Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Dengarlah pasir berbisik

Purnomo's picture
Bagaimana seseorang memotivasi diri berjuang menumbuhkembangkan hidup rohani dan karir pelayanannya? Membaca biografi para rohaniawan kaliber nasional dan internasional tidaklah salah. Juga mendengar kotbah-kotbah mereka akan memberi inspirasi dan semangat baru. Mereka bagai bintang-bintang yang bisa menjadi kompas langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan. Tetapi bila leher kita sudah kena encok karena kelamaan menengadah ke atas sementara kaki belum juga bisa melangkah, mengapa kita tidak sejenak menundukkan kepala melihat pasir di tanah? Butir-butir pasir yang selama ini tidak pernah kita perhatikan karena terlalu kecil dan di bawah letaknya.
 
Setiap hari ia berkeliling kampung menjajakan kue. Perempuan tua ini ramah, terlebih lagi kepada anak-anak. Hari Minggu ia juga berkeliling kampung tetapi tanpa membawa kaleng kuenya. Ia membujuk anak-anak pelanggannya ikut bersamanya ke Sekolah Minggu di sebuah rumah. Orang-orang tidak kuatir ia membawa anak-anaknya karena telah mengenalnya. Di perjalanan ia membagi uang receh kepada anak-anak itu agar mereka tidak malu bila kantong persembahan diedarkan. Waktu kebaktian berlangsung, ia duduk menunggu di luar. Waktu pulang anak-anak diberi soft drink dalam kantong plastik kecil yang dibelinya di toko dekat pos SM itu. Satu botol dibagi menjadi beberapa kantong plastik. Suatu saat ketika ia melintasi rumah saya, saya memanggilnya. Saya membeli kuenya karena ingin menanyainya tentang kegiatannya itu.
 
 “Ibu dibayar berapa oleh guru-guru Sekolah Minggu?” saya bertanya.
Ia terkejut. Ada rasa heran di wajahnya. “Ya tidak dibayar. Ini ‘kan mau-mau saya sendiri.”
“Mengapa Ibu mau mengantar-jemput anak-anak itu?”
“Saya kasihan sama anak-anak. Ada yang cerita tidak mau ke Sekolah Minggu karena dinakali anak kampung lain.”
“Apa tidak sayang membagi uang kepada anak-anak? Membelikan mereka minum waktu pulang ‘kan juga mengurangi uang tabungan Ibu?”
“Ndak banyak kok. Lagi pula itu ‘kan uang Tuhan yang dititipkan saya tiap hari.”
“Setiap Natal saya tahu gereja di mana Sekolah Minggu itu bernaung, memberi bingkisan kepada jemaatnya yang merelakan rumahnya untuk Sekolah Minggu. Tetapi, maaf ya, untuk orang yang mengantar-jemput anak-anak Sekolah Minggu apa gereja itu juga memberi bingkisan Natal?”
“Saya tidak mengharap apa-apa dari gereja. Saya sudah senang nama saya dicatat di surga.”
“Mengapa Ibu tidak membantu mengabsen anak, memimpin doa persembahan biar nama Ibu bisa dicatat sebagai pembantu guru Sekolah Minggu?”
 “Hehehe, bisa saya cuma mengantar anak-anak kok disuruh macam-macam. Mana bisa?”
 

Konsep pelayanan yang bisa diseminarkan berhari-hari, disederhanakannya tanpa kehilangan esensinya. Kegiatan ini dilakukan karena namanya sudah dicatat di surga. Ia mengerjakan dengan kemampuan yang ia miliki, bisa saya cuma mengantar anak-anak. Ia membiayai sendiri pelayanannya, karena itu kan uang Tuhan yang dititipkan saya tiap hari.
 
Ia melakukan pekerjaan yang sangat sederhana, tidak bergengsi, sehingga dihindari oleh para aktivis gereja. Tetapi ketulusannya dalam mengerjakannya membuat “roti jelai” itu sampai di tangan Tuhan dan kemudian menjadi berkat bagi banyak orang. Bagaimana saya tahu?
 
Tahun lalu saya datang menjenguk kampung bekas tempat tinggal saya ini karena mendengar penghuninya resah. Pemilik rumah-rumah sewa itu berencana mengusir mereka tanpa ganti rugi. Saya ingin mengetahui sejelas-jelasnya masalah itu. Mungkin saya bisa membantu mereka. Seorang bekas tetangga saya, perempuan tua, menceritakan peristiwanya. Saya menyimak ceritanya kalimat demi kalimat dengan teliti. Bukan untuk mengoreksi tata bahasanya, tetapi menunggu keluarnya perbendaharaan kata-kata kotor dan cabul yang dulu selalu menghiasi setiap kalimat yang diucapkannya. Itu sesuatu yang sangat lumrah di perkampungan ini, seperti halnya bermain black magic. Pernah di siang hari saya melihat seorang perempuan bertelanjang dada menjerit-jerit ketakutan. Dia memukuli dadanya dengan dua tangannya yang menggenggam batu bata. Dadanya berlumuran darah tetapi ia tak kuasa menghentikan gerak tangannya yang tak terkendali itu. Dan perempuan yang sedang bercerita ini dulu tinggal di sebelah rumah saya. Pada suatu siang hari saya melihat ia kesurupan dan berteriak-teriak seperti orang gila dengan suara lelaki.
 
Perempuan ini mengakhiri kisahnya dengan pernyataan kepasrahannya kepada Tuhan Yesus. Saya terkejut ketika ia menyebut Nama ini sementara satu kata makian tidak muncul sepanjang kisahnya. Padahal seorang anak lelakinya akibat suatu penyakit matanya telah buta selama beberapa tahun dan sampai saat itu belum juga sembuh.
 
Saya telah mendengar adanya persekutuan doa mingguan di kampung ini. Tetapi saya tidak menyangka perempuan yang dulu saya kenal mulutnya paling jahat ini sekarang bisa menyebut nama Tuhan Yesus dengan rasa hormat. Tahukah Anda siapakah yang pertama kali menyelenggarakan persekutuan doa di kampung ini? Dia adalah seorang dari gerombolan anak-anak yang setiap Minggu digiring perempuan penjaja kue itu ke Sekolah Minggu. Dia pulalah yang meminta saya datang menjenguk mereka.
 
Dalam perjalanan pulang saya mencoba mengingat wajah ibu penjaja kue itu. Tidak ada seorang pun yang mengira pekerjaan yang begitu sederhana, yang dilakukannya dengan senyap, setelah sekian belas tahun membuahkan hasil yang membuat orang tercengang. Apa yang dilakukannya seperti seorang yang meletakkan batu-batu di tengah sungai. Batu-batu itu tidak terlihat karena tenggelam dalam air. Tetapi di atasnya orang lain meletakkan batu-batu yang lain yang akhirnya membentuk tiang beton kokoh menyanggah sebuah jembatan. Ia telah meletakkan batu-batu yang menjadi pondasi sebuah bangunan yang megah.
—o—
Bercita-cita menjadi aktivis gereja dengan bidang pelayanan yang megah tidaklah salah. Bahkan harus. Yang salah adalah keinginan itu sampai sekarang masih saja berupa “cita-cita”. Mengapa? Karena kita tidak punya “modal” yang diperlukan. Inilah sebab pertama mengapa seseorang tidak bisa ikut pelayanan. Ia keasyikan bermimpi menjadi aktivis “kelas bintang” dan haram menjadi aktivis “kelas pasir”.

