Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bab 2: Prinsip-prinsip Dasar (Umum) Dalam Penafsiran Alkitab

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

BAB 2
PRINSIP-PRINSIP DASAR (UMUM) DALAM PENAFSIRAN ALKITAB

 

 

Penafsiran Alkitab atau lebih dikenal dengan hermeneutika Alkitab bukanlah salah satu bidang di dalam theologia sistematika yang diajarkan di sekolah theologia yang berdiri sendiri, tetapi hermeneutika ini pasti berkaitan dengan semua theologia sistematika lainnya, misalnya Doktrin Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Kristus, dll dan tentu dipengaruhi juga oleh berbagai hal dalam diri manusia sebagai si penafsir Alkitab. Oleh karena itu, marilah kita menyelidiki prinsip-prinsip dasar apa saja yang perlu diperhatikan di dalam menafsirkan Alkitab.
1. Dipengaruhi oleh presuposisi dan iman
Presuposisi atau praanggapan adalah suatu pola pikir manusia sebelum dia memiliki anggapan tertentu. Misalnya, sebelum dia menyatakan bahwa X adalah seorang pencuri, mungkin sekali dia sudah memiliki presuposisi yang mengakibatkan dia berhati-hati dalam memperhatikan si X. Jadi, presuposisi seseorang menentukan tindakan selanjutnya dari orang tersebut. Begitu pula, di dalam menafsirkan Alkitab, pengaruh presuposisi ini tidak bisa dilepaskan, karena presuposisi ini nantinya pasti mengakibatkan si penafsir Alkitab dapat menafsir Alkitab dengan baik atau malahan buruk dan menyesatkan. Di dalam istilah atau konsep presuposisi ini, unsur iman termasuk di dalamnya. Konsep iman yang dari titik awal sudah tidak beres, maka seluruh penafsiran Alkitab yang dihasilkannya pun tidak beres, meskipun mengutip ribuan ayat Alkitab. Perhatikan, kutipan ribuan ayat Alkitab tidak menjamin seorang pengkhotbah atau hamba Tuhan benar-benar mengerti presuposisi dasar Alkitab sesungguhnya, mungkin sekali si pengkhotbah ini kurang persiapan di dalam berkhotbah lalu mengutip banyak ayat Alkitab di luar konteks aslinya. Kembali, mengapa iman menjadi kriteria pertama dalam mempengaruhi penafsiran Alkitab ? Karena iman itu adalah anugerah Allah kepada umat pilihan-Nya. Iman sejati pasti menentukan penafsiran Alkitab yang beres. Tetapi masalahnya, iman itu sendiri kadang kala disalahmengerti sebagai tindakan manusia, sehingga dari konsep iman yang salah pasti mengakibatkan konsep penafsiran Alkitab yang salah (metode eisegese yang berarti mencocok-cocokkan ide manusia dengan dukungan ayat Alkitab). Mari kita selidiki dengan teliti kaitan antara doktrin Kristen di dalam theologia sistematika dengan konsep penafsiran Alkitab.
Pertama, doktrin Alkitab. Penafsiran Alkitab tentu tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan doktrin Alkitab si penafsir Alkitab. Misalnya, seorang yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah asli/autographanya (ini prinsip yang benar, theologia Reformed), maka si penafsir Alkitab akan memandang Alkitab sebagai satu-kesatuan yang menyeluruh, sehingga bagian Alkitab yang tidak seberapa jelas di dalam kitab tertentu akan dijelaskan di dalam bagian kitab lainnya sehingga membentuk totalitas Alkitab yang dapat dipercaya keotentikannya. Sebaliknya, jika di dalam diri si penafsir Alkitab, timbul suatu keraguan akan ketidakbersalahan Alkitab, lalu mempercayai bahwa Alkitab itu sepenuhnya karya manusia dan tidak diinspirasikan Allah (pandangan “theologia” liberal), maka sudah tentu si penafsir Alkitab ini akan menganggap semua data di Alkitab khususnya berkaitan dengan kelahiran Anak Dara Maria, hal-hal supranatural yang diberitakan oleh Alkitab, dll adalah karangan manusia belaka. Misalnya, ketika di dalam Alkitab diceritakan bahwa Musa membelah Laut Teberau, dan lautnya kering, maka para penafsir Alkitab yang liberal akan mengartikannya dengan menggunakan rumus-rumus fisika yang pada akhirnya menolak terjadinya hal supranatural tersebut. Lain pula halnya, ketika si penafsir Alkitab memiliki kepercayaan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah, tetapi berisi firman Allah (pandangan theologia Neo-Orthodoks dari Karl Barth dan Emil Brunner) yang mengajarkan bahwa Alkitab hanya salah satu kunci manusia memahami firman Allah, yang penting adalah pengalaman pribadi dalam mendengar suara Allah. Pandangan ini akan mengakibatkan si penafsir Alkitab menganggap Alkitab itu hanya salah satu firman Allah dan yang penting baginya adalah pengalaman pribadi mendengar suara Allah. Tidaklah heran, banyak gereja kontemporer yang pop saat ini dipengaruhi oleh theologia Neo-Orthodoks yang muncul setelah Perang Dunia I, lalu menganggap bahwa Alkitab itu tidak perlu ditafsirkan dengan metode yang sulit-sulit, karena Alkitab itu bukan buku akademis, sehingga marilah masing-masing orang dengan pengalaman pribadinya menafsirkan Alkitab. Meskipun pernyataan ini tidak berani diungkapkan oleh mereka, tetapi secara implisit mereka mengakui dengan bulat di samping mengakui ketidakbersalahan Alkitab secara akademis dan perkataan. Seorang apologet Reformed ternama, Dr. Cornelius Van Til di dalam bukunya The Defense of the Faith mengatakan bahwa banyak theolog Injili mempercayai Alkitab itu firman Allah, tetapi sayangnya mereka tidak benar-benar mempercayainya, lalu mulai membuktikan keberadaan Allah bukan dari Alkitab, tetapi dari bukti-bukti ilmiah dan rasio manusia. Lalu, tidak heran ketika Mazmur 1:3 bisa ditafsirkan seenaknya lalu mengajarkan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan pasti berhasil. Ini adalah akibat dari kepercayaan Neo-Orthodoks yang dimodernkan oleh banyak gereja kontemporer yang pop yang tidak memperhatikan kaidah penafsiran Alkitab.

