Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jangan ah.

anakpatirsa's picture

Pebruari lalu ia bersama dengan saudara kembarnya merayakan ulang tahun mereka yang keduapuluh empat. Perayaan yang menurutku cukup lucu sekaligus sedikit mengharukan khususnya bagi penderita melankolis pragmatis seperti aku. Nyai dan Mantuh, keduanya pergi ke tukang bakso dan merayakan ulang tahunnya di situ, hanya berdua - cukup romantis. Kebetulan keduanya masih kuliah sedangkan kami semua sudah berpencar kemana-mana, sehingga hanya mereka berdua yang ada di kota. Bahkan si kembar inipun akhirnya harus berpisah setelah 24 tahun. Begitu lulus Nyai pergi ke kampung kakak tertua kami, dan Mantuh, adiknya kembali ke kampung. Memilih mengajar di tempat kami menyelesaikan SMP kami dulu.

"Sejauh-jauhnya bangau terbang, pasti akan merindukan sarangnya," rupaya tepat menggambarkan keadaanku sendiri, aku tidak bisa tidak pulang ke tempat kelahiran. Walaupun sekedar untuk berlibur, menemui kedua orang yang telah membesarkan kami. Mungkin juga sekedar menebus rasa bersalah, karena pergi begitu saja begitu kuliah selesai.

Dalam liburan kali ini, aku menghabiskan waktu ngobrol ngawur-ngidul dengan Mantuh. Membicarakan banyak hal, termasuk pertengkaran masa kecil, pertengkaran yang sekarang kelihatan menjadi lucu.

Dari semua acara ngawur-ngidul ini, kami sama-sama menyukai ngawur-ngidul tentang cinta. Mantuh bukan lagi gadis puber, sehingga ngawur-ngidulnya bukan ngawur-ngidul tentang cinta masa puber. Bukan, kami ngawur-ngidul tentang cinta dalam kenyataan, cinta yang penuh pertimbangan logis.

***

Minggu siang, kami bermalas-malasan di depan televisi, kami tidak memperhatikan berita kriminal yang ditayangkan, kami sedang ngawur-ngidul. Seharusnya seorang di antara kami bangkit untuk mematikan televisi, tetapi tidak ada yang mau mengalah. Apalagi kami tahu sebentar lagi televisi itu mati dengan sendirinya begitu listrik padam. Di kampung ini, hanya kalau hari minggu listrik hidup di siang hari, itupun hanya sampai jam 12.

Telinga kami tiba-tiba berdiri mendengar berita seorang dukun ditangkap karena melakukan praktek aborsi. Telinga kami tidak akan berdiri kalau penangkapan terjadi karena seorang tukang kebun menemukan janin di bawah pohon pisang - itu sudah biasa. Telinga kami berdiri karena polisi menangkap dukun ini berhubung perempuan yang ia gugurkan ikut meninggal.

Seorang perempuan muda terpaksa menggugurkan kandungannya, pacarnya tidak mau bertanggung jawab, perempuan yang setiap hari masih harus memakai seragam abu-abu putih ini merasa tidak punya pilihan lain kecuali menggugurkan kandungannya. Menurut seorang saksi, perempuan malang ini sudah ke dokter kandungan, tetapi si dokter menolak, tahu sangat beresiko bagi pekerjaannya jika menggugurkan janin berusia lima bulan. Akhirnya seorang teman, si saksi, memberi alamat dukun langganannya, bahkan mengantarnya ke sana.

"Dukun bodoh." kata adikku.

"Kenapa bodoh?" tanyaku, dari tadi kami cuma ngawur-ngidul, sepertinya sekarang kami bakalan punya topik untuk dibahas.

"Aku tahu aborsi itu sebuah pembunuhan," jawabnya, "dan hanya orang bodoh yang berani melakukannya terhadap janin yang berusia di atas tiga bulan, ia akan membunuh dua orang."

"Bagaimana dengan korban perkosaan?" tanyaku, memancing perdebatan. Maksud pertanyaanku ini, apakah ia setuju aborsi dilakukan karena korban perkosaan. Aku hanya ingin tahu pendapat adikku.

"Aku tidak tahu," jawabnya, "aku tidak bisa membayangkan jika aku yang mengalaminya sendiri."