 
Jujur sajalah, siapa yang tidak ingin menjadi pendoa-pembawa-mukjizat-kesembuhan? Saya sendiri ingin sekali begitu selesai mendoakan orang sakit, Haleluya, ia sembuh. Tetapi itu butuh modal 1000 talenta sementara di bidang ini saya tidak punya 1 talenta. Malah mungkin hanya 2 peser saja, cuma bisa berdoa biasa. Saya sering minder bila melawat orang sakit keluarga pasien berkisah beberapa pendeta top dari berbagai denominasi sudah datang mendoakannya. Nah, kalau sudah begini mana berani saya berdoa. Saya pamitan tanpa berdoa. Tetapi anehnya mereka mengomel, “Masa pergi tanpa mendoakan yang sakit.” Biar kita tidak pernah lancar berdoa, si sakit sangat berterima kasih bila kita mau melakukan untuknya. Ada yang menangis ketika teman-teman remaja anaknya datang menjenguk dan berdoa untuknya. Doa itu begitu singkat dan sederhana tetapi memberi penghiburan yang besar. Walau hanya 1 peser, walau hanya sebutir pasir, jangan disimpan menunggu Tuhan menambahi. Manfaatkanlah sekarang. Bila kita menghargai milik kita yang “tidak seberapa” itu, Tuhan berjanji akan menambahinya.
—o—
Sebab kedua adalah, ada yang memilih pasif karena talenta yang dimilikinya tidak punya wadah di gereja. Seorang pemuda pintar main gitar. Tetapi gerejanya tidak memiliki asembel musik sehingga ia bisa ikut main di situ. Alat musik dalam kebaktian adalah keyboard. Gitar hanya dipergunakan di persekutuan KTB pada hari Selasa, tetapi ia tidak bisa ikut karena harus bekerja sampai malam. Main gitar di kelas Sekolah Minggu ia tidak bisa, karena pagi hari ia harus mencuci pakaian kotor yang ditabungnya selama seminggu. So what? Apakah ketrampilannya ini bisa menjadi talenta, yang menurut saya adalah sebuah ketrampilan yang dipergunakan untuk kemuliaan Nama Tuhan? Hari Minggu malam di rumah ia memberi kursus gitar gratis kepada teman-temannya yang aktif di KTB. Apakah namanya tercatat oleh gereja sebagai aktivis? Pasti tidak. Tetapi ia telah berlaku seperti Barnabas yang diam-diam mendukung pekerjaan Paulus.
 
Seorang wanita muda tidak tahu apa yang harus dipersembahkannya untuk Tuhan selain ikut mengisi kantong kolekte. Ikut paduan suara gereja tidak mungkin karena ia tidak suka menyanyikan lagu yang sulit-sulit. Mengajar Sekolah Minggu, ia tidak minat. Bisanya hanya menata rambut dan merias wajah. Dan memang itu yang menjadi sumber nafkahnya. Ia membuka salon kecantikan di rumahnya. Suatu ketika ia meminta Komisi Dewasa memberinya kesempatan mengadakan kegiatan potong rambut di gereja pada hari Senin untuk anggota gereja dengan biaya murah. Hasil yang terkumpul untuk kas Komisi. Dalam rapat Komisi ada yang menolak karena “dia bisa tetap buka salon hari Senin di rumahnya dan nanti seluruh hasilnya untuk Komisi.” Tetapi akhirnya rapat menyetujui adanya kegiatan ini karena tujuannya lebih kepada menolong jemaat daripada mengisi kas Komisi.
—o—
Sebab ketiga adalah jadwal kegiatan di gereja tidak sesuai dengan waktu luang yang dimilikinya. Sering saya mendengar orang berkata “Saya ingin sekali ikut tim pelawatan jemaat. Tetapi jika kegiatan itu dilakukan pagi hari, saya tidak bisa karena saya harus bekerja. Apa tidak ada pelawatan malam hari?”
 
Mengapa harus tergantung pada jadwal gereja? Pelayanan tidak harus berada dalam organisasi gereja, karena pelayanan boleh dilakukan secara individu. Hanya saja, ini yang sering jadi ganjalan, di luar organisasi semua harus dibiayai sendiri. Tidak ada pembagian baju seragam, tidak ada fasilitas transportasi, tidak ada makan siang gratis, tidak dikenal para petinggi gereja. Tetapi Ibu penjaja kue itu berkata, “itu kan uang titipan Tuhan yang saya terima tiap hari.
 
Saya sering melakukan pelawatan seorang diri karena waktu luang saya tidak menentu. Lagi pula menurut saya orang yang dilawat lebih bisa curhat bila yang datang satu atau dua orang saja, dibandingkan bila yang datang 1 kompi. Biar saya bukan pendeta atau majelis gereja, yang dilawat merasa senang karena ada yang menyambanginya. Buktinya? Waktu pulang banyak kantong plastik bergantungan di sepeda motor saya. Oleh-oleh. Roti, gorengan, jajan pasar, permen, es mambo dan sejenisnya. Saya mampir ke kantor gereja untuk memberi informasi yang menurut saya harus ditindaklanjuti oleh pengurus gereja. Karyawan TU juga saya bagiin oleh-oleh itu. Bukannya berterima kasih, mereka malah mengomel, “Kamu ini melawat atau merampok?”
 
