Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

GWB 7 – NEMENI sekalian NENENI

Purnomo's picture

                Sore ini aku di-sms seorang guru wiyata bakti (GWB) yg bersama sekitar 25 GWB menerima santunan bulanan “Persekutuan Biji Sesawi”-nya sebuah yayasan Kristen setiap Sabtu ke-2. “Ini Samuel. Bpk yg tadi pagi cari saya di PBS? Sy terlambat datang. Ada apa?”
                Dulu aku sering bertemu dengannya karena aku ada di Departemen Musik yayasan itu, tapi sering “ngusili” Departemen Diakonia. Aku tak pernah memberinya donasi.


                Aku telepon dia, “Pak Sam, ini purnomo. Saya dengar anak pertama bpk baru masuk SMK Farmasi Theresiana. Uang gedung dsbnya 8,41 juta rph, spp 320 rb. Wuih, sudah berjaya ya sampai bisa menyekolahkan anak ke Farmasi. Anak ke-2 dan ke-3 bagaimana?”
               “Berkat Tuhan, pak, dua adiknya sudah di SD Negeri.”
               “Yg bungsu kelas berapa?”
               “Baru masuk sekolah. Kelas 1.”

               Kelas 1 berarti berusia 7 tahun. Waktu pertama kali mengunjungi rumahnya anak ini baru 2 tahun lebih sedikit. Rumah kayu kecil di kawasan perbukitan di ujung barat kota Semarang. Kontrak bulanan, 200 rb sebulan. Setiap hari langganan air mandi dan minum. Pemilik rumah minta pembayaran setiap 5 bulan. Saat itu dia tidak punya uang 1 juta dan pengurus PBS kontak aku kalau2 aku bisa membantunya. Rencananya aku akan meminjaminya 4 juta rph unt kontrak rumah lain 2 tahun yg aku tahu lebih luas dan ada sumur pompa tangannya dekat2 situ. Nanti dia setiap bulan membayarku 200 rb.




          Tapi Sam belum pulang kerja. Aku ditemui istrinya, D2 Teol, sedangkan Sam S1 Teol. Ruang tamunya sempit sekali sehingga jarak lutut istrinya dan lututku tak ada sejengkal. Jadi ingat dulu kalau naik bemo adu dengkul. Pernah unt tambah2 uang belanja perempuan ini berkeliling kampung berjualan roti ‘tenongan’ sambil menggendong anak kedua sementara si bungsu masih dalam kandungan. Medan yg naik turun memeras energinya. Suatu hari dia jatuh pingsan di jalan. Untung ada yg tahu sehingga bisa segera ditolong. Untung dia tidak keguguran. Sejak itu ia dilarang berjualan kue.

          Sementara kami berbincang, si bungsu ribut mulu. Minta mimik. Akhirnya si ibu merengkuhnya, memangkunya, dan aku terpana. Dia membuka kancing bajunya dan mengeluarkan ‘anggota badan’nya (jaman dulu setiap bus menempelkan peringatan di atas kursi sopir “dilarang mengeluarkan anggota badan”) unt ‘neneni’ si bungsu yg langsung melahap dgn rakus, ceprat-cepret. Kok bisa ya sambil ‘nemeni’ aku berbincang dia ‘neneni’ anaknya. Memang ‘nemeni’ dan ‘neneni’ hanya beda huruf 1 aksara. Tapi mataku dan itunya juga hanya beda kordinat 1 meter. Kata seorang teman pesbuk itu ‘bonus pelayanan’.  Tapi kelamaan menikmati ‘bonus’ ini aku bisa kena vertigo karena mulut, mata dan kupingku mulai terasa tidak sinkron aktivitasnya. Kalau kemudian aku limbung ambruk ke depan piye jal? Makanya, -

         “Bu, kata Pak Sam dia juga menyantuni sekolahnya 6 anak tetangga. Bisa saya lihat kartu uang sekolahnya?”
         “Kalau bpk mau melihatnya, saya ambil dulu di rumah2 tetangga. Bpk tunggu di sini ya,” katanya sambil bangkit berdiri lalu berjalan keluar dengan si bungsu masih lengket nempel di dadanya.

        Wuih, aku keluar rumah cari angin meneduhkan imajinasi liar yg tadi menyesakkan otakku. Di samping rumah ada tanah kosong. Di situlah Sam mengadakan persekutuan Minggu sore. Yg hadir antara 10 sampai 15 orang. Yg laki kebanyakan kerja sebagai tukang batu sedangkan yg perempuan buruh cuci pakaian. Makanya kemarin waktu bertelepon dengan Sam aku menanyakan persekutuan ini.