Kedua, doktrin Allah. Setelah penafsiran Alkitab berkaitan dengan doktrin Alkitab, maka hermeneutika pun berkaitan juga dengan doktrin Allah. Theologia Reformed yang dipengaruhi oleh John Calvin menekankan akan kedaulatan Allah (the Sovereignty of God), Allah yang berada di dalam diri-Nya sendiri, Allah yang tidak bergantung pada apa dan siapapun, Allah yang tidak berubah, dll. Iman Reformed sangat menentukan sekali terhadap metode penafsiran Alkitab yang lebih mendekati Alkitab (metode eksegese). Kedaulatan Allah yang dipercaya oleh Reformed akan sangat menentukan dan memimpin arah penafsiran Alkitab yang para theolog Reformed dan penganut theologia Reformed kerjakan. Misalnya, ketika Kejadian 6:6, Allah bersabda, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.”, maka para penganut theologia Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan menafsirkan dan mengajarkan bahwa Allah itu adalah Allah yang Berdaulat sehingga Ia tak mungkin menyesal (lalu “mengubah” rencana yang sudah ditetapkan-Nya), maka ketika ayat ini berkata, “maka menyesallah TUHAN”, maka sesungguhnya perkataan ini dimengerti dalam cara pandang manusia, bukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan tafsiran ini, maka konsep ini akan sinkron dengan keseluruhan bagian Alkitab lainnya (misalnya, Mazmur 93:2, dll). Sedangkan para penganut theologia Arminian yang sama sekali menolak kedaulatan Allah dan lebih menekankan kehendak bebas manusia, ketika membaca Kejadian 6:6 di atas, lalu menafsirkan bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya ketika manusia gagal mematuhi-Nya. Masalah yang selanjutnya terjadi, presuposisi mereka dengan mudah dapat dijatuhkan, ketika Mazmur 93:2 berkata, “takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.” Kata “kekal” tidak dapat diartikan lain, kecuali selama-lamanya dan tidak berubah. Kalau Allah itu adalah Allah yang kekal, apakah Ia dapat mengubah rencana-Nya yang telah Ia tetapkan sebelum dunia dijadikan ? Kalau Allah yang kekal dapat mengubah rencana-Nya, lalu apa bedanya Allah yang adalah Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya ? Ini suatu ketidakmungkinan dan kesalahan paradigma di dalam bertheologia dan memahami Alkitab. Di sini, kegagalan sangat fatal dari para penganut theologia Arminian (kebanyakan Injili) dalam bertheologia secara mendasar dengan tidak membedakan secara kualitas antara Allah sebagai Pencipta yang tidak terbatas (kekal) dan manusia sebagai ciptaan yang terbatas.
Lalu, doktrin Allah ini akan membuat jalur perbedaan yang sangat tajam antara para penganut theologia Reformed yang menekankan supremasi Allah dan penundukan manusia dengan para penganut theologia Arminian yang sama-sama mengagungkan supremasi Allah dan manusia (meskipun tidak secara eksplisit mereka ungkapkan). Para penganut theologia Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan melihat seluruh bagian Alkitab sebagai bagian yang Kristo-sentris (berpusat kepada Kristus), sehingga manusia harus taat mutlak kepada-Nya. Ini ditegaskan di dalam jawaban pertanyaan nomer satu dalam Katekismus Singkat Westminster (salah satu pengakuan iman Reformed) yang berkata, “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya.” (Meade : 2004, p. 1) Meskipun Rick Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life mengungkapkan hal yang sama dengan konsep Reformed ini, tetapi jika kita terus meneliti satu per satu, maka dapat disimpulkan bahwa buku ini bukan buku yang berdasarkan sentralitas Alkitab dan kedaulatan Allah, tetapi lebih ke arah human-centered, meskipun Warren menyangkali pernyataan ini. Sebaliknya, konsep theologia Arminian yang human-centered sudah kelihatan dari cara penafsiran Alkitabnya yang mencari-cari ayat-ayat Alkitab sekehendak hatinya cenderung kurang memperhatikan konteksnya untuk mendukung bahwa manusia memiliki “supremasi” untuk menolak atau menerima anugerah Allah. Misalnya, banyak theolog Injili dengan aliran theologia Arminian yang dianutnya memahami Alkitab bukan dari presuposisi kedaulatan Allah, tetapi kehendak bebas manusia, sehingga meskipun jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang anugerah Allah, mereka pasti menafsirkannya dengan tetap menekankan kehendak bebas manusia, contoh, meskipun Allah memberikan anugerah kepada manusia, manusia tetap harus meresponinya, karena kalau tidak, manusia tersebut tidak dapat diselamatkan. Inilah gaya penafsiran Alkitab yang keliru. Pandangan theologia Arminian ini diadaptasi dari konsep pemikiran Semi-Pelagianisme yang merupakan “jalan tengah” dari ajaran Pelagius (yang mengajarkan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa) dan Augustinus (manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa). Bapa Gereja Augustinus telah lama berperang melawan Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, tetapi rupa-rupanya humanisme terus berjaya, dan sampailah kepada paham Arminianisme.

