Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Membebaskan (Gali Kata Alkitab dalam Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno)

Hery Setyo Adi's picture

Kata “membebaskan” diterjemahkan dari bahasa Ibrani padah (disusun dengan huruf-huruf Ibrani: Pe-Qames-Dalet-Qames-He). Kata padah diturunkan dari akar-kata induk PD (Pe-Dalet). Dalam piktograf Ibrani kuno huruf Pe adalah gambar mulut yang terbuka, sedangkan huruf Dalet adalah gambar pintu. Gabungan kedua gambar tersebut berarti “membuka pintu.”

Beberapa kata “membebaskan” (dan “dibebaskan”) yang diterjemahkan dari bentuk dasar kata padah, di antaranya dipakai dalam ayat-ayat berikut ini: 2 Sam 4:9, 1 Raja-raja 1:29, Ayub 33:28, Mazmur 31:6; 34:23; 49:8; 49:16; 55:19; 78:42; 130:8, Yesaya 35:10; dan 51:11. Alkitab PB yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani menggunakan kata padah tersebut antara lain dalam Lukas 24:21.

Apa hubungan antara arti kata “membebaskan” dengan arti secara harfiah dari piktograf Ibrani kuno “membuka pintu”? Ketika seorang budak telah ditebus atau tawanan telah dibebaskan, ia siap dengan pakaiannya untuk pergi. Ia akan dibawa kembali ke status asli. Ia siap pergi melalui pintu rumah bekas tuannya yang telah terbuka baginya. Dia dapat pergi melewati pintu tersebut dan pulang ke rumahnya sebagai orang merdeka.

Mazmur 31

Daud, sang Pemazmur, karena mau dicabut nyawanya oleh para lawannya (ayat 14), ia meminta tolong kepada Tuhan dan meyakini bahwa Ia membebaskannya (Ibrani: padah) (ayat 23, 6). (Kemungkinan, pengalamannya ini terjadi ketika ia dikejar-kejar Absalom, anaknya sendiri, yang merebut tahta  Daud). Daud mengalami sengsara (ayat 8, 11) dan merana tubuhnya (ayat 10). Hatinya berkecamuk dengan perasaan-perasaan: sesak (ayat 8, 10),  sakit hati (ayat 10), merana (ayat 10), duka dan keluh kesah (ayat 11), sengsara (ayat 11), dan tercela (ayat 12).

Daud memiliki iman bahwa Tuhanlah yang “membuka pintu” bagi dirinya, sehingga ia dapat keluar dari kungkungan kesengsaraan tubuh yang dialami dan perasaan-perasaan negatif akibat pengalaman itu. Ia dapat keluar dari keadaan itu dan masuk ke dalam perlindungan Tuhan. Ia bertumpu kepada Tuhan dan memohon agar tidak mendapat malu (ayat 2, 18).

Istilah-istilah yang dipakai Daud untuk meminta Tuhan membebaskan dirinya itu, yakni: “luputkanlah aku” (ayat 2), “bersegeralah melepaskan aku” (ayat 3), “mengeluarkan aku” (ayat 5), “membebaskan aku” (ayat 6), “tidak menyerahkan aku” (ayat 9, 16), dan “selamatkanlah aku” (ayat 17). Semua itu terjadi kalau Tuhan “membuka pintu” bagi dirinya. Tuhan “membuka pintu” untuk membebaskan orang dari kesesakan.

Apa yang Dia lakukan selanjutnya? Apakah Dia membiarkan orang yang telah “dibukakan pintu” itu berjalan di jalanan sebagai gelandangan? Tidak. Tuhan menyembunyikan mereka dalam naungan wajahNya dan melindungi mereka dalam pondok (ayat 21). Tuhan “membuka pintu” agar umatNya meninggalkan kesesakan sekaligus Dia menyediakan tempat berlindung yang aman dan terus-menerus mendapatkan pengawasan. Itulah yang disebut Pemazmur kelimpahan kebaikan Tuhan (ayat 20) dan keajaiban kasihNya (ayat 22). Sekalipun Daud mengalami kesesakan, tapi sesungguhnya ia tidak terbuang dari hadapan mataNya (ayat 23).

Implikasi

Banyak orang mengalami kesesakan hidup. Mereka merasa semua pintu jalan keluar sudah tertutup. Bahkan, lebih parah lagi, mereka menganggap Tuhan sudah membuangnya. Semua itu tidak benar! Doa, keyakinan, dan pengalaman Pemazmur menunjukkan bahwa Tuhan “membuka pintu”, menyediakan tempat berlindung, yaitu diriNya sendiri, dan tidak membuang mereka yang mengalami kesesakan.

Seorang anak Tuhan memiliki ketetapan melayani Tuhan penuh waktu. Ia bergabung dengan sebuah lembaga Kristen. Selama empat tahun pertama pelayanannya, ia tidak mengalami masalah. Namun, menjelang akhir tahun kelima, muncul persoalan dengan para pengurusnya. Intinya, ada ketidakcocokan pandangan.  Akhirnya, hamba Tuhan ini tidak lagi dipercaya memegang bagian pelayanan yang selama itu dipercayakan.  Bahkan, lebih jauh lagi, pengurus itu memberikan tuduhan-tuduhan keji terhadap hamba Tuhan itu.

Bagaimana sikap hamba Tuhan itu? Ia menerima sepenuhnya segala perlakuan para pengurus lembaga itu. Dalam pikirannya: “Tuhan pasti mempunyai agenda dan saya mau mengikuti agendaNya dan tunduk kepadaNya.”

Ia memang mengalami kesesakan. Sebulan menjelang kenaikan kelas anaknya ia harus pindah rumah. Ia juga tidak memiliki uang untuk membawa barang-barang ke tempat pelayanan yang baru, di lain kota. Tapi, Tuhan “membuka pintu.” Kesesakan itu Tuhan bebaskan. Ada orang yang menyewakan truk untuk kepindahannya. Ada tempat tinggal yang baru. Ada tempat pelayanan yang menyediakan kesempatan untuk mengembangkan diri. Berkat-berkat rohani dan jasmani mengalir dalam diri hamba Tuhan dan keluarganya.

Tuhan mengijinkan kesesakan terjadi atas anak-anakNya. Tapi, Dia “membuka pintu” untuk membebaskannya. Tuhan “membebaskan” berarti Tuhan  “membuka pintu.”

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber)