Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guru-guru SD (bag 1 - Bu Yanti RIP)

y-control's picture
(in case ada yg kenal, in case ada yg muak dng itikad orang posting blog di sini, enjoy)
Masa SD yang enam tahun lamanya itu mungkin hanya bisa ditandingi waktu kuliah. Tapi mungkin tidak juga, mungkin SD lebih diingat karena katanya ingatan itu seperti bak pasir, pasir yang pertama masuk akan menghuni bagian dasar bak, menjadi pernopangnya, sementara pasir yang berikutnya hingga butir-butir yang terakhir akan menjadi bagian yang diinjak.

Setahun di bangku TK, aku kemudian disekolahkan ke SD yang masih dalam naungan yayasan yang sama, tapi lokasi sekolahnya beda, SD Widya Wacana di daerah Pasar Legi, Solo, sekolah swasta yang dinaungi sebuah yayasan Kristen yang berafiliasi ke organisasi GKI (Gereja Kristen Indonesia), yayasan yang sama juga menaungi universitas Satya Wacana di Salatiga. Guru pertamaku, yang adalah wali kelasku di kelas A adalah bu Yanti. Lengkapnya Dewi Yanti. Guru yang satu ini bertubuh kecil, berambut keriting, mata bulat, dengan janggut maju alias agak nyakil. Satu hal yang barangkali akan selalu dikenang semua bekas muridnya adalah kesukaannya bercerita. Ia punya banyak sekali koleksi dongeng, tentang keluarga kerajaan, dunia hewan, atau kisah dari Alkitab dan belakangan kisah dari film yang ia tonton dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan usia anak-anak, warna ceritanya baik yang kebarat-baratan, kemelayu-melayuan hingga kehongkong-hongkongan. Dongeng yang masih kuingat di antaranya tentang kancil, pangeran kodok, sebuah fragmen dari cerita film aksi bikinan Hong Kong yang dibintangi Chow Yun Fat yang beberapa hari sebelumnya juga aku tonton bersama Papa, dan kisah tentang Abraham yang mengorbankan Ishak, yang aku ingat terutama karena bu Yanti mendeskripsikan, "kalau Ismael itu nakal kayak… (nama temanku), tapi kalau Ishak anaknya diam, kayak y-control ini, yang kalau dinakali diam aja." Aku tidak bisa membayangkan perilakuku waktu kecil, tapi hubunganku dengan bu Yanti aku rasakan cukup dekat, meski aku sedemikian pendiam. Bu Yanti ini memang adalah wali kelasku, ia sangatlah sabar dan mungkin tidak bisa marah. Satu kali ketika di kelas 1, aku lupa membawa sesuatu untuk mata pelajaran Prakarya (keterampilan tangan). Nah, karena harus menepati janji akan mencubit anak yang lupa membawa, bu Yanti berpura-pura mencubitku, tapi hanya dengan sentuhan ringan saja sambil tersenyum pula, meski juga dengan berkata "hayo, nggak bawa, elek ini." Meski demikian, aku toh tetap merasa sedikit terpukul, aku masih ingat aku mencoba memandangi tanganku yang habis 'dicubit' bu Yanti itu. Tidak ada bekasnya, tentu saja, tapi aku merasa ada bekas putih di kulitku, mungkin itu kapur, aku merasakan panas menjalari wajahku, mungkin karena malu, mungkin aku seperti pemain bola yang diving. Tapi di luar itu, pastinya hukuman pertamaku di sekolah itu masih kuingat sampai sekarang.

Di kelas 1, guru yang mengajar kami memang tidak banyak. Wali kelas mengajarkan hampir semua pelajaran. Pengecualian mungkin adalah pelajaran olahraga (dulu namanya ORKES = Olahraga dan Kesehatan, halah.. singkatan itu sampai SMP sungguh membuatku sering rancu dengan kata orkes dalam bidang musik). Pelajaran ORKES selalu diajarkan oleh guru pria. Entah dia atletis atau tidak, rasanya setiap guru pria di SD ku harus selalu bisa menjadi guru olahraga, terutama untuk olahraga praktik, bukan teori. Tapi, tingkah polah para guru pria waktu SD ini akan kuceritakan nanti. Kembali pada bu Yanti, selain sebagai guru, ia juga punya sambilan membuat dan menjual kacang telor. Kacang bersalut tepung dalam bungkus plastik kecil dengan tulisan dan gambar warna merah, sayang aku lupa nama mereknya, dijual seharga 25 rupiah per-bungkusnya. Aku tahu dan masih ingat sebab kacang itu juga titip dijual di kantin sekolah dan merupakan salah satu jajanan kesukaanku waktu itu.

Hubunganku, termasuk keluargaku, dengan bu Yanti tergolong baik. Ya, menjadi guru SD memang tidak mudah, selain berhubungan dengan si murid, kita juga harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan keluarga terutama orangtuanya, apalagi di kota kecil seperti Solo, apalagi sebagai sesama etnis Cina, apalagi di tahun-tahun itu (1980-1990-an). Mama hampir selalu tahu perkembangan dan sikapku selama di sekolah, ia juga tahu dan membawa sebutan 'pak Kem' dan 'bu Kem' yang dicetuskan oleh bu Yanti di sekolah, jika ada anak yang jorok, tangannya kotor, bajunya kotor, dsb. 'Kem' maksudnya adalah singkatan dari 'kemproh.' Mama dan kakak-kakakku, saling tahu dan saling mengenal dengan bu Yanti. Tapi Papa tidak. Terjadilah, satu hari aku diajak Papa makan sate kambing (sekarang ketahuan kalau memang Papa sendirilah yang tidak bisa menjaga menu makannya sampai kena macam-macam penyakit, termasuk hipertensi), di warung itu aku bertemu bu Yanti dan suaminya juga sedang makan di sana. Bu Yanti menyapaku tapi aku justru seperti malu-malu dan enggan beramah-tamah dengannya. Sejujurnya, saat itu aku merasa bingung hampir tidak percaya karena melihat guruku berada di tempat selain sekolah, dengan pakaian biasa, makan makanan yang sama denganku. Begitulah pikiranku saat itu. Karena belum tahu kalau dia adalah guruku di sekolah, Papa sendiri mungkin tampak heran dan tidak bisa menduga siapa kira-kira wanita setengah baya dengan suaminya yang botak dan berkacamata tebal itu. Ia pun hanya menyapa seadanya. Setelah pulang dan aku bercerita pada Mama tentang pertemuanku dengan bu Yanti, barulah Papa menyadari dan merasa sangat rikuh karena merasa kurang bersikap sepantasnya pada waliku di sekolah itu, "oalah, kok nggak ngomong?, lain kali disapa dong, jangan diam saja ketemu gurunya, …" demikian nasihat Papa padaku. Sebagai orang kuno, Papa tampaknya memang memandang seorang guru sebagai sosok yang sangat mulia, begitu kira-kira.

