Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Atik Mati

anakpatirsa's picture

Atik mati, kamu pulang secepatnya untuk menguburkannya.

Atik akhirnya mati. Aku tidak mampu menangisi kematiannya. Bukan karena tidak mampu bersedih. Ada saatnya kesedihan begitu mendalam sehingga air mata tidak mampu keluar. Sejak meninggalkan kampung halaman enam belas tahun lalu, aku tidak bisa melupakan kemanjaannya. Sampai sekarang pun sering kurindukan tingkah-polahnya yang membuat jengkel, padahal aku juga sering membuatnya jengkel. Tidak pernah bisa kulupakan tatapan marahnya karena kucium saat tidur. Tatapan marah itu tetap seindah tatapan bola mata bulatnya di keremangan lampu lima watt.

Aku harus pulang untuk menguburkannya. Bukannya tidak punya pilihan, aku bisa menolak. Ada seribu satu alasan yang bisa kutemukan, namun tidak kucari. Aku tidak keberatan menyeberangi Laut Jawa hanya untuk mengubur Atik.

SMS balasannya sangat singkat: Aku berangkat malam ini juga.

Aku sudah membuat keputusan. Apapun resikonya; apapun kata orang di kantor; aku harus pulang malam ini. Bukannya tanpa dasar aku yang harus mengubur Atik. Dari delapan bersaudara, hanya aku yang menyeberangi Laut Jawa. Tetapi kami sudah sama-sama tahu, hanya aku yang paling cepat tiba di kampung bila terjadi musibah.

Termasuk bila Atik mati.

***

"Aku harus harus pulang karena Atik meninggal," kataku saat menghadap kepala bagian.

Aku tidak boleh memberinya kesempatan bertanya. Tidak boleh ada banyak pertanyaan. Tidak boleh ada yang tahu siapa yang mati. Pria ini tahu aturan itu. Ia tidak bakalan menjadi kepala bagian bila terlalu suka mencampuri urusan orang lain.

Aku yakin, ia bahkan tidak memandang punggungku saat aku berbalik. Berbalik meninggalkan kantor untuk mencari tiket.

Barang bawaanku tidak banyak. Hanya tas berisi dua pasang pakaian bersih yang bisa kutemukan di lemari dan charger handphone tua tidak boleh ketinggalan. Tidak ada lagi ponsel model ini di kampung.

"Kemana Mas?" sapa calo yang menyambut di pintu masuk Terminal Bis Tirtonadi.

"Surabaya," jawabku dengan nada yang seharusnya dimengerti sebagai, "Jangan ganggu aku!"

Barusan aku mendapat tiket pesawat ke Palangkaraya via Surabaya. Aku juga sudah tahu tempat menunggu bis yang ke Surabaya. Aku hanya berharap sampai di Terminal Purabaya subuhnya, lalu paginya berangkat ke Bandara Djuanda. Jam dua belas lewat, bila tidak ada aral melintang, pesawatku pasti sudah mendarat di Bandara Cilik Riwut. Bila beruntung, ada mobil yang berangkat ke kampung setelah jam tersebut. Bila perlu, aku akan membajak mobil sepupuku. Tukang kubur tidak boleh terlambat.

Perhitunganku tidak terlalu banyak meleset, jam delapan sudah check in di Bandara Juanda. Saat duduk di pesawat--setelah berjam-jam menunggu di bandara--bisa kulihat keadaan yang jauh lebih baik daripada lima tahun lalu. Pesawat penumpang bukan lagi perahu sungai yang ada jetnya. Saat mendarat di Bandara Cilik Riwut, tidak lagi kurasakan getaran aneh begitu roda menyentuh landasan. Juga tidak ada lagi plafon yang mau jatuh lepas.

Tidak ada penjemput. Sudah lama saudara-saudaraku meninggalkan kota ini, masing-masing memilih sebuah sungai lalu pergi arah hulunya. Kuhidupkan kembali handphone sambil menuruni tangga. Sebelum ada benda ini--sebelum transportasi selancar sekarang--mayat sering membusuk. Aku bahkan pernah melihat orang menggotong peti mati yang selalu menetes. Cairan itu mengeluarkan bau terbusuk yang pernah kucium. Lalu ada pengawet mayat, orang bisa menunggu mayat sambil makan dan berjudi tanpa harus menahan nafas. Kemudian orang melihat mayat yang terlalu lama di rumah juga membuat tekor. Akhirnya formalinpun hanya menjadi pengawet makanan.

Hanya ada sebuah pesan. Dari kakakku yang nomor tiga. Mobil yang ia tumpangi as-nya patah dalam perjalanan ke Palangkaraya.  Aku bersyukur ada handphone. Tanpa benda ini, aku tidak bakalan secepat ini tahu keadaan mereka. Tanpa benda ini, aku tidak bakalan tahu Atik sudah mati.

