Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kampus

Rya A. Dede's picture

 Ramai-ramai, mahasiswa berdemo. Mereka mogok kuliah. Sebagian besar duduk-duduk di halaman, di depan ruang-ruang kuliah, atau di kantin. Sisanya, para “wakil mahasiswa” (mencoba menyejajarkan diri dengan wakil rakyat) berdialog dengan wakil yayasan pemilik sekolah tinggi ini. Mahasiswa menuntun fasilitas. Menurut mereka, fasilitas yang dijanjikan pada brosur tak sesuai dengan kenyataan. Ruang kuliah sejuk ber-AC, ruang komputer lengkap, koneksi internet gratis untuk menunjang sarana perkuliahan, ruang parkir yang nyaman dan luas sehingga cukup untuk keperluan parkir mahasiswa, kantin dan perpustakaan yang memadai, itu semua omong kosong.

 
Mahasiswa yang tak ikut berdialog menunggu hasil dialog tersebut di luar ruang pertemuan. Tak semuanya terdengar membicarakan tuntutan yang sedang dibicarakan. Mereka terlihat santai, mengobrol sambil tertawa-tawa. Tak ada aktivitas keluar-masuk kampus, karena rencana demo ini telah diumumkan hari-hari sebelumnya, dengan ketentuan semua mahasiswa pada hari tersebut harus datang ke kampus pukul sekian dan tak boleh ada yang meninggalkan kampus sebelum ada pengumuman tentang hasil dialog.
 
Malangnya, kantin sengaja tutup karena mendengar desas-desus adanya demo. Pengelola kantin yang adalah salah satu kerabat pemilik yayasan tidak mau mengambil risiko kalau ada dampak tidak menyenangkan dari demo mahasiswa itu. Jadi saat dialog belum menampakkan tanda-tanda selesai sementara waktu sudah beranjak dari jam makan siang, perut keroncongan mulai menghiasi suasana pembicaraan mereka.
 
Seorang mahasiswa mengumpat di salah satu sudut kantin, “Ide siapa ini? Mogok kuliah sekaligus mogok makan?”
 
Temannya tertawa, menertawakannya. “Emangnya ada yang maksa ikut demo? Pikir deh, apa dengan bolos demo, kamu bakalan nggak lulus kuliah?”
 
Kemarin akulah yang diprotes. Asisten dosen sepakat mogok. Aku tak tahu rencana itu. Aku masuk seperti biasa. Sang dosen malah tertawa-tawa menanyaiku, “Ndak ikut libur, to?”
 
Aku bengong. Merasa ada yang tak beres. Benar saja, beberapa menit kemudian, ketua asisten mendatangi kelas. Dosen tersenyum memaklumi situasi. Si ketua mendatangiku. Berbisik-bisik. Aku diminta meninggalkan kelas. Lalu ikut dialog khusus asisten dosen. Menuntut fee yang “baik dan benar”. Aku tertawa dalam hati. Bagaimana kalau kita yang dituntut bekerja dengan baik dan benar sesuai standar mereka?
 
Hari ini mahasiswa berdemo. Ramai-ramai tak mau mengikuti perkuliahan. Pikiranku justru melayang pada kejadian bertahun-tahun yang lalu. Seorang guru didemo para siswa. Beliau dituntut mengakui kesalahannya di depan semua siswa seusai upacara bendera. Cukup menghabiskan banyak waktu, hanya karena sang guru tidak bisa membedakan kata ganti “saya” dan “kami”. Jadi beliau mengatakan, “Kami mengaku bersalah...” Hingga pengakuan tersebut selesai, barulah ketua demo menegur kembali, memrotes pengakuannya yang mengatasnamakan “kami”, padahal yang melakukan kesalahan hanya seorang, dan menuntut pengakuan ulang yang “baik dan benar”.
 
Seorang mahasiswa yang mengumpat di salah satu sudut kantin bangkit dari duduknya. Melenggang pergi.
 
“Kamu mau ke mana?” tanya temannya.
 
“Menjadi mahasiswa yang baik dan benar,” jawabnya ringan.
 
Lalu ia menghilang di balik kerumunan mahasiswa lain.
 
Beberapa saat kemudian, dialog belum usai, keributan terjadi. Terdengar alarm tanda kebakaran. Petinggi kampus, dosen, dan mahasiswa melupakan perdebatan mereka. Mereka berlari ke sana-sini dengan panik. Masih mengumpat, namun tak menanggapi. Kalaupun menanggapi, tak didengar. Semua sibuk dengan hal yang baru. Gerbang kampus dibuka paksa, tak sabar menunggu kunci yang entah dibawa siapa. Masih terdengar raungan alarm kebakaran, namun hanya ada sedikit kepulan asap.
 
Semua sedikit tenang setelah satu jam berlalu tanpa ada “apa-apa”. Namun setelahnya, terjadi ketegangan yang baru.
 
Siapa yang membunyikan alarm dan membuang puntung rokok sembarangan sehingga sempat membakar sepatu usang yang entah milik siapa?
 
Aku tak tahu.

 

Ari_Thok's picture

Sedikit-sedikit Demo

"Sedikit sedikit demo, sedikit sedikit demo, demo kok sedikit sedikit" (Isa Bajaj, Democrazy) 

Yah semoga gak ada yang demo mogok makan yang konyol deh mbak, hanya demi tercapainya tuntutan (paksaan).

Btw, demo di mana to ini mbak?

 

*yuk comment jangan hanya ngeblog*


*yuk ngeblog jangan hanya comment*

 

__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*

Rya A. Dede's picture

aneh

Demo yang aneh di sebuah kampus yang aneh, Ri!

hiskia22's picture

@ Rya A. Dede

Enakan ngelihat demo masak....bikin ngiler....he...he...he

GBU

__________________

GBU

Rya A. Dede's picture

ibu-ibu

Mengingatkanku pada kampung halaman, sering ada demo di kalangan ibu-ibu PKK. Demo masak dan kecantikan yang sering terjadi.

Mikhael Romario's picture

penumpang

kalo dari segi penumpang, demo bisa muat lebih banyak daripada dajaj

 

__________________

Damai Kristus

Rya A. Dede's picture

sudah berlalu

demo sudah lama berlalu... sekarang, di sini cuma ada taksi...