Ketiga, doktrin keselamatan (Soteriologi). Doktrin keselamatan dapat mempengaruhi posisi penafsiran Alkitab seseorang. Misalnya, seorang penganut theologia Reformed yang memegang kepercayaan bahwa anak-anak Tuhan sejati tidak mungkin kehilangan keselamatannya akan mengerti keseluruhan Alkitab lebih teliti dan bertanggungjawab. Yohanes 3:16 ; 10:27-29 ; Roma 8:33-35 adalah bagian-bagian Alkitab yang mengajarkan secara ketat akan kepastian jaminan Kristen tentang keselamatan (tanpa mengabaikan konteks aslinya). Sedangkan para penganut theologia Arminian dan Katolik Roma yang mempercayai perbuatan baik lebih penting daripada iman akan mengutip ayat-ayat Alkitab menurut kehendak mereka untuk mendukung ajaran mereka. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3 tentang problematika penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan.

Keempat, doktrin Kristus (Kristologi). Kristologi juga dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, seorang penganut theologia Reformasi dan Reformed yang menganut paham dwi-natur sifat Kristus, yaitu 100% Allah dan 100% manusia akan menafsirkan Alkitab dengan kedua pandangan ini. Dan hal ini jelas dibuktikan Alkitab secara eksplisit yaitu di dalam Yohanes 1:1 dan Roma 1:3-4. Tetapi para penganut theologia non-Reformasi, misalnya theologia Orthodoks (Syria) yang menekankan kemanusiaan Yesus dan menolak keilahian-Nya, maka mereka akan mengutip Yohanes 1:1 secara sebagian yaitu dengan menghilangkan pernyataan, “Firman itu adalah Allah.” Hal ini dikhotbahkan seorang pemimpin gereja yang dulunya beragama mayoritas di Indonesia, lalu kemudian menjadi “pendeta” yang sekarang ingin membawa keKristenan kembali kepada agama dahulunya agar menurutnya, keKristenan boleh diterima oleh agama dahulunya. Seorang penganut Orthodoks Syria ini akan kebingungan dalam menafsirkan Roma 1:4 yang menyebutkan Tuhan Yesus itu juga bernatur Ilahi selain bernatur manusia. Dengan kata lain, mereka akan berkontradiksi dan melawan diri sendiri jika menjumpai ayat-ayat Alkitab yang tidak cocok dengan formulasi doktrin mereka.

Kelima¸ doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pneumatologi, baik dengan konsep yang benar maupun salah, sama-sama mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab. Theologia Reformasi dan Reformed yang percaya 100% bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga Allah Trinitas yang berperan melahirbarukan umat pilihan-Nya untuk percaya di dalam Kristus dan menyempurnakan mereka serupa seperti Kristus kelak akan menafsirkan Yohanes 15:26 dengan mengatakan bahwa Roh Kudus datang untuk memuliakan Kristus dan juga Yohanes 16:8 bahwa Roh Kudus datang untuk menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Hal ini sinkron dengan keseluruhan berita Alkitab. Misalnya, di dalam 1 Korintus 12:3, “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”, 1 Petrus 1:2 yang mengajarkan, “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.” Jadi, apa yang Tuhan Yesus ucapkan di dalam Injil Yohanes tentang Roh Kudus juga diajarkan dengan konsep yang sama persis oleh para rasul-Nya, baik Paulus, maupun Petrus, dll. Inilah kekonsistenan seluruh berita Alkitab yang tidak mungkin berkonflik (berkontradiksi) dengan dirinya sendiri. Puji Tuhan. Lalu, kalau ada theologia Kristen yang non-Reformasi, misalnya, dipengaruhi oleh Arminian yang human-centered, akan mengatakan secara implisit bahwa Roh Kudus bisa diatur manusia, sehingga manusia seolah-olah dapat memerintah Roh Kudus. Kemudian, mereka mengklaim kepada Roh Kudus jika mereka tidak dapat berkarunia lidah. Yang paling aneh lagi, seorang penganut Karismatik Katolik yang tidak bisa berbahasa roh akan mengomel kepada Maria ibu Yesus untuk membujuk Tuhan Yesus untuk memberikan karunia roh tersebut. Sungguh aneh dan ajaran ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitab. Konsep yang tidak beres ini nantinya akan mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab dengan sengaja mencocok-cocokkan konsepnya yang salah itu agar bisa diterima oleh masyarakat Kristen umum. Ambil contoh, banyak pemimpin gereja dari kalangan gereja kontemporer yang pop sangat suka mengutip Yoel 2:28-32, “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan.  Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu. Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap.  Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari TUHAN yang hebat dan dahsyat itu.  Dan barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan ada keselamatan, seperti yang telah difirmankan TUHAN; dan setiap orang yang dipanggil TUHAN akan termasuk orang-orang yang terlepas.” lalu menafsirkan bahwa zaman inilah zaman Roh Kudus, maka mari kita menantikannya. Ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan. Tafsiran ini salah di titik pertama, yaitu sengaja mengabaikan referensi yang ada di bawah bagian Alkitab yang menunjukkan kedua ayat ini merupakan nubuat yang nantinya digenapi di dalam peristiwa Pentakosta, Kisah Para Rasul 2:1-16, lalu Petrus mengutip Yoel 2:28-32 di dalam khotbah perdananya di dalam Kisah Para Rasul 2:17-21.

