Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

BERSUKACITALAH dengan orang yang bersukacita

Purnomo's picture

          “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15). Salahkah saya bila pada saat yang sama harus hadir di acara pemakaman dan pesta pernikahan saya memilih yang terakhir? Dua acara itu sama-sama membutuhkan biaya 50 ribu rupiah sebagai uang sumbangan (nah loe, ketauan pelitnya), tetapi imbalannya beda. Di acara pemakaman saya mendapat suguhan kacang dan air mineral saja sedangkan di pesta pernikahan saya mendapat mamimu (makan-minum-murah). Bagaimana tidak murah bila saya datang bersama istri serta anak-anak saya?


           Tetapi apakah bila saya tidak dihadapkan pada 2 acara pada waktu yang bersamaan saya senang “menangis dengan orang yang menangis”? Hehehe, saya berusaha mencari alibi untuk tidak duduk di samping orang yang sedang berduka. Susah, jengkel dan bingung sendiri mendengar orang menggerutu, protes dan mempertanyakan keadilan Tuhan atas kematian suaminya. Pernah karena tak tahan saya mengoreksi pendapatnya. Apa yang terjadi? Dia marah dan jarinya menuding saya, “Ngomong gampang. Kamu baru bisa mengerti penderitaanku kalau besok kamu mengalami sendiri.” Nah, pake disumpahi segala.

           Untuk kasus ringan saja, misalnya teman yang stres berat berhari-hari karena putus cinta, juga bukan hal yang nyaman duduk di sampingnya. “Wajahku memang jelek. Otakku memang tidak jenius. Gajiku masih di bawah UMR. Tetapi mengapa tidak dari dulu dia katakan waktu aku minta dia jadian sama aku?”
           “Sudahlah, dunia tidak selebar daun kelor.”
           “Betul. Tapi modalku tinggal celana kolor. Semua tabunganku sudah aku habiskan untuk menyenangkannya.”
            Cinta pertama memang sering membuat orang bodoh sekonyong-konyong.

           Jadi, mau lebih memilih untuk “bersukacita bersama dengan orang yang bersukacita” karena lebih menyenangkan? Pasti dong. Bergegas kita akan mengantar bingkisan sebagai ucapan selamat kepada tetangga yang dipromosikan menjadi dekan agar kelak bila anak kita masuk ke fakultasnya dapat diskon. Segera kita mengucapkan selamat kepada teman yang orang tuanya baru saja mengganti sepeda motornya dengan mobil seharga 500 juta rupiah dengan harapan ia ingat untuk mengajak kita jalan-jalan dengan mobil barunya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa hal yang setiap orang bisa dan dengan senang hati melakukannya ditulis sebagai Firman Tuhan? Sebodoh-bodohnya orang pasti tahu “kewajiban” ini, bukan? Tabur-tuai istilah teologisnya. Timbal-balik istilah gampanglogisnya.

           Dua kata sukacita dalam kalimat “bersukacita bersama dengan orang yang bersukacita” dalam bahasa aslinya ditulis dengan kata khara – sukacita yang muncul bukan dikarenakan melihat adanya imbalan. Sukacita khara adalah sukacita yang berasal dari Tuhan sendiri, yang merupakah buah Roh (Galatia 5:22), yang tidak berbeda dengan sukacita yang tertulis dalam Mazmur 30:11-12 “Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita, supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu.”
                      
           Dengan demikian jelaslah Tuhan memerintahkan kita dengan sepenuh hati ikut bersukacita terhadap teman yang bersukacita karena memenangkan beasiswa ke luar negeri sementara kita gagal mendapatkannya padahal aikiu kita lebih tinggi daripadanya. Kita ikut bersukacita melihat teman bersukacita karena sudah punya jadian sementara kita masih saja ngejomblo padahal soal penampilan kita jauh lebih kinclong. Kita ikut bersukacita melihat rekan sekerja bersukacita karena dipromosikan menduduki jabatan yang ada di atas kita padahal gelar akademis kita berderet lebih panjang daripadanya.

           Dan kita hanya boleh bersukacita khara dengan mereka yang sedang bersukacita khara pula. Jika teman sedang bersukacita karena berhasil mengutil uang gereja atau memenangkan nomor buntutan, tak boleh kita ikut bersukacita.

           Ternyata menemani bersukacita tidak kalah sulitnya dengan menemani menangis. Karena tingkat kesulitan inilah Paulus mempergunakan kata khara yang dekat dengan kata kharis (anugerah), sesuatu yang harus diminta dari Allah Roh Kudus karena tidak bisa kita mengusahakannya sendiri. Dan mereka yang sanggup menemani orang lain bersukacita juga sanggup menemani orang lain menangis karena kedua pelayanan ini membutuhkan satu pijakan yang sama, yaitu ungkapan rasa syukur atas anugerah keselamatan yang telah Tuhan Yesus anugerahkan kepada kita.

            “Be happy with those who are happy, weep with those who weep.” (Rome 12:15) “Padha bungah-bungaha karo wong sing bungah, lan nangisa karo wong sing lagi nangis.”

** gambar diambil lewat google sekedar ilustrasi