Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

seni rupa

Indonesia-saram's picture

Empat Tahun Kepergian Gregorius Sidharta Soegijo

Empat tahun lalu, dunia seni rupa Indonesia harus kehilangan salah seorang senimannya. Gregorius Sidharta Soegijo tutup usia pada umur 73 tahun. Sosok yang dianggap sebagai pembaru dalam dunia seni rupa, khususnya seni patung ini, meninggal setelah mengalami sesak napas akibat kanker paru-paru, pada tanggal 4 Oktober 2006 di Rumah Sakit Dr. Oen, Solo.

Indonesia-saram's picture

Dari Seni Rupa sampai Linguistik: Menjual Komik

Sewaktu SD, film kartun yang populer adalah Teenage Mutant Ninja Turtles. Ada juga Saint Seiya. Dua-duanya favorit saya. Saat duduk di kelas 4 SD, saya suka menggambar tokoh-tokoh Kura-Kura Ninja itu. Ada beberapa tokoh yang mampu saya gambar, tapi saya tidak bisa menggambar Splinter, April, Krang, dan dua tokoh jahat lainnya. Saya cuma suka menggambar keempat kura-kura ninja itu dan Shredder.

Teman-teman saya yang memang doyan Kura-Kura Ninja pun mengantri. Mereka meminta saya untuk menggambarkan tokoh-tokoh Kura-Kura Ninja itu di buku gambar mereka. Ada beberapa yang saya gambar di sekolah, ada juga yang saya gambar di rumah. Yang jelas, akan ada yang cemburu kalau porsi gambar yang saya berikan ternyata tidak seimbang. Kalau sekarang, saya mungkin akan memandang hal ini sebagai merepotkan. Tapi waktu itu saya memang sangat suka menggambar sehingga tidak keberatan melakukannya.

Indonesia-saram's picture

Dari Seni Rupa sampai Linguistik: Periode Awal

Beberapa orang yang pernah mengenal saya pernah menanyakan alasan mengapa saya memilih Sastra Indonesia daripada bidang lainnya. Tapi terus terang, itu juga bukan bidang yang saya pilih sejak awal. Memang pilihan tersebut merupakan pilihan utama ketika mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Tapi sekali lagi, saya sendiri tidak pernah berpikir hendak mengambil jalur ini. Tulisan saya kali ini memang cerita masa lalu, sekaligus lebih menjawab keingintahuan teman-teman blogger lain.

Sejak kecil, saya gemar mencorat-coret. Sebelum mengenal yang namanya sekolah, saya belajar menggunakan pensil dan pena sendiri. Saya meniru papa dan abang saya yang menulis. Saya ingat sekali ketika minta dibelikan buku tulis dan pena. Saya hanya ingin menulis seperti yang dilakukan oleh papa dan abang saya. Tentu saja saat itu saya belum mengenal alfabet. Jadi, tulisan saya hanya menyerupai gerakan naik turun seperti yang terlihat pada layar alat pendeteksi denyut jantung. Karena di mata saya yang masih kecil, rangkaian kalimat terlihat seperti itu. Sehingga "detak jantung" yang saya tuliskan pun saya putus-putus setelah merasa panjangnya sudah cukup.