Keenam, doktrin gereja (ekklesiologi). Ekklesiologi sebagai theologia sistematika yang boleh saya kategorikan sebagai hal praktis pun dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, gereja-gereja Reformed yang mengakui adanya baptisan anak (infant baptism) akan memandang seluruh Alkitab secara totalitas yang mengajarkan secara berkesinambungan akan perjanjian (covenant) Allah. Meskipun istilah “baptisan anak” tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Reformed melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan Yesus. Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus), nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Reformed dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu dibaptis tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan kelompok Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip Alkitab tentang perjanjian (covenant).
Demikian pula halnya dengan konsep Perjamuan Kudus. Gereja-gereja Reformed mengikuti tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini berbeda dengan konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma : transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang membedakan antara form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) Paham Katolik Roma akan Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh seorang “pendeta” bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku."  Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu Perjamuan Kudus berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3.

Ketujuh, doktrin akhir zaman (eskatologi). Eskatologi menurut Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman adalah “sebuah paham yang integratif dengan seluruh bagian Alkitab.” (Hoekema, 2004, p 3). Eskatologi ini menurut beliau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu eskatologi yang telah ditegakkan (inaugurated eschatology) dan eskatologi yang akan datang (future eschatology) (Hoekema, 2004, p 1 dan 2). Di dalam bukunya, beliau memaparkan bahwa konsep paradoks yang ada di dalam eskatologi ini menyangkut suatu paradoks antara eskatologi yang sudah dan akan terjadi (ketegangan antara yang sudah terjadi dengan yang belum terjadi). Inilah konsep eskatologi yang dipegang oleh theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab. Kemudian, theologia Reformed mempercayai bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan secara literal dalam arti Kerajaan itu terjadi secara nyata melalui wilayah/teritori tertentu di dalam suatu bangsa, tetapi Kerajaan Allah adalah kerajaan rohani. Di dalam paham eskatologinya, theologia Reformed berpaham amillenialisme. Sedangkan, para penganut theologia Injili yang mayoritas cenderung Arminian akan berpaham premillenialisme yang bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu premillenialisme historis dan premillenialisme dispensasionalis yang berusaha membagi sejarah/zaman menjadi 3, yaitu zaman Allah Bapa (sebelum kedatangan Kristus pertama), zaman Allah Anak (pada waktu Kristus berinkarnasi) dan terakhir, zaman Roh Kudus (setelah kebangkitan Kristus dan sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya). Konsep pembagian zaman ini (dispensasionalisme) sudah salah di titik awal yaitu berusaha memisahkan peran masing-masing Pribadi Allah Trinitas, sehingga seolah-olah di zaman sebelum kedatangan Kristus pertama, hanya Allah Bapa yang berperan (sedangkan Allah Anak dan Roh Kudus “pensiun” alias tidak berperan), nanti pada giliran Kristus berinkarnasi, maka Allah Anak yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Roh Kudus “pensiun”), dan terakhir, setelah kebangkitan Kristus, Allah Roh Kudus lah yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Anak “pensiun”). Konsep ini sudah menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Dengan kata lain, paham premillenialisme memandang Kerajaan Allah ini hadir secara literal di bumi ini, lebih tepatnya di kota Yerusalem, sehingga tidak heran di kalangan Kristen, muncul istilah Kristen Zionis, ini karena pengaruh premillenialisme yang ekstrim yang tidak diajarkan oleh Alkitab. Sebaliknya, kelompok liberal yang menganut paham postmillenialisme yang mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu sudah terjadi akan menafsirkan Alkitab dengan konsep liberalnya dan akan menutup mata akan fakta-fakta Alkitab tentang Kerajaan Allah di masa akan datang, lalu konsep ini akan mengakibatkan mereka sendiri tidak memiliki pengharapan yang pasti di masa akan datang. Inilah ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi, terlalu menekankan akhir zaman, padahal keliru (paham premillenialisme), sedangkan di sisi lain, terlalu menyepelekan akhir zaman, sehingga jatuh ke dalam paham postmillenialisme yang mengakibatkan para penganutnya berada di dalam kondisi tak berpengharapan.

 

2. Dipengaruhi oleh perasaan hati
Perasaan hati atau mood manusia dapat berubah-ubah setiap saat tergantung situasi dan kondisi. Masalah yang banyak terjadi, banyak manusia dengan perasaan hati yang berbeda pun diterapkan dalam menafsirkan Alkitab. Tidak heran, misalnya, seorang pria yang putus cinta akan sangat senang membaca Alkitab khususnya bagian Mazmur dan Amsal yang menguatkannya bahwa meskipun pacarnya meninggalkannya, Tuhan tetap besertanya, dan orang yang sama akan melewatkan membaca kitab Kidung Agung yang mengajarkan tentang cinta.

