Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guru-guru SD (bag 3 - Bu Chris)

y-control's picture

emploken.. hahaha..

Berikutnya, guru di SD yang harus kusebut adalah bu Chris, aku lupa nama lengkapnya. Bu Chris adalah mamanya Hong Hong, teman sekelasnya Leo. Wajahnya sangat putih, sebagian karena pemakaian bedak yang amat tebal, bibirnya yang tipis selalu berlipstik merah, matanya sipit tapi bulu matanya panjang-panjang, suaranya agak serak dan suka berteriak, rambutnya kering seperti wig dan terlihat mulai beruban. Sebenarnya, bu Chris cukup humoris, tapi ia tidak bisa dibilang sabar juga, meski kalau denganku ia relatif cukup baik. Satu hal yang cukup khas adalah cara tertawanya, tawanya terkesan seperti mengejek, tidak feminim, bunyinya seperti orang bengek.

Bu Chris menjadi wali kelasku di kelas 4 dan 5. Ketika kelas 5, ia mengawali tahun ajaran baru dengan berkata, "kita ketemu lagi anak-anak, barangkali kalian mengharapkan akan memiliki wali kelas yang lebih cantik, tapi akhirnya kita ketemu lagi." Ketika itu, pembukaan tersebut disambut dengan ketegangan, termasuk untuk aku, mengira kalimat itu sebagai pertanda beliau akan marah atau tidak suka mengajar kami. Kata-kata bu Chris memang sering kali agak terlalu sinis untuk disampaikan kepada anak SD. Ia juga agak moody, kadang lucu dan baik, tapi kalau mungkin di rumah sedang ada masalah, di kelas ia bisa berubah menjadi galak dan dingin, kadang selama jam pelajaran ia juga sekadar menyuruh seorang anak menulis catatan di papan tulis sementara ia duduk di kursinya sambil menunduk memegangi kepala. Satu kali aku ingat ia pernah sengaja menyuruh temanku Dian mengambilkan sesuatu di ruang kantor bawah. Setelah Dian keluar, ia menutup pintu dan mulai menceritakan kejadian di kelas beberapa hari lalu, saat ia memarahi Dian dan mengucapkan satu perkataan (kalau tidak salah kata "goblok"). Rupanya Dian merasa sangat terpukul dengan ucapannya itu dan melaporkan pada orangtuanya. Lalu, orangtua Dian pun sepertinya tidak terima dan protes pada sekolah. Mungkin bu Chris sempat ditegur, tapi ia kukuh merasa tak pernah mengucapkan kata itu pada Dian. Ia merasa Dian telah melebih-lebihkan, jadi ketika Dian keluar itu, ia berusaha memengaruhi anak-anak yang lain bahwa Dian adalah anak yang suka berlebihan dan telah berbohong mengenai kejadian waktu itu. Setelah Dian kembali ke kelas, beberapa atau mungkin sebagian besar anak, terutama anak perempuan, memang segera mengambil sikap berbeda pada Dian. Ia seperti dikucilkan selama beberapa hari. Aku sendiri sudah lupa kejadian sebenarnya, entah bu Chris memang pernah mengucapkan kata itu atau tidak, yang jelas barangkali itu adalah satu pengalaman pertamaku berhubungan dengan intrik.

Seperti sudah kukatakan, bu Chris sebenarnya relatif baik denganku. Namun, kadang ia memang membuatku takut. Suatu kali ia memarahi Budiono alias Ming Ming, anak bertubuh kecil dengan kacamata rantai yang sering izin ke toilet. Karena berasumsi ia sudah ke toilet terlalu sering, bu Chris melarang Budiono ke toilet lagi. Beberapa hari kemudian, karena takut bernasib sama seperti temanku tadi, meski aku sudah sangat ingin kencing, aku terus menahannya. Namun, ternyata tidak bisa. Jadi, sementara bu Chris di depan sedang mengajar, aku menunduk dan celanaku makin lama makin basah, beberapa bahkan mengalir ke bawah bangkuku. Untuk menutupinya, aku mencoba menjatuhkan tasku yang berbentuk koper mini ke atas genangan air pesing itu. Tapi di belakangku. Franki dan Henri mengetahuinya. Franki tertawa-tawa, dan berteriak menyindir, "Asin ya?" Kelas pun menyadari kalau aku telah mengompol, bu Chris lalu mendatangiku dan tertawa. Untuk menutupi malu, aku pura-pura bilang bahwa aku tidak merasakan kalau aku kencing di celana. Alasan yang amat bodoh. Bu Chris berkata, "Lho kenapa tidak bilang mau ke WC?" Franki pun menjawab mewakili, "Lha, kemarin itu dimarahi.." Bu Chris hanya tertawa dan bilang "Kalau memang kebelet tidak apa-apa" lalu menyuruhku membersihkan diri di WC, sedang temanku Yiska disuruh meminjamkan celana di UKS. Di WC, jelas aku malu. Apalagi karena harus menunggu celana pinjaman untukku diambilkan oleh anak perempuan. Aku mengintip-intip dari belakang dinding kompleks WC dengan tidak memakai celana, menunggu Yiska mengulurkan celana kepadaku. Aku memang malu karena waktu itu aku sudah duduk di bangku kelas 5, tapi karena bu Chris tampaknya berhasil membuat kelas tidak lagi membahasnya, aku merasa agak tenang dan jelas lega karena yang kutahan-tahan akhirnya bisa dikeluarkan.

Bu Chris juga sering memberi julukan pada murid-muridnya. Ferry yang bernama Ferry Irawan Sunaryo (tentu Sunaryo adalah nama bapaknya), dipanggil dengan sebutan Cak Naryo. Temanku Hermawan yang pernah tidak naik kelas, yang sewaktu masih menjadi kakak kelasku sangat membuatku takut, dan konon sempat disekolahkan di sekolah anak nakal(?) di Jombang, dipanggil dengan sebutan Kucing. Khusus untuk Yohanes Hermawan ini, setelah menjadi satu kelas denganku, ternyata ia malah cukup baik denganku. Lalu ada juga Yohanes Haditomo, anak hitam berambut keriting, yang juga sempat tidak naik kelas, mendapat sebutan Brintik. Mulai kelas 4 dan 5, memang mulai banyak teman sekelasku yang adalah anak yang pernah tidak naik kelas, demikian pula banyak mantan teman sekelasku yang kemudian menjadi adik kelasku. Selain dua Yohanes, juga ada dua Didik, termasuk Ferry tadi. Semuanya termasuk akrab denganku, dengan kelompok main yang berbeda-beda. Kalau main bersama Franki dan Henri, biasanya diikuti Hengki, Ferry, kadang juga Ryan. Kalau main dengan Tomi, ada Eka. Kalau main dengan Didik. H, ada Rudi, Petrus, Haditomo. Main dengan Didik. T yang adalah sepupu dari sepupuku Leo alias Yoyo, ada Very alias A Fuk, Paulus Daniel alias Han Ciang, dan kadang kelompok dua Didik itu juga bercampur karena rumah keduanya cukup dekat.

Mana yang paling dekat? Aku tidak ingat lagi. Yang jelas, sedekat apapun hubunganku dengan mereka, hampir semua tidak pernah bertemu lagi denganku setelah lulus SD. Memang, waktu SMP kelas 1 aku masih sempat ke rumah Henri. Tapi ketika aku dan dia satu SMA, di kelas 1 ia masih cukup ramah, tapi di kelas 3, bahkan ketika kami sekelas, ia sudah sangat berbeda dan kami pun bukan lagi sahabat dekat. Ia bahkan berganti nama menjadi John (aku duga karena nama baptisnya Yohanes) dan dipanggil dengan sebutan si Jon yang cool, dandy, dan playboy. Masya allah. Dengan Didik T, ketika SMA, aku sempat bertemu dengannya di jalan. Ia naik mobil bersama teman-temannya dan aku naik motor, ia masih ingat denganku dan masih menyapaku dengan ramah dari dalam mobil. Tapi, kira-kira setelah kuliah, rupanya Didik telah menjadi pemakai narkoba, sempat menjalani rehab, dan sejak itu menurut informasi dari keluarga Leo, ia seperti orang yang agak bloon dan kalau diajak omong sering tidak nyambung. Demikian juga Franky, ketika di waktu SMP aku sempat aktif mengikuti latihan beladiri bernama KATEDA, ia menjadi pelatih di cabang lain (tapi kadang kami mengadakan latihan gabungan), ia masih mengenaliku tapi kami tidak bisa akrab lagi. Tapi Han Ciang agak lain dengan mereka. Kami bersekolah di SMA yang sama, juga sempat sekelas. Tapi, jika waktu SD ia adalah anak gemuk yang agak pendiam, waktu SMA, ia menjadi seorang remaja yang aktif, pemain bola yang cukup handal di sekolah, dan cukup gaul. Tapi ia masih cukup baik denganku. Yang lebih akrab waktu SMA justru Darwin, sepupu Han Ciang yang waktu SD tidak seakrab aku dan Han Ciang. Sementara Petrus sempat aku lihat menjadi tukang parkir di sebuah warnet dekat lingkungan rumahnya.

Kembali pada bu Chris, gosip sempat beredar sewaktu aku di SMP. Aku ingat kira-kira waktu aku di kelas 6, suami bu Chris meninggal dunia, lalu ketika awal SMP aku dengar bu Chris menikah lagi, konon dengan suami alm. Bu Yanti. Aku tak tahu kebenarannya. Yang jelas, alm. suami bu Chris dan suami bu Yanti memang tampilannya cukup mirip. Satu hal lagi yang kuingat tentang bu Chris adalah waktu kelas 5, cawu 1. Ketika akan menerima rapor, adalah hal yang mendebarkan untuk mengetahui siapa yang akan menghuni peringkat 1-10. Seperti malam penerimaan anugerah Oscar, beberapa gosip tentang siapa yang akan menjadi juara 1 cukup gencar. Dulu, waktu aku masih sering merebut juara 1, 2, dan 3, biasanya beberapa hari sebelum terima rapor, guru tata usaha atau wali kelas akan memberitahuku secara diam-diam, agar membawa foto hitam putih ukuran 3x4=1 lembar. Foto itu akan dipasang di piagam juara. Itulah pertanda aku akan meraih juara, tapi mengenai peringkatnya aku masih belum tahu sebelum rapor dibagikan. Di hari pembagian rapor itu, seperti biasa diawali dengan wali kelas memberi wejangan untuk kemudian setelah itu memanggil orangtua dan muridnya satu persatu menerima rapor. Ternyata, seperti seorang tukang sulap, bu Chris membuka bagian belakang papan tulis yang memang bisa bisa dibolak-balik, di situ ada 10 nama dari peraih rangking 1-10. Semua murid terpana, kenapa tidak ada satupun yang punya pikiran akan ada 10 nama itu di bagian belakang papan itu? Maka, pada dua cawu berikutnya, setiap menjelang hari pembagian rapor, papan tulis bagian belakang itu selalu diperiksa. Tentu saja tidak ada lagi tulisan seperti itu di sana. Begitulah bu Chris, labil tapi sering kali cukup menghibur.

cerita lengkap di sini