       “Masih jalan pak, berkat Tuhan”
       “Saya dengar ada orang yg memberikan rumahnya di dekat Mangkang kepada pak Sam.”
       “Betul pak, berkat Tuhan pak. Tapi perlu banyak renovasi.”
       “Di situ pak Sam punya persekutuan juga?”
       “Setiap Minggu pagi, baru perintisan, dapat 8 orang.”
       “Pak Sam mengajar di berapa SD Negeri? Honornya berapa?”
       “Dua SDN, yg kesatu dapat 100 rb yg kedua dapat 300 rb.”
       “Lalu setelah mengajar, siang sampai sore mengerjakan apa?”
       “Mengantar anak2 tetangga ke PPA.”
       “Dapat uang ngojek dari PPA?”
       “Tidak.”

       “Istri pak Sam bekerja?”
       “Tidak.”
       “Honor 400 rb, dipotong spp 320 rb, sisa 80 rb. Apa sisanya ini cukup unt belanja sebulan.”
       “Cukup, pak.”
       “Bagaimana caranya?”
       “Berkat Tuhan pak.”
       “Caranya mendapat berkat Tuhan itu bagaimana, pak Sam?”
       “Ya berdoa, pak.”

       Aku ngakak. Mengapa Rasul Matius waktu masih jadi pemungut cukai tidak menulis buku bagaimana menginterogasi orang Israel yg pakar ngeles seperti ini?

       “Istri pak Sam tidak bekerja karena menjaga anak2?”
       “Betul, dia . . . .” jawabnya dan cepat aku menodongkan pertanyaan kedua.
       “Tapi dia sebagai lulusan sekolah teologi pasti tak bisa tidak melakukan pelayanan.”
       “Betul pak. Dia menghadiri beberapa persekutuan. Jadi pendoa keliling ke rumah2 orang yg sakit. Dia . . . .”
        Langsung aku bertanya sebelum dia membuka kalimat baru, “Berapa persembahan kasih yg dia terima dalam sebulan?”
       “700 rb pak.”
        Dapat deh.
       
         “Pak Sam, sms-kan ke saya nomor rekening tabungan bpk. Saya mau mengirim uang, yg asalnya dari teman2. Karena itu saya harus dapat informasi yg se-jelas2nya unt mereka. Maaf kalau tadi saya bertanya seperti pemungut cukai.”
         “Ndakpapa pak. Saya sudah lama kenal pak pur dan tahu kalau bpk yg tanya musti sampai yg kecil2. Terima kasih pak, Tuhan memberkati.”
         “Berkah Dalem pak Sam.”
          Dia tertawa.

         Senin 10 Agustus 2015 aku melakukan transfer di ATM BRI ke sejumlah nomor rekening. Di lembar catatanku nama Samuel ada di paling bawah. Giliran dia, transaksi ditolak. Aku pikir akses jaringan drop. Aku pindah lokasi yg tidak dekat. Gagal. Pindah ke alamat lain, tetap gagal. Aku kembali ke BRI penerbit kartuku unt lapor kartuku rusak karena tidak bisa dipakai transfer tapi bisa unt menarik uang. Oleh CS aku diminta ke teller unt melakukan transfer manual karena mungkin akses jaringan on line BRI lemot.

         Di teller uangku dikembalikan. “Pak, transfer ditolak karena rekening penerima sudah pasif. Minta penerima mengaktifkan kembali rekeningnya dgn memasukkan dana sebesar saldo minimum.”
         Aku kontak Samuel. Dia tertawa. “Maaf, saya tidak tahu nomor itu sudah diblokir. Nanti saya kirimi nomor istri saya saja.”
         Ternyata yg memegang kas istrinya sehingga dia hanya bisa menjawab “berkat Tuhan” setiap aku bertanya jumlah penghasilan keluarganya.

         Selasa 11 Agustus pk.16.30 aku transfer dana lewat atm dan sms dia, “donasi sdh dikirim, besok kabari sy bila diterima.”
         Belum 2 jam dia gantian kirim sms, “udah msk pak kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya tuhan yesus memberkati.” Yakin aku dia tak punya internet banking sehingga dia harus pergi ke gerai atm unt cek saldo. Dan hanya yg tabungannya sedikit yg bisa tahu ada transaksi masuk hanya dgn melihat saldo terakhir karena dia hafal luar kepala saldo sebelumnya.

         Mendadak ada rasa haru menyeruak di dada saat menyadari uang di tabungan mereka sedikit.

                               (Catatan Sabtu 08.08.2015)