Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah-kisah seputar persembahan persepuluhan
Dalam menulis serial artikel “Memberi itu tidak gampang”, ada beberapa kisah dan kesaksian yang dipangkas agar artikel-artikel itu lebih langsing dan fokus. Potongan-potongan itu sekarang disajikan di sini. Mungkin saja “remah-remah” ini masih bermanfaat. Selamat menikmati.
1Setelah selesai menjelaskan persembahan persepuluhan (selanjutnya disingkat ppsp) di Sekolah Minggu kelas SMP, saya memberi kesempatan mereka bertanya.
“Apakah orang yang belum bekerja harus memberi ppsp?” tanya seorang anak.
“Tidak harus karena Alkitab menjelaskan ppsp datang dari penghasilan seseorang. Seorang siswa yang belum mempunyai penghasilan tidak harus memberi ppsp. Tetapi mengapa kalian tadi memberikan persembahan?” tanya saya.
“Karena kantong kolekte diedarkan,” jawab anak yang lain. “Kalau kantong kolekte tidak diedarkan tentu kami satu kelas tidak memberi persembahan.”
Saya tertawa. Betul juga jawabannya. “Bagaimana jika mulai Minggu depan kantong kolekte tidak diedarkan?” tanya saya. Mereka terkejut. Tetapi mereka tahu saya tidak marah. Kelas gaduh. “Siapa yang setuju silakan mengatakan alasannya.” Tidak ada yang bicara. “Oke, berarti semua tidak setuju kantong kolekte ditiadakan. Pertanyaan yang harus kamu jawab adalah, mengapa?”
“Dengan memberi persembahan, kita diingatkan untuk mensyukuri berkat Tuhan.”
“Kalau sejak kecil kita tidak kenal kantong kolekte, nanti kalau sudah besar, sudah bekerja, kita bingung kalau kantong kolekte diacungkan ke hidung kita. Kita tidak tahu itu kantong buat apa,” kata anak yang paling bongsor badannya.
Banyak anak cerdas dalam kelas ini. Dalam menyampaikan Firman, saya sering mendahului dengan pembahasan sekilas kejadian-kejadian terakhir dalam masyarakat. Termasuk gosip selebritis atau cerita sinetron remaja yang ditayangkan tivi. Kadang-kadang saya mengajak mereka membahas lirik lagu-lagu pop sekuler baik dari Indonesia ataupun yang berbahasa Inggris.
“Ketika kamu memasukkan uang ke dalam kantong kolekte, bagaimana perasaanmu saat itu? Terharu, senang karena bisa memberi persembahan, atau biasa-biasa saja?”
Tidak ada yang menjawab. Mereka saling berpandangan. “Biasa-biasa saja, bukan? Mengapa begitu? Karena bukan kamu yang memberi persembahan, tetapi ortumu. Sebelum masuk ke kelas, orang tuamu memberikan kamu uang untuk nantinya dimasukkan ke dalam kantong kolekte. Kalau biasanya kamu diberi seribu rupiah dan Minggu ini diberi 2 ribu rupiah, kamu tidak protes. Begitu juga sebaliknya bila biasanya 2 ribu rupiah tetapi hari ini diberi seribu rupiah, kamu juga tidak tanya mengapa. Tugasmu hanya memasukkan uang itu ke dalam kantong kolekte tanpa mengorupnya. Titik. Akan lain jika uang itu berasal dari jerih payahmu atau usahamu sendiri.”
“Oom, apa saya harus bekerja?” tanya seorang anak.
“Kamu jadi pengamen, suaramu bagus. Tapi ngamennya dekat kantor tivi saja biar disyuting wartawan,” temannya menimpali.
“Tidak perlu bekerja jadi pengamen, atau menyewakan payung di mol waktu musim hujan, atau berjualan balpoin di dalam kelas, atau jadi kernet angkot waktu pulang sekolah. Tetapi dengan melakukan puasa. Begini. Waktu berangkat sekolah kamu pasti mendapat uang saku untuk jajan di sekolah. Itulah uangmu, harta milikmu sendiri, yang bisa disisihkan sebagian untuk persembahan. Hari Sabtu kamu pulang lebih awal. Bagaimana jika pada hari Sabtu kamu menahan diri tidak jajan karena pulangnya tidak terlalu siang sehingga uang sakumu hari itu tetap utuh? Uang itulah yang kamu persembahkan pada hari Minggu. Ketika uang itu kamu masukkan ke dalam kantong kolekte, saya yakin perasaanmu tidak biasa-biasa lagi. Karena, uang itu mengandung pengorbananmu, mengandung rasa laparmu, tetapi kamu mau melakukannya untuk mengungkapkan terima kasihmu kepada Tuhan Yesus. Walaupun jumlahnya jauh lebih kecil daripada biasanya, kamu akan merasa bangga karena itu datang dari jerih payahmu sendiri. Itu bukan persepuluhan lagi karena bila dihitung adalah sepertujuh dari uang sakumu selama seminggu, atau 14%. Nanti di rumah, ceritakan usulan saya ini kepada orang tuamu agar mereka tidak bingung bila Minggu depan kamu menolak uang persembahan yang diberikan oleh mereka.”
2 Itulah yang boleh disebut persembahan sukarela. Kata sukarela terbentuk dari kata “suka” dan “rela”. Memberi dengan sukarela berarti memberi dengan senang (tanpa terpaksa atau dipaksa) walaupun ada kepentingan diri sendiri yang dikorbankan. Bila kita berkata, “Aku rela meminjami kamu uang 100 ribu rupiah” itu berarti “walaupun aku sendiri butuh, biarlah uang ini kamu pakai dulu”. Bila kita berkata, “Aku rela meminjamkan payung ini kepada kamu” itu berarti “aku ingin kamu memakai payung ini, walaupun akibatnya aku basah kehujanan”. Kata “rela” mengandung pengorbanan.
Karena itu sangat salah mengartikan kata “sukarela” dengan “sesuka-suka hati gua, yang penting gua bisa hepi bertralala”.
3 “Jika saya sudah memberi ppsp, apakah istri saya yang tidak bekerja wajib memberi ppsp dari uang yang diterimanya dari saya?” tanya seorang yang akan menerima baptisan.
Gereja kami tidak mewajibkannya karena Alkitab menjelaskan ppsp diambil dari sebuah penghasilan. Demikian juga bila kita mendapat pinjaman dari bank untuk modal dagang, kita tidak perlu menyisihkan 10% untuk ppsp. Itu pinjaman, bukan penghasilan. Kecuali kita sudah berencana untuk tidak membayar pinjaman itu, pinjaman itu bisa dianggap penghasilan. Penghasilan dari tindak kejahatan tentunya.
Saya pribadi begitu menerima gaji, saya sisihkan 10%. Sisanya saya serahkan semua kepada istri saya karena saya tidak mau dipusingkan dengan pengaturannya. Ketika saya tahu ia memberikan 10% dari uang itu kepada gereja, saya bertanya apakah yang tersisa cukup untuk kebutuhan hidup selama sebulan. Dia bilang cukup, bahkan masih ada untuk tabungan. Itu berarti gaji saya telah terambil 19%. Tetapi bila dengan 81% kami masih berkecukupan mengapa harus membatasi dengan 10% saja?
Ketika anak saya kuliah di luar kota, setiap bulan istri saya mengiriminya uang 700 ribu rupiah. Dia menganjurkan anak itu untuk memberikan ppsp dari uang yang diterimanya. Dia ingin mendidik anak kami untuk membiasakan diri menyisihkan uang untuk gerejanya dan mencukupkan diri dengan sisa uangnya.
4Keberhasilan teman saya “merampok” ppsp teman-temannya demi membiayai sekolah seorang mantan anak Sekolah Minggunya (kisah lengkapnya klik di sini) mendorong para diaken bayangan ini meneruskan konspirasinya. Jumlah donatur bertambah sehingga selain untuk beasiswa dananya juga dibagikan ke panti asuhan miskin, membantu biaya pengobatan mereka yang tidak mampu, memberi pinjaman modal kepada jemaat yang ingin memulai usaha kecil-kecilan. Walaupun di luar organisasi gereja, penatua gereja tahu kegiatan ini sehingga sering mereka membagikan “rejeki”nya. Pernah mereka minta kami mengurus seorang jemaat tidak mampu yang harus diamputasi kakinya karena diabetes. Mengurus di sini berarti membayar seluruh biayanya yang ternyata hampir 15 juta rupiah sehingga membuat kami kelabakan mengirim SOS lewat SMS kepada teman-teman lama yang sudah tersebar di berbagai kota.
Suatu hari seorang dari donatur kami – pemuda yang baru 4 tahun menikah – berbicara kepada saya. Ia berkisah tentang seorang familinya yang berjemaat di sebuah gereja yang hobi mengkotbahkan persembahan. Familinya ini setia menyetor ppsp. Tetapi kesetiaannya ini berdampak negatip. Ia tidak punya uang untuk membelikan obat untuk ibunya yang sudah tua. Familinya menyuruhnya meminta bantuan uang dari gereja kami, atau dari para diaken bayangan ini.