 

3.  Dipengaruhi oleh kondisi sekitar
Terakhir, penafsiran Alkitab juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Ini adalah pengaruh yang amat sangat buruk. Di dalam keKristenan, ada dua contoh ekstrim yang mencoba menafsirkan Alkitab dengan pengaruh dari lingkungan/kondisi sekitar. Misalnya, pertama, gereja-gereja kontemporer yang pop yang gemar sekali cho gereja (atau mencari untung di gereja) akan mencomot ayat Alkitab sekehendak hatinya (2 Korintus 9:6, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.”) untuk mendukung pengajaran mereka misalnya tentang perpuluhan yang akan dikembalikan berlipat kali ganda. Ayat ini dilepaskan dari ayat-ayat selanjutnya, ayat 7, yang mengajarkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Kalau ayat 7 ini dibacakan, maka jemaat akan berpikir beratus kali untuk memberikan persembahan. Jadi, untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya dari persembahan jemaat, maka ayat 7 dengan sengaja tidak dibacakan, agar jemaat dapat memberikan uang sebanyak-banyaknya. Ini namanya gereja yang memperhatikan demand dari jemaat (hukum supply and demand di dalam gereja). Inilah corak gereja materialisme di abad postmodern ini. Di sisi lain, banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mengaku berlabel “Reformed” (sebenarnya: no-formed atau de-formed) sudah mendegradasi fondasi theologia yang Alkitabiah dan menggantinya dengan “theologia” religionum atau social “gospel”. Akibatnya, paham ini akan mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab yang cocok dengan paham mereka. Mereka akan menafsirkan Yohanes 14:6 bukan dengan menekankan finalitas Alkitab. Kemudian, saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh “pendeta” macam ini dengan mengutip Yohanes 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,…” lalu menafsirkan bahwa orang Kristen dan orang-orang non-Kristen seharusnya bersatu sama seperti Kristus dan Bapa bersatu. Ini tafsiran yang sangat tidak bertanggungjawab. Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Theologia Abu-abu, Pluralisme Agama (Edisi Revisi) mengetengahkan fakta tentang seorang “theolog” pluralis dari gereja Presbyterian, Taiwan, Choan-Seng Song yang menggunakan pendekatan penafsiran yang berhubungan dengan isu-isu sosial untuk mendukung “Theologia” Transposisinya. Berikut penuturan beliau,
“Song juga menggunakan metode penafsiran radikal dalam membangun Teologi Transposisinya yang liberal dan yang anti finalitas Yesus. Song memulai usahanya dengan menggunakan cerita-cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial, kemudian mensinkronisasikannya dengan Alkitab untuk membangun Teologi Transposisinya... Dalam hal ini, Alkitab berperan hanya untuk mendukung konsep yang telah dibangunnya dari kesimpulan awalnya mengenai situasi kondisi sosial yang pincang. Sistem hermeneutika Song, dikenal dengan istilah penafsiran yang situasional mengenai isu-isu sosial (Socio-Critical Interpretation). Penafsiran kritik sosial dapat diartikan : ‘tertarik kepada bentuk yang kelihatan untuk menyatakan suatu penafsiran yang alamiah dalam kerangka pikir dari suatu tradisi mengenai asumsi sosial dan praktiknya. Penafsiran teks-teks Alkitab mengenai perbudakan, kaum perempuan, kaum miskin. Contohnya ialah Teologi Pembebasan dan Hermeneutika Feminisme.’... Dengan kata lain, Song membangun Teologi Transposisinya dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial di Asia. Song sangat prihatin dengan isu-isu sosial-politik di Asia...” (Lumintang, 2004, pp 335, 337)
Dengan jelas, semua ayat Alkitab dijadikan pendukung bukan sumber bagi pembentukan “Theologia” model ini yang justru melawan Alkitab. Ini adalah “gereja” yang bercorak humanisme di dalam era postmodern. Kedua contoh ini dapat mewakili apa yang Alkitab telah nubuatkan di dalam 2 Timotius 3:1-2, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,” Kalimat “manusia akan mencintai dirinya sendiri” adalah ciri dari humanisme dan kalimat “menjadi hamba uang” adalah ciri dari materialisme.

 

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)