Saya mengenal seorang yang tinggal di sebuah kampung yang senang gaul dengan anak-anak. Ia tidak bisa datang ke Sekolah Minggu karena ia punya kesibukan sendiri pada jam kebaktian SM. Dorongan minatnya ini membuat ia mengumpulkan anak-anak di kampungnya pada Rabu malam untuk sebuah persekutuan anak-anak. Acaranya? Nyanyi-nyanyi dan cerita. Karena ia tidak mempergunakan buku pedoman yang resmi, ya arah ceritanya lebih banyak berupa pembinaan moral dan karakter. Orang-orang kampung mendukungnya dengan memberi sirup dan makanan kecil karena melihat anak-anak nakal dan kurangajarnya berkurang. Pernah menjelang Natal saya datang ke rumahnya. Bersama para tetangganya ia sedang sibuk menyiapkan panggung pertunjukan di halaman rumahnya. Di rumah sebelah anak-anak sedang berlatih sandiwara. Wow, nggak kalah ribetnya dengan yang diadakan di gereja. Padahal di kampung itu hanya ada beberapa keluarga Nasrani saja. Saat itu saya berpikir “ini hanya kegiatan hura-hura orang yang tidak punya kerjaan.” Bagaimana tidak? Persekutuan ini tidak bernaung di bawah sebuah gereja dan misi penginjilan tidak pernah digarap dengan serius. Dua puluh tahun kemudian ketika mengurus perpanjangan SIM saya bertemu dengan seorang mantan asuhannya. Ia bercerita sekarang 90% penduduk kampung itu sudah ikut Tuhan Yesus. Dan itu berawal dari kegiatan “orang yang tidak punya kerjaan” itu.
—o—
Sering orang tidak berminat mengerjakan pekerjaan rendahan dalam kegiatan pelayanan karena tidak punya pamor, tidak punya greget, seperti tak ada manfaatnya sama sekali. Hanya sebutir pasir, apalah gunanya?

Lihatlah menara bangunan gereja Anda. Di puncaknya tergantung sebuah genta. Lalu pandanglah tiang beton yang menyanggahnya. Di dalamnya ada banyak butiran pasir yang tak terbilang, menyatu menjadi tiang penopang yang kokoh. Mereka tidak bisa berdentang nyaring seperti lonceng yang mereka topang. Karena itu lekatkanlah telinga Anda ke tiang penopang itu. Dengarlah pasir-pasir itu berbisik mengisahkan bagaimana mereka dengan senyap namun penuh sukacita membelanjakan uang peser yang Tuhan anugerahkan kepada mereka. Pasir-pasir yang tidak pernah kita perhatikan itu, berkilauan bagai permata di mahkota Tuhan.
 
(the end)
 
** gambar diambil dengan google sekedar ilustrasi.

 

Samuel Franklyn's picture

Indah. Satu lagi masterpiece yang berharga

Indah. Satu lagi masterpiece yang berharga. Terima kasih telah menuliskan hal ini.

unyil's picture

@Purnomo; inspirasi

Terima kasih buat inspirasi yang mengingatkan.

__________________

Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan.

Purnawan Kristanto's picture

Ini lho contohnya.....

Kalau ada orang yang sembarangan menuduh bahwa Sabdaspace itu isinya hanya orang yang tolol, bodoh, dan tidak menghormati Allah, sebaiknya dia membaca tulisan ini. Dia perlu segera mengeluarkan "balok amarah" di matanya supaya bisa menyaksikan kemilau mutiara yang ada di tulisan pak Purnomo ini.  


 www.purnawan.web.id

__________________

------------

Communicating good news in good ways

yasmeen's picture

@Purnomo

Segala kemuliaan bagi Dia yang memampukan Pak Purnomo menulis ini.

such a beautiful and touching reminder... thanks!  Jbu.

 

Rusdy's picture

+1

Ngejempol

wkusuma's picture

Sebuah sharing yg membuka inspirasi baru..

sebuah sharing yg luar biasa pak purnomo.. sangat memberkati dan memberikan banyak inspirasi baru untuk melayani dan memberkati...

membuka ide dan inspirasi  baru bahwa banyak cara untuk membalas kasih anugrah Tuhan yang sudah Dia berikan....

-Ev.wKusuma-

__________________

-Ev.wKusuma-

maria_esy's picture

@bung purnomo:butiran pasir yang menjadi berkat

butiran-butiran pasir yang menjadi mutiara. Kesaksian hidup yang memberkati banyak orang dan menjadi inspirasi dalam melayani...

salam. 

__________________

Maria