Saya tidak menyangka apa yang dilihat Yesus ketika berada di antara bangsa Yahudi terulang kembali. “Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (Matius 15:4-9)
“Kamu minta familimu itu mengurangi jumlah persembahannya,” saran saya.
“Sudah. Tapi ia tak mau. Ppsp itu wajib hukumnya. Ia yakin bisa kena musibah kalau mengutil ppsp.”
“Begini saja. Minta uang ppsp-nya dan kita kirim ibunya ke panti werda. Aku nanti cari sponsor, karena panti werda yang paling murah biayanya sekitar 500 ribu sebulan. Ppsp-nya pasti di bawah biaya itu.”
“Mana ia mau? Ppsp itu harus disetor ke gerejanya.”
“Kalau begitu, suruh ia sekalian menyetorkan ibunya.”
5Dalam sebuah ceramah tentang ppsp seorang wanita bertanya, “Sebagai seorang wiraswasta saya ingin tahu apakah ppsp dihitung dari profit before tax atau profit after tax.”
Ruang pertemuan yang berisi sekitar 35 orang itu mendadak senyap. Sebentar kemudian ruangan riuh dengan suara tawa. Mereka bukan menertawakan si penanya, tetapi karena geli melihat si penceramah mulutnya terbuka dengan wajah o’on. Agaknya ia tidak menyangka mendapat pertanyaan matematis ini.
“Profitnya itu kamu lihat pada pembukuan untuk owner atau pembukuan untuk petugas pajak?” tanya seorang peserta dengan suara keras.
“Mau before tax atau after tax ya terserah kamu,” yang lain menimpali. “Tetapi nanti kalau hasil perhitungannya, misalnya Rp.1.234.567,89, kamu bulatkan ke atas atau ke bawah?”
“Biar tidak ada unsur korupsi lebih baik angka apa adanya saja dan dikirim ke gereja lewat transfer ATM,” seseorang menjawab.
“Kalau menghitung ppsp pakai hitungan njelimet seperti ini lalu kapan setornya? Tahun berikutnya?”
“Memangnya ada larangan?” kali ini wiraswata itu yang menjawab. “Kalau sudah lewat setahun aku nanti ajukan surat permohonan pemutihan ppsp ke penatua.”
“Memangnya ppsp itu pajak kendaraan? Ada pemutihan segala? Apa boleh, Pak?,” seorang bertanya kepada penceramah.
Tetapi penceramah tidak menjawab. Ia ikut tertawa karena setelah melihat wanita wiraswasta itu ikut hahahihi ia maklum sedang berada di komunita macam apa.
6Saya mengunjungi sebuah keluarga yang ingin memindahkan keanggotaannya ke gereja kami. Ia sudah 2 tahun beribadah di gereja kami karena lebih dekat dengan tempat tinggalnya daripada dengan gereja asalnya (sebetulnya beda jaraknya tidak signifikan kok). Gereja asalnya sangat mementingkan ppsp (nah, ini ‘kali the real reason) sementara ia tidak pernah mendengar pendeta di gereja kami berkotbah tentang ppsp. Karena itu ia mengajukan berbagai pertanyaan untuk mengetahui sikap gereja kami terhadap ppsp.
Dari perbincangan ini terungkap penjual empek-empek ini setiap hari menyisihkan 10% dari keuntungan bersihnya. Setiap hari Minggu “tabungan untuk Tuhan” ini dipilah jadi empat, untuknya, untuk istrinya dan untuk kedua anaknya yang ke Sekolah Minggu untuk dimasukkan ke dalam kantong kolekte. Ia tidak mau mengumpulkannya sampai akhir bulan karena kuatir tergoda meminjamnya.
Setelah mengurus surat atestasi, ia dan istrinya langsung mengikuti kelas katekisasi karena di gereja asal mereka belum menerima baptis dewasa (sidi). Ketika acara baptisan berlangsung, saya hanya melihat istrinya. Ketika hal ini saya tanyakan, istrinya menjelaskan, “Suami saya sekarang sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan. Ia telah minta ijin Pak Pendeta untuk menunda baptisan karena saat ini ia sedang menjalani pelatihan kerja di China.”
“Lalu, warung empek-empeknya ditutup?”
“Ya terpaksa tutup karena saya tidak bisa mengurusi sendiri. Tetapi saya masih menerima pesanan kok. Mau pesan berapa?” tanyanya bercanda.
