Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cap Kening

anakpatirsa's picture

Stereotip -- sebuah istilah baru bagiku. Lebih akrab dengan istilah sederhananya -- cap negatif. Sebuah cap yang sudah lama menempel di keningku. Juga cap seperti ini, cap yang hampir sama, selalu kutempel kesetiap kening orang yang kutemui. Aku punya banyak persediaan cap, ada cap Batak, cap Sunda, cap Jawa, cap Manado, cap Ambon, cap Bugis, dan berbagai jenis cap lainnya.

Stereotip, orang 'akademis' mendefinisikannya sebagai sebuah gambaran mental yang dipegang oleh sekelompok orang terhadap sekelompok orang lain, mewakili pendapat yang terlalu dilebih-lebihkan, penuh praduga serta penilaian yang berat sebelah.

Stereotip suku, orang 'akademis' mengatakannya sebagai cap terhadap sebuah kelompok, kadang-kadang memang mengandung sedikit 'benang tipis' kebenaran, tetapi benangnya menjadi tebal sehingga benar-benar dipatok rata untuk keseluruhan kelompok.

Akademis ataupun tidak, aku tadi berkata tentang cap jelek yang selalu menempel di keningku. Cap itu sudah menempel karena aku lahir dari sebuah suku yang namanya membuat orang berkata: "Benar kamu orang Dayak? Orang Dayak di sana tidak pakai baju ya?"

Orang Dayak, sepertinya yang terlintas dalam benak beberapa orang adalah pemalas, terasing, beringas, galak, bodoh, terbelakang, sedikit polos, dan lain-lain. Begitu kuatnya cap ini melekat di dahiku, sehingga jika ada orang Dayak di perantauan ini yang terlalu rajin atau sedikit licik, aku akan bertanya-tanya, apakah ia Dayak asli. Lalu jika ada orang Dayak yang menurutku tidak bersifat Dayak, aku akan berkata dalam hati, "Pasti orang ini Melayu atau Dayak campuran!"

Stereotip, orang 'akademis' berkata "...kadang-kadang memang mengandung sedikit 'benang tipis' kebenaran." Lalu tentang 'orang Dayak terasing', jadi ingat pendetaku yang orang Batak. Ia bercerita tentang masa kecilnya di Sumatera. Jika di Jawa ada topeng monyet, maka di Sumatera ada "orang Dayak." Bila topeng monyet itu orang Jawa yang keliling kampung mempertontonkan monyet yang bisa menari, maka di Sumatera ada orang entah orang apa membawa orang Dayak yang bisa menari atau melompat. Kalau orang Jawa menghibur anaknya dengan berkata, "Ayo kita lihat topeng monyet!", maka di sana, di Sumatera seorang ibu berkata, "Ayo kita lihat orang Dayak."

Tetapi, dari ciri-ciri yang bisa diceritakan oleh pendetaku, aku tahu itu bukan orang Dayak.

Orang Dayak beringas? Apa yang terjadi waktu kerusuhan itu membuatku tidak mau membahasnya. Ada sebuah kebudayaan yang sejak tahun 1894 diputuskan untuk dibuang. Pada pertemuan yang dilaksanakan di hulu sungai tempat kami mandi, kebiasaan saling memotong kepala secara resmi dilarang di kalimantan yang waktu itu masih bernama Borneo. Walaupun demikian, sisa-sianya masih ada, kalau ada jembatan besar dibangun, kami selalu berhati-hati, karena jaman dulu selalu ada beberapa kepala untuk menumpu tiang jembatan.

Orang Dayak pemalas? Aku juga tidak punya pendapat apa-apa.

Orang Dayak bodoh, terbelakang? Mungkin! Entah darimana cap jelek ini datang. Masalah terbelakang, beberapa kali aku masuk hutan, hanya bisa menahan senyum melihat beberapa antena parabola keluar mencuat dari gubuk-gubuk sederhana di ladang; Orang Dayak suka televisi? Aku mendukungnya.

Masalah gaya? Begitu terpencilnyakah orang Dayak sehingga sebuah operator telepon selular bangga, saking kuatnya sinyal mereka, seorang yang terlempar ke pedalaman Kalimantan masih mendapat sinyal di ponselnya? Sebenarnya mereka tidak perlu bangga, jangan heran seorang bapak setengah baya dengan ransel rotan di punggung dan parang di tangan, naik ke atas bukit hanya untuk mendapatkan sinyal yang lebih kuat.

Kami tidak ketinggalan teknologi, itu pasti. Ketinggalan pola pikir? Aku cuma bisa mengangguk kecil dengan bibir tersungging.

Sebenarnya bukan cuma ada stereotip orang Dayak. Katanya orang Jawa sulit ditebak isi hatinya, orang Bugis menusuk dari belakang, orang Madura suka menguasai tanah yang bukan miliknya, orang Manado suka pesta dan makan, orang Ambon mengandalkan otot ketimbang otak, dan kembali ke orang Dayak, orang Dayak pemalas. Pertanyaan sekarang apakah semuanya bisa dipukul rata?

Tetapi, mengakuinya atau tidak, kita harus menerima kenyataan, hampir semua etnis memiliki stereotip dari etnis lain, cap yang tidak baik. Sekali lagi, mungkin saja cap itu keliru, tetapi akuilah kenyataan ini ada di negeri kita dan kita hidup di dalamnya.

Dari pengalaman sendiri, aku menciptakan 'stereotip' untuk beberapa suku yang kukenal, orang Jawa kalau makan selalu pakai kerupuk, orang Manado dan orang Batak kalau makan selalu mencari sambal; sama-sama sambal pedas, tetapi cewek Manado lebih suka sambal dari pada cewek Batak. Lalu orang Ambon suka berkumpul sambil menyanyi-nyanyi sehingga beberapa pemilik kost membatasi jumlah orang Ambon di kostnya.

Orang-orang yang mendapat 'stereotip' ini kadang-kadang bertanya kepadaku, "Kenapa sih kalian orang Dayak itu tidak begitu suka berkumpul sesama kalian?" Sebuah pertanyaan yang juga menciptakan stereotip baru, "orang Dayak di perantauan pura-pura saling tidak kenal."

Aku sedikit terhibur ketika beberapa orang berkata kepadaku tentang 'stereotipe lain' orang Dayak. Katanya orang Dayak itu pemalu, selalu menerima pendatang dengan tangan terbuka, suka menolong, tidak terlalu pusing memikirkan pengumpulan uang, kadang-kadang memilih berbisnis dengan barter -- menjual sesuatu dengan bayaran kopi, gula, garam ataupun sebungkus rokok.

Stereotip memang selalu ada dan telah melekat kuat di keningku. Aku kesulitan untuk tidak menerima kenyataan bahwa orang Batak suka blak-blakan, orang Jawa lebih suka menjaga perasaan, orang Madura dibentuk oleh alam yang keras, dan kembali ke orang Dayak, kami telah dimanjakan oleh alam.

Aku telah hidup di dalam sebuah stereotip, dididik supaya hati-hati terhadap suku lain, bahkan sesama orang Dayak dari sub suku lain. Sebelum masuk sekolah aku telah mendengar cerita tentang suku tetangga yang suka meracuni tamu, juga kakak-kakak perempuanku harus menghindari sebuah sub suku karena katanya pria suku ini suka main pelet.

Stereotip, cap itu ada di keningku. Juga cap yang sama aku pasang di kening siapapun yang kutemui. Cap yang sesuai untuk masing-masing orang.

Rusdy's picture

'Cap' Kristen

Mudah-mudahan (hanya karena kasih Tuhan semata), ketika orang lain men-'cap' orang Kristen, yang mereka lihat adalah orang yang penuh kasih dengan sesama; kasih yang menunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya, satu-satuNya yang layak disembah ;)
Puput Manis's picture

Sabda Space Jadi Komsel di Dunia Maya

Setuju dengan Rusdy,

Kita yang mengaku Kristen jangan sampai mempermalukan Tuhan kita dan mempermalukan diri sendiri dengan saling menyerang dan saling menghakimi satu sama lain. Ini benar-benar serius.

Saya sangat berharap Sabda Space benar-benar bisa jadi Komunitas Blogger Kristen yang menyejukkan dan terasa banget nuansa encouragement-nya (apa ya bahasa Indonesianya yang benar?). Pokoknya di Sabda Space ini kita bisa kompak, saling mendoakan, saling menasehati, saling menguatkan, saling mendukung, saling asih asah asuh.

Kita orang-orang Kristen modern yang sibuk dan mobile, sangat memerlukan Komsel (Komunitas Sel) di dunia maya seperti ini. Jadi pasti sangat indah kalau Sabda Space bisa jadi Komsel di dunia maya buat kita-kita semua.

Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,

__________________

Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,