Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Eksposisi Roma 1:9-13: HAMBA KRISTUS: KEHENDAK YANG DIKUDUSKAN

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Seri Eksposisi Surat Roma: Hamba Kristus dan Fokus Injil-3

Hamba Kristus: Kehendak yang Dikuduskan

oleh: Denny Teguh Sutandio

 

Nats : Roma 1:9-13.

 

 

Pada ayat 9, Rasul Paulus menunjukkan kasihnya kepada para jemaat di Roma dengan berkata, “Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil Anak-Nya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu:” Prof. J. Knox Chamblin, Th.D. di dalam bukunya Paulus dan Diri pada halaman 3 mengungkapkan, “Paulus menulis sebagai pribadi yang utuh, di mana pemikiran, perasaan, dan kehendaknya secara konstan saling berinteraksi saat ia menulis.” (Chamblin, 2006, hlm. 3) Di dalam ayat ini saja, kita menemukan suatu emosi/perasaan kasih dari Rasul Paulus yang terus mendoakan para jemaat di Roma. Paulus tahu kehidupan di Roma yang begitu sulit, sehingga ia terus mendoakan mereka. Doa adalah suatu hal yang penting dan merupakan suatu komunikasi kita sebagai anak-anak-Nya dengan Allah. Doa juga merupakan suatu ekspresi cinta kasih kita kepada seseorang yang kita kasihi dengan mengingat dan membawa mereka di dalam doa kepada Allah, sama seperti di dalam suatu komunikasi antara kita dan teman kita, kalau kita benar-benar mengasihi pasangan kita, maka kita berusaha mengingatnya dan menceritakannya kepada teman kita agar teman kita boleh mengetahuinya. Demikian pula dengan doa, kita sebagai anak-anak-Nya perlu memperhatikan orang lain yang kita kasihi dan kita perlu membawanya di dalam doa. Itu merupakan suatu bukti kepedulian kita terhadap sesama anak Tuhan. Apa yang Paulus telah lakukan yaitu dengan mendoakan para jemaat di Roma sebagai wujud kasihnya, seharusnya kita teladani dengan mendoakan mereka yang berada di dalam kesulitan khususnya anak-anak Tuhan di negara-negara yang melarang pemberitaan Injil dan berdirinya gereja. Mereka berjuang sekeras dan segiat mungkin agar dapat terus setia mengikut Kristus, dan ini harus kita doakan terus-menerus. Inilah bukti bahwa kita tidak menjadi orang Kristen yang egois yang terus memikirkan kepentingan kita sendiri di dalam doa. Di dalam doa, seringkali orang Kristen memuaskan keinginan pribadi mereka, misalnya minta kaya, minta pasangan hidup, minta pekerjaan, dll, bukan berarti semua itu tidak boleh, tetapi jika kita terus mengkhususkan doa untuk hal-hal pribadi kita sendiri, maka kita adalah orang Kristen yang egois. Biasakanlah di dalam doa, kita pertama kali mengingat kepentingan orang lain yang lebih buruk dan susah daripada kita, bahkan kalau perlu pertama kali kita mendoakan para misionaris dan hamba Tuhan yang setia mengabarkan Injil di daerah-daerah yang sulit dan keras. Ini namanya doa syafaat, dan orang Kristen yang terus berdoa syafaat adalah orang Kristen dan hamba-hamba-Nya yang setia. Hamba Tuhan yang setia bukan diukur dari berapa hebatnya dia berkhotbah, melayani, dll, tetapi diukur dari kepedulian mereka dengan jiwa-jiwa yang tersesat dan anak-anak Tuhan lainnya yang berada di dalam kondisi kesulitan (entah itu sakit, bangkrut, dll) dengan mendoakan mereka. Paulus bukan hanya terus mendoakan mereka, tetapi ia juga menasehati mereka untuk terus berdoa. Di dalam Roma 12:12, Paulus berkata, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” Di dalam penderitaan, doa merupakan suatu wadah kita berkomunikasi dengan Allah dan meminta-Nya untuk terus-menerus menguatkan kita dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang kita hadapi. Di dalam kesulitan yang para jemaat Roma alami, Paulus menghibur mereka di dalam ayat ini dengan tiga hal, yaitu : bersukacita di dalam pengharapan, sabar di dalam kesesakan dan bertekun di dalam doa. Doa tidak bisa diabaikan begitu saja, karena tanpa doa, kita tidak mungkin sanggup kuat dan tahan menghadapi penderitaan. Kedua hal pertama yang Paulus utarakan di dalam Roma 12:12 jika tidak disertai dengan pernyataan, “bertekunlah dalam doa !” adalah suatu pernyataan yang sia-sia, karena bersukacita di dalam pengharapan dan sabar di dalam kesesakan tidak berguna tanpa ada penyerahan total kepada kehendak-Nya di dalam doa. Mayoritas, doa dikaitkan dengan bersukacita, sebagaimana di dalam 1 Tesalonika 5:16-17, Paulus menggabungkan antara “Bersukacitalah senantiasa.” dan “Tetaplah berdoa. (King James Version menerjemahkannya Pray without ceasing.=Berdoa tanpa henti.)” Sukacita tanpa doa adalah sukacita palsu/fenomenal dan cenderung lupa diri, karena sukacita sejati adalah sukacita di dalam Tuhan dan itu selalu berkait dengan penyerahan diri secara total kepada Allah di dalam doa. Di dalam doa, ada unsur sukacita, sebaliknya di dalam sukacita, ada unsur doa. Doa inilah yang Paulus nyatakan dengan sukacita dan rasa cinta kasihnya di dalam ayat 10, “Aku berdoa, semoga dengan kehendak Allah aku akhirnya beroleh kesempatan untuk mengunjungi kamu.” Kalau di ayat 9, muncul perasaan kasih dari Paulus, maka di ayat 10, muncullah kehendak Paulus yang ingin mengunjungi jemaat di Roma. Sungguh menarik, Paulus bukan hanya mengaitkan konsep doa dengan rasa kasihnya, tetapi juga mengaitkan doa dengan kehendak Allah. Doa yang beres bukan hanya sekedar ekspresi cinta kasih manusia, tetapi juga harus disinkronkan dengan cinta kasih versi Allah. Caranya adalah mempersilahkan Allah menunjukkan kehendak-Nya melalui jawaban doa kita. Paulus tahu benar siapa dirinya di hadapan-Nya, sehingga ketika ia berdoa, ia tahu di mana letak kedaulatan kehendak-Nya, sehingga segala sesuatu harus diserahkan kepada kehendak-Nya. Kalau kita mengingini sesuatu, biarlah kita berdoa terlebih dahulu kepada Allah untuk mensinkronkan kehendak kita apakah sesuai dengan kehendak-Nya yang kudus dan kekal. Marilah kita membiasakan diri mengutamakan kehendak Allah bukan kehendak pribadi, seperti Paulus yang tetap menyerahkan kehendak pribadinya untuk mengunjungi jemaat di Roma kepada kehendak Allah. Apa yang menjadi kehendak pribadi Paulus ? Di ayat 11, Paulus mengungkapkannya, “Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu,” Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “Sebab saya ingin sekali bertemu dengan kalian supaya saya dapat membagi denganmu karunia dari Roh Allah untuk menguatkan kalian.” Bukan tanpa alasan Paulus ingin mengunjungi jemaat di Roma, tetapi ia ingin membagikan karunia Roh Allah kepada mereka untuk menguatkan mereka. Kepedulian Paulus bukan hanya diukur dari tindakan mendoakan para jemaat di Roma, tetapi juga keinginannya juga untuk mengunjungi mereka dan menguatkan mereka melalui pemberian karunia dari Roh Allah. Apa sajakah wujud karunia Roh Allah ini ? 1 Korintus 12 memberikan daftarnya, marilah kita menelusuri satu per satu dengan teliti.

1. Karunia pelayanan (ayat 5)

2. Karunia berkata-kata dengan hikmat (ayat 8 ; BIS, “kesanggupan untuk berbicara dengan wibawa”)

3. Karunia berkata-kata dengan pengetahuan (ayat 8 ; BIS, “kesanggupan untuk menjelaskan tentang Allah.”)

4. Karunia iman (ayat 9 ; BIS, “kemampuan yang luar biasa untuk percaya kepada Kristus ; ”)

5. Karunia menyembuhkan (ayat 9)

6. Karunia mengadakan mujizat (ayat 10)

7. Karunia bernubuat (ayat 10 ; BIS, “karunia untuk memberitahukan rencana-rencana Allah.”)

8. Karunia untuk membedakan bermacam-macam roh (ayat 10 ; BIS, “kesanggupan untuk membeda-bedakan mana karunia yang dari Roh Allah dan mana yang bukan.”)

9. Karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (ayat 10)

10. Karunia untuk menafsirkan bahasa roh (ayat 10)

Tiga prinsip penting berbagai macam karunia Roh Allah ini adalah pertama, berlaku hanya bagi umat pilihan-Nya, yaitu memuliakan Kristus (“Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”—1 Korintus 12:3), kedua, sumber dari segala macam karunia rohani adalah dari Roh Kudus (“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh.”—1 Korintus 12:4) dan ketiga, dipergunakan untuk saling memperlengkapi bagian-bagian di dalam satu tubuh Kristus (“Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.”—ayat 7). Dengan jelas, yang dimaksudkan oleh Paulus dengan karunia rohani di ayat 11 pasti berkaitan dengan karunia untuk kepentingan jemaat/bersama di dalam pembangunan tubuh Kristus. Karunia Allah bukan dimonopoli hanya untuk para hamba Tuhan, tetapi juga untuk semua anak Allah. Karunia tetap adalah karunia yang sama dengan anugerah, sesuatu yang berharga yang diberikan dari pribadi kepada pribadi yang tidak layak menerimanya. Demikian halnya dengan karunia/anugerah Allah diberikan oleh Allah kepada manusia yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Tetapi herannya, di zaman postmodern, banyak orang “Kristen” menganggap anugerah Allah bisa dimanipulasi dan dituntut seolah-olah mereka adalah orang-orang yang layak dan “harus” mendapatkan anugerah Allah khususnya berbahasa roh, padahal di dalam di dalam 1 Korintus 12, karunia berbahasa roh adalah salah satu dari 10 daftar karunia Roh Allah (bukan satu-satunya), bahkan diletakkan pada urutan kesembilan (paling tidak penting). Lalu, wujud karunia rohani apa yang Paulus maksudkan untuk menguatkan jemaat di Roma ?

 

Ayat 12, Paulus menegaskan bahwa karunia rohani yang dimaksudkannya adalah karunia iman (1 Korintus 12:9). Perhatikan ucapannya, “yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku.” (BIS, “Maksud saya ialah karena kita sama-sama sudah percaya kepada Yesus Kristus, maka kita dapat saling menguatkan.”) Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di hari pertama di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) Surabaya 2006: “Pembelaan dan Perjuangan Iman (Pelayanan Apologetika Reformed)” memaparkan empat macam iman dan karunia iman diletakkan pada urutan ketiga dari keempat macam iman tersebut. Karunia iman adalah sebuah karunia pelayanan yang Allah percayakan kepada para hamba-Nya. Karunia iman yang Paulus miliki dilimpahkan dan dibagikan kepada para jemaat di Roma agar mereka pun memiliki iman di dalam pelayanan mereka. Iman di sini berarti bergantung kepada Allah atau percaya di dalam Kristus. Karena baik Paulus maupun jemaat di Roma memiliki macam iman yang sama, maka Paulus dapat menguatkan iman mereka, sehingga mereka dapat terus-menerus percaya di dalam Kristus tanpa henti. Inilah yang patut kita teladani. Sesama anak Tuhan seharusnya saling menguatkan. Hal ini bisa diartikan dua hal. Pertama, sesama anak Tuhan yang memiliki iman yang sama dapat saling menguatkan. Artinya, mungkin saja salah seorang dari anak Tuhan itu sedang mengalami kesusahan, meskipun ia juga memiliki iman yang beres, tetap saja ia membutuhkan penguatan dari kita. Itu adalah wujud kepedulian kita sebagai anak-anak-Nya di dalam pembangunan satu tubuh Kristus. Kedua, sesama anak Tuhan yang mungkin sementara waktu memiliki iman yang berbeda. Artinya, ada anak Tuhan yang sudah memiliki iman yang beres di dalam Tuhan, sementara anak Tuhan yang lain untuk sementara waktu memiliki iman yang tidak beres yang tidak di dalam Tuhan (mungkin di dalam materialisme, humanisme, dll). Maka, untuk anak Tuhan yang sudah memiliki iman yang beres wajib menguatkan iman anak-anak Tuhan lainnya yang masih belum beres, agar mereka pun boleh kembali beriman di dalam Kristus. Semua ini merupakan kehendak Paulus yang terdalam dari hatinya, tetapi apakah kehendak Paulus sesuai dengan kehendak Allah ?