"Seandainya aku mengalaminya sendiri, aku tidak berani menggugurkannya. Tetapi begitu bayinya lahir, aku kasih ke mamah saja, untuk dipelihara." lanjutnya sambil menahan senyum, senang karena dalam khayalannya bisa mengerjai ibu kami.

"Hei, jangan macam-macam!" teriak ibu dari ruang tengah, ternyata ia mendengar berita di televisi dan pembicaraan kami, "matikan televisinya, sebentar lagi listrik mati dan kalian pasti lupa mencabut kabelnya, seperti minggu lalu dan minggu-minggu sebelumnya. Dan jangan punya pikiran aneh-aneh."

Aku tahu, kalau tidak mengalaminya sendiri, kami bisa menjadikan topik ini sebagai bahan guyonan. Aku juga bisa memaklumi ibu tidak suka dengan guyonan kami. Sebagai seorang ibu, ia juga tidak mampu membayangkan jika putrinya yang menjadi korban.

Tiba-tiba aku sadar, kami membicarakan sesuatu yang tidak pernah kami bicarakan sebelumnya, kami berbicara tentang seks, sesuatu yang dulu sangat tabu bagi kami. Ya, adikku sudah bisa berbicara tentang seks.

Tiba-tiba aku sadar, adikku sudah dewasa. Ia bukan lagi si Kembar Kecil. Hati kecilku tiba-tiba bersyukur karena tahu ia belum punya pacar. Sebentar lagi ia pasti punya pacar, dan ada rasa kehilangan dalam hati ketika membayangkannya.

Aku tidak tahu apakah ia bisa merasakan apa yang kurasakan, tiba-tiba saja ia berkata, "Aku kenal banyak cowok, aku belajar satu hal, cowok langsung berhenti kalau aku bilang 'jangan!', cowok yang kukenal tidak memaksa setelah aku berkata 'jangan!'"

Aku makin sedih karena pernyataan ini, adikku ternyata sudah pernah mengenal yang namanya laki-laki. Selama ini ia dan Nyai bagiku hanyalah 'Si Kembar Kecil.'

"Itulah beda antara orang 'berpendidikan' dengan paman yang memperkosa keponakannya, atau kakak yang memperkosa adiknya , atau ayah yang memperkosa putrinya. Mereka in tidak 'berpendidikan'," lanjutnya. Dari caranya mengucapkan kata 'berpendidikan' aku bisa menangkap yang dimaksud bukan orang yang berpendidikan hanya di sekolah.

"Laki-laki berpendidikan akan berhenti bila seorang gadis berkata 'jangan!, kecuali ia mengucapkannya sambil menambah kata 'ah' di belakang kata 'jangan'," cara adikku mengucapkan kata 'ah' itu mengingatkan aku gaya seorang gadis sok cantik yang sedang digoda oleh seorang laki-laki.

Aku setuju dengan pernyataan adikku, hubungan seks sebelum pernikahan kadang-kadang tergantung dari kata jangan yang diucapkan oleh seorang gadis. Ada perbedaan yang sangat besar antara kata "jangan!" (memakai tanda seru) dengan kata 'jangan' (tanpa tanda seru). Apalagi dengan kata "jangan ah" yang menurutku artinya 'jangan hanya sampai di situ."

***

Aku senang dengan pernyataan adikku, mungkin ia tahu kakaknya menyayangi dia dan tahu seorang kakak sulit melepaskan adik perempuannya, sehingga dengan cara tidak langsung ia telah berkata, "Aku sudah besar kak, tetapi jangan takut, aku bisa menjaga diri."

Aku juga senang, dari pernyataannya, ia mempunyai pengetahuan yang cukup tentang seks untuk menjaga diri. Aku juga senang karena ia bisa menjaga diri dengan kemampuannya untuk membedakan orang-orang 'berpendidikan' dengan orang yang 'tidak berpendidikan'.

Ya, menurutnya orang 'berpendidikan' itu adalah orang yang mengerti arti kata 'jangan!' (dengan tanda seru).

pyokonna's picture

jangan!

tidak semua wanita bisa dengan tegas mengatakan "jangan" (dengan tanda seru), kelemahan wanita ada di telinganya. Satu kalimat manis membelai telinga maka runtuhlah semua dinding pertahanannya.
__________________

We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa