernah diterjemahkan dalam subtitle bahasa Indonesia. Tetapi setiap orang yang mengerti bahasa Inggris akan mendengar “kata-umpatan-4-huruf” ini, f***, s***, p***, c***, d*** di mana yang terdepan adalah yang paling laris sehingga saya pernah mengira itu kata sandang seperti halnya kata “the” karena dalam filem koboi hampir setiap kalimat selalu saja ada kata f***.

        Jika kita mau merepotkan diri mencari tahu arti kata-kata umpatan itu, kita bisa merinding karena kata-kata itu berhubungan dengan hal-hal yang buruk, najis, jahat atau tabu diucapkan di depan umum. Dulu orang Semarang pernah punya kata umpatan yang berarti alat reproduksi manusia. Hebatnya lagi, kata-kata itu dihubungkan dengan ayah-ibu orang yang diumpat. Mana bisa kita menerimanya sebagai ‘sapa keakraban’ jika mendengar kata-kata itu dimasukkan ke dalam telinga kita? Syukurlah kata-kata itu sekarang telah sangat amat jarang terdengar.

       Sekarang orang Semarang untuk mengumpat lebih senang mempergunakan nama binatang di samping kata-kata lain yang berarti penjahat atau menyebut nama anggota tubuh manusia. Ini jauh lebih beradab (???) daripada orang Amerika yang mempergunakan nama Tuhan (omg), Yesus, dan Roh Kudus (diplesetkan menjadi ‘holy ghost’) untuk swearing.

      Sebetulnya, apa betul mengumpat bisa untuk mengungkapkan keakraban? Menurut saya bisa dengan batasan hanya di antara mereka yang sama kedudukan sosialnya. Apakah Anda pernah disapa bawahan Anda dengan kata umpatan? Apakah Anda pernah menyapa atasan Anda atau pendeta Anda dengan kata umpatan? Tidak, bukan?

      Jika demikian apakah boleh kita mempergunakan kata umpatan itu di antara teman yang satu level? Sebetulnya pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa untuk menyatakan keakraban kita memerlukan kata umpatan?

      Ada yang menjawab, “Because swearing is HILARIOUS.” Mengumpat menimbulkan sukacita, memunculkan suasana riang-gembira. Pernah seorang pendeta tamu dalam kotbah Minggu di mimbar gereja kita mengucapkan kata “de*****mu” hanya sekedar untuk memunculkan geeerrr. Jika pendeta saja begitu mengapa kita tidak mulai mengumpat dalam gereja? Tidak? Lho, mengapa?

      Karena kata-kata umpatan selalu saja punya konotasi yang jelek, jahat, bahkan merendahkan orang lain atau dalam istilah kerennya disebut “moral superiority” (merasa lebih daripada yang lain). Karena itu alih-alih menyuburkan kebiasaan mengumpat, lebih bijak menghentikannya. Bahkan walau tidak ada orang di sekitar kita yang mendengar, misalnya ketika kita mengumpat hujan yang turun mendadak sehingga menghalangi acara kita, “A*****, hujan lagi!” Siapa yang kita umpat? Hujankah? Atau yang membuatnya? Sekalian saja acungkan tinju ke arah langit, kalau berani. :D :D

   “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Efesus 4:29.

                           (26.05.2012)