Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cuma Kesan *)

y-control's picture

Ada persamaan antara film yang baru saya lihat (Babel) dan berita TV selama dua hari terakhir ini. Babel adalah film dengan banyak alur yang saling berkaitan seperti yang bisa dilihat juga dalam film Crash. Film tersebut memotret keegoisan dan perilaku paranoid Amerika. Garis utama kisahnya adalah kejadian ketika seorang turis Amerika terserempet peluru yang tanpa sengaja ditembakkan oleh seorang anak penggembala di Maroko. Dan anda pun bisa menebak bahwa media dan pemerintah negeri itu langsung mengklaim hal tersebut sebagai sebuah serangan teroris dan seluruh dunia pun dipaksa untuk terlibat dan memikirkannya.

Sementara itu, selama beberapa hari ini atau terutama kemarin, berita di semua stasiun TV nasional juga menunjukkan hal yang serupa, meski dalam skala lokal. Bukannya saya tidak bersimpati dengan musibah banjir dan korban yang berjatuhan akibat kejadian tersebut, namun saya kok merasa bahwa kemarin semua stasiun TV tiba-tiba menjadi stasiun TV daerah Jakarta saja. Seakan tidak ada berita lain di Indonesia ini yang juga sama pentingnya dengan banjir musiman yang terjadi di sebagian ibukota.

Walaupun begitu, rasanya ada juga perbedaannya antara Jakarta dan Amerika tadi. Bedanya mungkin adalah bahwa upaya untuk menanggulangi kesusahan di Jakarta tidak sampai mengorbankan kepentingan penduduk di daerah lain, kerugiannya mungkin 'cuma' pada tersisihnya pemberitaan tentang korban-korban bencana (alam atau buatan manusia) di daerah lain. Sedangkan di film Babel itu, terlihat bahwa cukup banyak warga tak bersalah di negara lain yang harus dikorbankan demi menolong korban, atau lebih tepatnya bukan menolong tapi mencari siapa yang salah dalam peristiwa peluru nyasar itu. Mungkin ada yang merasa saya tidak adil karena memakai acuan film fiktif untuk menyerang satu pihak. Namun, anda tentu ingat kasus penembakan warga AS pegawai Freeport di Papua, atau WTC/911, atau basket NBA, atau yang paling jelas tentunya adalah infotainment Hollywood (yang juga ditiru infotainment negara kita). Tentu saya percaya sudah banyak yang tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Makanya saya juga tidak mau berpanjang-panjang. Secara menyebalkan membahas sesuatu yang kita benci, yang jelas, saya masih membenci what so called 'American Ways', tapi dengan cara yang cerdas.    

 *): maaf jika tulisan ini terkesan 'pretensius'

Daniel's picture

ironisnya

Ironisnya, salah satu pemicu refleksi tentang "American Ways" ini adalah juga sebuah film Hollywood yang notabene adalah bagian dari "American Ways" itu sendiri. Apakah bisa ditafsirkan, setidaknya, orang Hollywood lebih mampu mengritik diri sendiri? Bagaimana dengan film Indonesia?
y-control's picture

jawaban ironis

Wah, kalo film indo kayaknya malah lebih amrik daripada film hollywood sendiri ya... Wong Ekskul aja film terbaik hehe.. Sebenarnya Babel ini juga bukan favorit saya. Kalo film dengan plot ga urut kayak gini, favorit saya masih Pulp Fiction.

Tapi ngomong-ngomong soal ironis, ironisnya Wink , meski film dan media amerika (modern) memang banyak yang kelihatannya kritis dengan pemerintah dan 'american ways' itu, saya rasa hal tersebut masih belum menimbulkan goncangan berarti (apalagi revolusi atau reformasi) untuk cara pandang dan terutama politik mereka. Bukti yang gampang misalnya adalah bahwa selama ratusan tahun presidennya blm pernah keluar dari rumus WASP (white anglo saxon protestant, mgkn jg ditambah male). Untuk yang ini barangkali negara kita malah lebih dinamis; presidennya pernah kiri/kanan, laki/perempuan, jawa/non-jawa dsb.

Lalu, meski 'kebebasan' mengkritik mungkin ada bagusnya, dan hal itu juga sering diklaim sebagai bukti demokrasi (ala Amrik), saya juga harus melihatnya secara menyeluruh. Bahwa mayoritas dari mereka sangat bangga dengan 'demokrasi' dan American waysnya itu adalah satu hal yang susah disangkal. Dan ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang percaya bahwa seluruh dunia harus mengadopsi hal itu sehingga mereka pun seringkali memaksakan 'demokrasi' tsb ke bangsa yang belum tentu cocok dengannya (seperti di Doktrin Monroe ala Roosevelt atau juga Manifest Destiny nya), yang lebih ironis lagi, kalau perlu dengan kekerasan. Tapi, mungkin sejak Amerika menang PD II, orang makin bisa melihat bahwa upaya 'menyebarkan demokrasi' itu makin kentara kalau lebih dilatarbelakangi oleh motif ekonomi ketimbang motif lainnya...

Aduh ini kok ngomongnya sampe jauh-jauh sih.. Pulang dulu ah, terima kasih atas komennya Laughing

Josua Manurung's picture

presiden kita...

hanya menanggapi saja... presiden kita belum pernah ada yang Kristen/Katolik/Budha/Hindu... minoritas tetap ada... Viva Indonesia. TUHAN Memberkati.
__________________

BIG GBU!