Keluarga sederhana ini selalu berwajah hepi walaupun kendaraannya hanya sepeda motor tua yang saya kuatir bisa patah jadi dua karena dinaikkan 4 orang. Kelak kemudian mereka melibatkan diri dalam beberapa kegiatan gereja kami.
7Suami adik saya, yang dulu menjadi Kristen karena pernikahan, sekarang makin rajin menemani istrinya beribadah di gereja. Seorang anaknya kena asma dan obat-obat yang harus dibelinya membuat ia tidak bisa menabung. Adik saya penderita asma. Ibu saya juga.
“Bagaimana mau menabung, memberi persembahan saja tidak bisa,” keluhnya. “Tapi mulai bulan depan aku mau memberi persembahan. Begitu terima gaji langsung aku ambil 10%.”
“Lalu untuk pengobatan anakmu bagaimana?” tanya saya.
“Gampang. Nanti aku hutang sama bos.”
Saya tidak berani berpidato tentang ppsp karena kuatir merusak semangatnya. Dua bulan kemudian saya mengunjungi rumahnya lagi.
“Sekarang hutangmu kepada bos sudah berapa?” Saya bermaksud membantu melunasinya bila hutang itu memberatkannya.
“Hutang? Untuk apa?”
“Dua bulan yang lalu kamu ‘kan memutuskan untuk memberi ppsp. Padahal anakmu masih butuh obat asma. Dulu kamu bilang untuk beli obat mau hutang sama bos.”
“Aku tidak punya hutang,” jawabnya dan mendadak ia tercenung. “Iya ya, dua bulan ini asma anakku kok tidak kumat.”
“Apa kamu memang berharap dengan menyetor ppsp sakit asma anakmu hilang?”
“Tidak. Betul, aku tidak berpikir seperti itu. Maaf ya, jangan marah. Asma itu ‘kan penyakit yang menurun.”
Kisah di atas terjadi belasan tahun yang lalu. Sekarang anak yang sering mengeluarkan bunyi-bunyian ketika bernafas itu telah tumbuh menjadi gadis cantik dan baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sejak bapaknya memberi ppsp, asmanya tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Asma ibunya? O, masih. Tetapi kadang-kadang saja kok kalau sedang kelelahan sekali atau jengkel banget.
82Korintus 9:7,8 “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.
Beranikah kita berdoa meminta Allah memberi kita hidup berkecukupan, tidak berkekurangan dan juga tidak berkelimpahan? Yang Tuhan janjikan berkelimpahan adalah untuk pelbagai kebajikan, bukan sesuatu yang bersifat materi.
(selesai)
Memberi itu tidak gampang,
bag.1 – Derma untuk Gereja
bag.2 – Titah Kadaluwarsa
bag.3 – Kau lah segalanya bagiku
bag.4 – Mengebiri Kitab Maleakhi
bag.5 – Berebut kantong kolekte
bag.6 – Tangan kiri tak tahu
bag.7 – Kisah-kisah sekitar persembahan persepuluhan
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- 10911 reads
Perpuluhan
Dear Pak Purnomo...
Tulisan yang bagus, karena kesemuanya rangkuman dari kisah nyata, jadi bagi saya tulisan tadi tidak terkesan menggurui, bahkan malah memberi wacana baru buat saya mengenai ppsp.
Gereja tempat saya beribadah adalah gereja di wilayah pedesaan dengan jemaat yang rata-rata menggantungkakn hidup dari bertani. Bisa dibilang, ppsp mereka kecil dan bahkan kadang bolong-bolong. Yang sangat menyedihkan, ada seorang jemaat yang keluar (bukan pindah gereja, tapi keluar dari keimanannya pada Kristus) karena tidak sanggup mengisi kantong kolekte tiap ibadah. Saya pikir itu terjadi karena dia mempunyai pemikiran yang salah tentang persembahan dan sayangnya gereja tidak melakukan pendekatan dan memberinya pengertian yang benar.
Adik almarhum bapak saya dikenal sebagai orang yang "rajin" memberi ppsp. Setiap pendapatannya (baik yang tetap = gaji, maupun pendapatan diluar perkiraan), selalu beliau sisihkan 10% untuk dipersembahkan. Dan beliau rajin mengingatkan saya untuk memberikan ppsp.
Pak Pur, boleh ya tulisannya saya bagikan ke teman-teman persekutuan...?? Terima kasih... dan Tuhan memberkati.
Jesus loves Us