Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Dua Kakak Beradik

Anak El-Shadday's picture

Kekristenan dan tradisi muslim lahir dari satu rumpun yang sama yaitu rumpun semit, rumpun anak turun Abraham (Ibrahim) yang memang sudah dijanjikan untuk menjadi banyak seperti “bintang di langit” dan “pasir di laut”. Berbeda dengan Yudaisme yang mendasarkan kepercayaan tentang “proses terpilihnya seseorang menjadi Kekasih Tuhan” dari sisi genealogis, dua agama “adik Yudaisme” ini mendasarkan proses tersebut pada adanya kesamaan Syahadah/kesamaan Credo terutama tentang masalah Ketuhanan.

Dari sinilah awal mula semangat Missi dari pihak Kristen dan Dakwah dari pihak Muslim muncul, kekristenan memang memegang teguh Amanat Agung yang diyakini oleh banyak Pengkhotbah sebagai “Detak jantungnya Tuhan” sehingga penginjilan (proses pengenalan akan kasih Kristus dengan goal mengakunya seseorang tentang Kristus yang adalah Tuhan tercapai). Di pihak muslim dakwah adalah sesuatu yang mulia, bahkan dalam salah satu riwayat Muhammad pernah mengatakan bahwa bila di akhirat kelak darah para syuhada (darah para martir) jika dibandingkan dengan tinta para Ulama’ (bisa diartikan dengan para pengajar keislaman) niscaya akan lebih mulia tinta para Ulama’ ketimbang darah para martir. Hal inilah yang membuat semangat dominion di kalangan penganut kedua kepercayaan ini amatlah tinggi. Bisa dilihat dari prosentase Agama-agama dunia maka “dua kakak beradik” ini selalu masuk Top Ten atao malah Top Two hehehehe…

Celakanya semangat dominion ini oleh beberapa orang pemeluk keduanya diartikan sebagi proses debat kusir dengan cara membandingkan dua standar yang berbeda, yang diharapkan pada akhir proses, ada pihak yang “keok” dan pada akhirnya mengakui dasar yang dipakai sebagai pembanding memiliki otoritas kebenaran yang lebih valid dan lebih shohih. Biasanya akan dimulai dengn saling mengkritisi kitab suci masing-masing pihak. Secara akal dan empiris hal ini adalah sesuatu yang sangat mustahil akan bisa menghasilkan titik temu, dapat dianalogikan bahwa seperti dua sisi rel, keduanya selamanya tidak akan pernah ketemu karena dasar pemikiran dan dasar pemahaman keduanya sangatlah jauh berbeda.

Dari pihak muslim memang secara teologis mengakui Taurat yang diturunkan kepada Musa (TENAKH tapi yang di yakini hanya “T”-nya aja hehehe) dan Injil yang diturunkan kepada Isa adalah kitab suci, tetapi keduanya, menurut keyakinan mereka telah mengalami distorsi dari makna aslinya. Contoh kasus yang paling getol diangkat adalah masalah “Sang penghibur” dalam Injil Yohanes yang oleh pihak muslim ngotot ditafsirkan bahwa “sang penghibur” tersebut adalah penunjukan secara langsung kepada Ahmad (nama kecil Muhammad) yang kalo ditelusuri, menurut mereka, memiliki makna yang agak nyerempet dengan Pireclatos.

Memang kalo hanya ngotot dengan penafsiran masing-masing pihak, ga akan ada akhirnya, karena pada dasarnya Teks Kitab Suci adalah teks yang terbuka untuk siapa saja menafsirkan, dan dengan alam semaju dan sedemokratis sekarang sangatlah tidak mungkin untuk memonopoli penafsiran, apalagi jika penafsiran tersebut hanya untuk pemakaian pribadi, dalam arti lain tidak terlembaga secara besar. Seperti halnya masalah baptis anak yang menurut hemat aku adalah disebabkan oleh perbedaan penafsiran. Dalam tradisi Islam sendiripun ada kasus yang sama (perbedaan penafsiran) yaitu masalah persentuhan antara pria dan wanita setelah berwudhu (proses penyucian diri dengan air sebagai syarat dari sahnya sholat), mazhab Syafii (di Indonesia banyak dianut oleh nahdliyyin (NU)) dan mazhab Hanafi memiliki perbedaan penafsiran pada kata “Laa Yamassuhu”, pihak syafii mengartikan kata tersebut dengan bersentuhan secara harfiah, namun hanafi mengartikannya sebagai “bersentuhan” dalam arti konotatif (bersetubuh). Dan sudah berabad-abad hal-hal tersebut tidak pernah memiliki titik temu.

Belajar dari contoh-contoh di atas, sebenarnya gaya penundukan “wilayah”/pelebaran dominion dengan cara membenturkan dua dasar yang berbeda, relatif kurang bisa menghasilkan hasil yang maksimal. Malah akan semakin menimbulkan resistensi. Pelebaran dominion akan sangat masuk akal jika dilakukan dengan proses penundukan pengetahuan dan ekonomi (jadi ingat transliterasi Revised Standar Version dan American Standar Version tentang Hosea 4:6). Tapi memang hal ini agak sulit dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terkenal dengan mental “juragannya”, mental yang mau bekerja tetapi ga mau “ngoyo”,.. Memang lebih mudah untuk beli buku-buku kristologi atau islamologi, atau kalo masih males juga, bisa googling di internet tentang masalah-masalah tersebut, pake sebagai bekal untuk “ngebom” dasar keyakinan pihak lain untuk memuaskan hasrat dominion yang sudah di ubun-ubun, daripada bekerja keras meningkatkan taraf pengetahuan dan memperbesar kapasitas keterampilan serta meningkatkan nilai tawar ekonomi. Jadilah orang-orang model chalatraz yang dengan semangat 45-nya sibuk membenturkan Alkitab dan Alquran, tetapi yang “dapurnya” masih menjadi tanda tanya besar hehehehehe……………

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....