Waktu aku duduk di kelas 3 atau 4, Bu Yanti sempat sakit dan absen mengajar beberapa bulan, atau bahkan setahun, untuk memulihkan kesehatannya. Barangkali ia bahkan sempat mondok di rumah sakit, aku lupa. Mungkin saja penyakitnya tidak jauh dari akibat kebiasaan pola makan yang sama seperti Papaku, yang jelas waktu aku kelas 5, ia sudah kembali mengajar meski tampaknya tidak menjadi wali kelas lagi, dengan tubuh yang tampak lebih lemah dan makin kurus. Ia mengajar aku di mata pelajaran Seni Musik waktu kelas 5. Tapi, bukannya mengajar, kami malah lebih sering mendengarkan dongeng-dongengnya. Bu Yanti mungkin memang benar-benar lebih suka mendongeng ketimbang mengajar mata pelajaran yang sudah ditetapkan sesuai kurikulum yang tidak mencerdaskan anak itu. Mungkin saja ia merasa pendidikan budi pekerti melalui dongeng akan lebih berguna bagi anak-anak. Selalu, setiap melihat para murid terasa jenuh atau tidak berminat mengikuti pelajaran dan mulia berulah, bu Yanti segera berkata, "Bu Yanti punya cerita, mau dengar nggak?" Atau mungkin ia mendongeng karena alasan praktis, ia tak ingin atau tak bisa marah pada anak-anak yang ramai atau susah diatur, jadi ia pun selalu menggunakan rayuan, "kalau kalian tidak mau diam, bu Yanti tidak akan cerita lho.. ayo diam dulu." Rayuan itu memang sering manjur, paling tidak untuk sebagian besar anak, apalagi untuk aku yang tergolong murid yang tak banyak tingkah dan tuntutan. Jadilah satu jam pelajaran digunakan untuk mendongeng, kadang sampai dua dongeng, kadang yang satu selesai, satunya lagi bersambung di pertemuan berikutnya. Satu kali, wali kelasku di kelas 5 itu, bu Tjien Hwa datang ketika bu Yanti sedang mendongeng. Saat itu, bu Tjien Hwa memergoki beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang banyak polahnya sedang main silat-silatan di depan kelas, di belakang punggung bu Yanti yang mendongeng di hadapan sebagian anak yang mau mendengarkan. Waktu bu Yanti ada di sana, bu Tjien Hwa hanya terlihat kaget tapi tidak marah-marah pada anak-anak yang main silat-silatan itu. Tapi, di hari atau jam pelajaran berikutnya, bu Tjien Hwa langsung marah-marah pada anak-anak itu. Situasi itu memang lebih seperti situasi di rumah tangga, antara tamu dan tuan rumah, dan sebaliknya. Tapi memang demikianlah keadaannya di SD-ku saat itu.

Kira-kira waktu aku duduk di bangku SMP, aku mendengar kabar bu Yanti meninggal dunia. Guru yang sangat penyabar, yang lebih seperti seorang nenek dalam cerita, yang minatnya dalam mengajar mungkin hanya mendongeng dan menyanyi itu kalau tidak salah meninggal karena penyakit yang sama yang pernah membuatnya absen selama setahun untuk kemudian kembali lagi, tapi sebagai guru yang tak begitu penting. Aku merasa ia guru yang memang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu mengakhiri dongengnya tepat ketika bel berbunyi, dengan mengucap kalimat penutup, "baar.. ceritane bu Yanti apik ya.." sambil tersenyum lebar dan tangan dilipat di depan. Kalimat yang diucapkan dengan lambat seperti tirai pertunjukan yang pelan-pelan ditutup. Aku mungkin sudah tak begitu ingat semua dongengnya, tapi sepertinya dialah satu-satunya orang yang mengenalkan dongeng lisan padaku.

yg lengkap di sini
Daniel's picture

nostalgia masa SD

Y!

serius nih, kamu bener2 ingat semua itu? gak nyontek?! berarti ingatanmu memang hebat!

aku juga pernah sekolah di SD yang sama denganmu, cuma "jaman"-nya aja yang beda, weh, jadi kerasa kalo udah tua... eh, ngomong2 tapi kok guru2nya masih sama ya? bahkan kayaknya sampe skrg ada bbrp yg masih ngajar juga ya? bener2... dedikasi guru SD kita itu luar biasa ya... eh, kembali ke laptop, gak kayak kamu, aku gak bisa mengingat semua yang terjadi waktu SD, boro2 detil2nya, wong nama guru, nama teman, semuanya juga udah lupa tuh? apa memang aku yang parah ya?