 

Pada ayat 13, ternyata Allah berkehendak lain dan tidak mengizinkan Paulus mengunjungi jemaat di Roma. Hal ini nyata di dalam pernyataan Paulus, “Saudara-saudara, aku mau, supaya kamu mengetahui, bahwa aku telah sering berniat untuk datang kepadamu--tetapi hingga kini selalu aku terhalang--agar di tengah-tengahmu aku menemukan buah, seperti juga di tengah-tengah bangsa bukan Yahudi yang lain.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Saudara-saudara! Saya ingin supaya kalian tahu bahwa sudah banyak kali saya bermaksud mengunjungimu tetapi selalu ada saja halangannya. Saya ingin supaya di antaramu pun pekerjaan saya ada hasilnya sebagaimana pekerjaan saya sudah berhasil di antara orang-orang yang bukan Yahudi di tempat-tempat yang lain.” Mengapa Allah tidak mengizinkan Paulus mengunjungi jemaat di Roma? Bukankah seringkali kita suka sekali menuntut Allah untuk terus mengabulkan permintaan kita walaupun permintaan kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya? Atau mungkin juga kita berpikir bahwa bukankah kehendak Paulus itu baik yaitu mempedulikan kondisi kerohanian jemaatnya, lalu mengapa Allah tidak mengizinkannya ? Apakah ini bukti bahwa Allah itu jahat atau kejam ? TIDAK. Paulus sadar bahwa apa yang diinginkannya tidak sinkron dengan keinginan Allah, sehingga setiap kali ia berniat untuk mengunjungi jemaat di Roma, selalu terhalang/gagal. Apakah pernyataan Paulus berhenti sampai di sini, lalu ia mengeluh dan kecewa ? TIDAK. Paulus sadar bahwa kehendak-Nya lebih penting yaitu agar para jemaat di Roma berbuah. Inilah kehendak Paulus yang dikuduskan, yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah yang Berdaulat. Paulus tidak memaksa Allah mengabulkan kehendaknya, tetapi ia menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah. Itu namanya kehendak bebas (free-will) yang sejati. Kehendak bebas bukan kehendak yang tanpa batas, seenaknya sendiri, tetapi kehendak manusia berdosa yang diserahkan total kepada kehendak-Nya yang bebas sehingga kehendak-Nya dapat terlaksana melalui diri kita dan orang lain demi kemuliaan-Nya. Ketidakhadiran Paulus di Roma di dalam sudut pandang Allah mengakibatkan mereka (para jemaat di Roma) semakin giat, bertekun di dalam doa, persekutuan dan pengajaran para rasul, sehingga pada akhirnya mereka dapat berbuah. Tidak semua kehendak dan kepedulian manusia yang dianggap baik pasti juga baik menurut kehendak Allah. Seandainya Paulus diizinkan oleh Allah mengunjungi jemaat di Roma untuk waktu yang lama, maka mungkin sekali jemaat di Roma bukan semakin berbuah, malahan bergantung terus kepada Paulus (alias manja). Di sini, kita harus peka akan pimpinan dan kehendak-Nya. Maukah kita meneladani Paulus dengan menyerahkan kehendak kita yang berdosa kembali dikuduskan oleh kehendak Allah sehingga nama-Nya semakin dipermuliakan ? Marilah kita belajar memiliki kehendak pribadi yang dikuduskan oleh kehendak Allah dengan membiarkan Allah bekerja sesuai dengan kehendak dan waktu-Nya di dalam diri kita dan sesama anak Tuhan lainnya demi memperlebar Kerajaan Allah.

 

Ingatlah, jangan terbawa oleh perasaan sesat dan tergila-gila dengan fenomena, tetapi belajarlah melihat esensi di balik fenomena dari sudut pandang Allah dan membiarkan perasaan kita dikontrol oleh hati dan pikiran yang ditundukkan di bawah kehendak Allah yang kudus. Amin.

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)