Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Aksi Diam, Suarakan Nurani Korban

kristono's picture

“Korban jangan diam, lawan”.  Ini adalah penggalan pekik semangat yang diperdengarkan para relawan “kamisan” di seberang Istana Presiden.  Aksi “kamisan” telah berlangsung  hingga ke 300 kali dan dimotori oleh seorang ibu, Ibu Sumarsih.  Tentu saja selain Ibu Sumarsih ada juga para ibu lain dan dan para sesepuh lainnya.  Setiap kali kamisan, relawan dan simpatisan datang dari berbagai kalangan, memberikan dukungan dan teriak-teriak penyemangat agar perjuangan ini tak padam.

Ratusan kali “kamisan”, mungkin tak terbayangkan bagaimana aksi ini dimulai dan dijaga tetap berlangsung, dan terlebih lagi, aksi ini dilakukan dengan melakukan aksi diam, berdiri diam, memandangi Istana presiden, setiap hari kamis pukul 16.00 wib.  Aksi ini mendatangkan banyak sekali kepedulian, salah satunya, justru karena dilakukan dengan cara aksi diam. Ibu Sumarsih dan para simpatisan memilih diam sejenak, namun bisa dibayangkan sejuta perasaan tak terungkapkan, sejuta harapan terkirim dalam derai tangis batin tertumpah.  Setiap kamis, bahkan hingga hari kamis yang ke 300 kalinya.

Menuliskan cerita suara-suara aksi kamisan, maka perhatian saya tertuju pada sudut jalan di seberang Istana.  Suasana di setiap sore hari disana, tak pernah sepi dari kebisingan kendaraan yang lalu lalang, nyaris tak pernah sepi dari mobil, bis dan motor.  Seorang ibu yang hanya duduk diam di sudut jalan, pasti tak pernah jadi perhatian orang yang lalu lalang, apalagi dari jendela pandangan Bapak Presiden dan Ibu Negara di bangunan istana yang megah.  Sunyi senyap jerit doa dan harapan Ibu Sumarsih, setiap hari kamis sangat nyata beda dengar sapuan suara yang ada.  Juga kesederhanaan Ibu Sumarsih dalam pakaian serba hitam, sangat beda nyata dengan gedung Istana yang setiap kali berganti selendang dan hiasan kemegahan, belum lagi protokoler dan rumah jaga Bapak Presiden sangat berbeda dengan payung-payung hitam yang setiap saat diterbangkan angin dan robek tak mampu memberikan perlindungan apa-apa.  Sebuah ironi perjuangan suara-suara kenabian.

Cobalah bertemu sendiri dengan Ibu Sumarsih, maka sosok lembut keibuan, kini berbalut dengan baju hitam, rok hitam dan juga payung-payung hitam.  Pakaian dukacita, adalah bahasa keprihatinan seorang Ibu yang mencoba mengenang akan anak terkasih, ada kedukaan mendalam namun juga ketegaran untuk melanjutkan sebuah nilai perjuangan yang dijaga dengan keajegan, hari kamis sore di seberang Istana Presiden.  Wajah Ibu Sumarsih tidak lagi, lembut pasrah, tapi menjadi tegas, dan awas.  Sekali lagi, bukan tatapan seorang yang biasa-biasa, tetapi berubah menjadi tatapan seorang yang melimpah dengan segala rasa dan daya perjuangan, mata seorang pejuang.

Mari ibu Sumarsih, saya temani ibu, untuk hari kamis ini.. dan hari kamis depan.. dan kamis depan..