tapi makasih deh buat kamu yg udah nulis sampe berseri gini, aku jadi bisa ikutan bernostalgia mengenang kembali masa SD yang emang indah (walaupun udah banyak yang lupa... :p)

control-y's picture

bener dunk

lah.. waktu sd saya mah masih belum berani nyontek hehe.. ga nyambung :P aku juga heran sendiri waktu ngetik tulisan ini bisa sampe 11 halaman A4.. mungkin lagi emosi, kalimat pertama sih diketik 10 bulan yang lalu hehe.. tapi semangat lagi setelah googling hanya nemu dua tulisan (blog) ttg guru sd ww sarlegi.. yg satu di blognya mantan murid yg lulusnya th 75, mungkin seangkatan sama mas daniel hehehe.. eh belum setua itu ya :P satunya lagi di sd ww warungmiri.. saya sengaja posting di sini soalnya manfaatin terkenalnya sabdaspace, biar cepet masuk google (dan memang manjur) karena blog saya sendiri kurang terkenal hehehe.. karena tulisannya pooanjang saya potong2, padahal saya paling benci kalo ada yg posting beruntun hehe.. jadilah ditambah2i kalimat provokatif di atas hehe
sh's picture

cari temen lama...


Menarik dan detil sekali informasinya...minta ijin tak tambahin..ya, bagi2 cerita yach kalu ada yang tahu...

Bisa tolong infonya kalau tahun 80an ada nama guru agama di SD namanya pak Zakaria, bagaimanan beliau sekarang?

Pingin kontak2 ama temen2 lama yang hampir lupa...(sayang ya..) Ada yang kenal dengan : Daniel di Nusukan kalau sekolah pake spd mini, Henry di gondang (pinter selalu juara), Mien Purwanti ( kecil, putih..tapi pinter), Amelia (BienBien) tinggi posturnya rumahnya di deket GBIS kepunton, Ruth Faraya, dll.. tak lupa Si hitam manis Rebecca.. dan Maria Enny setyawati, nduut..hehehe yang ini suka sebangku ..baik orangnnya.,,Ah nostalgia..kalo ada dan bisa mengadakan reuni alumni pasti seru.


Kebetulan setelah lulus SD melanjutkan ke SMP di lokasi yang sama, Guru yang ingat pak Dar dan pak Elia..ingat sih karena wali kelas dan guru prakarya lebih ingat karena hasil prakarya tersebut sering diminta untuk dipajang di almari sekolah karena bagus2 dan keren...sombong nich.Masih ada ngak ya..sekarang?


Mengenai temen2..smp ada yang dari SD dan banyak tambahan dari SD WW selain pasar legi ?? jadi ikutan nakal nich saat itu, sampe2 kalau ada pelajaran tambahan sore hari , pada pingin mangga mangga di samping sekolah, ambil deh...dipohon, heran yach..naiknya tinggi dari balcon/tangga diatas ruang TK,Pad apunya sepeda jengi brodolan kita lomba dengan hanya pake 1 ban saja (ngetreil) di teras ruang kelas belakang, yang seru kita2..kompak kalo kertas ulangan diminta untuk dibagikan, kita ngak bagikan rame2 buat/lipat jadi kapal terbang dan dilempar dari jendela atas rame-rame turun ke bawah..jadi seru! jalanan depan sekolah penuh pesawat dari kertas dan sialnya ada pesawat tuh belok masuk ke ruang kelas sebelah yang masih ada guru dan kegiatan belajar..nya hahaha..


Nama teman yang masih ingat..Agus Pranoto? Mulyono rumahnya deket RRI yang sekarang menetap di Bandung, Daniel_N, MinTjay, Sugianto (GeeIng), Sugiarto yang suka nembak burung tuh..., Yohanes, Rudi, Sandra di Nusukan, Henny di Kepatihan, Dewie Kunthi hitam manis...rame deh orangnya,eh..temen dekat Dewi Kunthi yang rumahnya belakang toko besi pasar legi siapa ya?


Kemudian penulis kelas kita Enny SriHartati..yang pendiam ,ada yang tahu dimana sekarang?, kontak terakhir saat kuliah di Malangkucekwara - Malang, mudah2 bisa kontak2 lagi.


Trus... ada Yudi, rumahnya deket Sriwedari..Ada Erawati, anaknya pendiam sekali,..sekarang tinggal di Serpong bisnis restoran masakan khas Solo.. tahu dan kenal kembali karena suaminya.

Sampai disini dulu ..jika ada waktu disambung,
mudah2 ada yang baca dan ketemu teman lama yang masih kenal..bisa saling kontak2 lagi..Smile