Dulu, berita duka disampaikan lewat radio. Setiap jam enam pagi atau sore, ada berita keluarga di RRI. Isinya singkat. Bila ingin menyampaikan berita kematian Atik, saudaraku hanya perlu menulis: Berita keluarga. Ditujukan kepada keluarga Gin di manapun berada. Isi berita: Harap segera pulang ke kampung karena Atik mati. Untung ada handphone, Berita Keluarga tidak bisa menyeberangi Laut Jawa.

Bisa kulihat kota ini sedang berkembang. Pemukiman bergerak ke arah bandara. Sepuluh tahun lalu, aku masih bisa berlari di tengah jalan. Lima tahun lalu, aku masih bisa mengajari si bungsu naik motor di jalan menuju bandara. Waktu itu hampir saja ia mematahkan kakinya karena berusaha menahan laju motor dengan kakinya. Aku tidak pernah tahu kekuatan apa yang membuatku mengambil stang dan menarik rem. Membuat sakit tangannya yang juga refleks menarik gas. Aku masih tidak percaya kami tidak meluncur ke selokan di samping jalan.

***

Tidak seperti dalam perjalanan Solo-Surabaya, kali ini penumpang di samping mengeluarkan seribu satu pertanyaan. Sudah berapa tahun tidak pulang? Mengapa tidak mencari uang di daerah sendiri saja? Sudah menikah? dan seterusnya.

Mengingat perjalanan tadi malam, ini perjalanan siput. Di musim hujan seperti ini, naik turun bukit melewati jalanan becek licin, bukanlah perjalanan menyenangkan. Kami pernah melewati jalan yang sama lima belas tahun lalu. Saat itu jalan ini lebih layak disebut jalan setapak. Tidak ada jembatan, hanya sebatang pohon tumbang melintang di atas sungai.

"Kapan ya jalan ini diaspal?" tanyaku sinis.

"Tunggu kiamat," balasnya.

Setelah itu diam. Ia pasti menganggapku tidak tahu diri. Nada pertanyaanku tadi membuatnya berpikir tentang lawan bicara yang sombong. Ia pasti berpikir tentang orang yang keenakan di pulau orang lalu mengejek jalan becek berlumpur. Itu memang tujuanku, aku tidak peduli apa katanya.  Aku hanya ingin larut dalam lamunan. Memikirkan ibu yang pasti sedih karena kematian Atik yang memang seharusnya cepat mati. Tidak perlu menjadi dokter untuk mengetahui Atik tidak akan bisa mencapai dua puluh tahun.

Aku tidak keberatan melewati jalan berat ini hanya untuk menguburkan Atik. Aku hanya berharap mobil ini bisa lebih cepat lagi. Kalau tidak, aku harus menguburkan Atik di bawah lampu petromaks. Aku berharap pria di sampingku tidak banyak bertanya. Aku tidak ingin satu mobil ini tahu ada yang harus pulang untuk menguburkan Atik.

Hanya itu.

Saat mobil berhenti di depan rumah, aku masih merasa seperti bermimpi. Kemarin aku masih di Solo, sekarang ibu keluar memelukku. Kelihatan sekali ia senang melihat anak lelakinya datang karena Atik mati. Ia mungkin tidak menyadari, kepulangan kali ini sekaligus bukti kalau aku bisa pulang secepat kilat bila ayah meninggal.

"Temui dulu ayahmu," katanya, dengan tatapan haru yang tidak akan pernah kulupakan.

Rumah kelihatan sangat sepi. Tidak ada satupun pelayat.

"Ayah," kataku begitu melihat ayah berbaring dengan mata nanar memandang tutup kelambu.

Ia menoleh tanpa ekspresi. Lalu muka pucat itu sedikit berubah warna. Ada tanda-tanda  pengenalan di sana. Stroke yang menyerangnya lima tahun lalu membuang hampir semua ingatannya. Walaupun tidak mengenalku lagi, aku yakin ia pasti sadar aku bukan orang lain. Kupeluk ayah, berusaha tidak mempedulikan bau pesing yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Ia pasti tidak pernah jijik membersihkan pantatku yang baru buang air besar tiga puluh tahun lalu.

Ayah hanya bisa bergumam, aku bisa mendengar nada kaget dan senang dalam gumaman yang tidak jelas itu. Aku berharap ada setiap hari seperti ini.

"Kamu kubur saja dulu Atik sekarang." Kata ibu.

Hari sudah sore, lebih tepatnya sudah senja. Penguburan benar-benar sudah tidak bisa ditunda lagi. Seharusnya Atik dikubur kemarin, kalau saja ayah sehat. Sekarang ia pasti tidak tahu Atik mati; kami tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada ayah.

"Dimana Atik sekarang?" aku mengucapkan  kata "ia" itu dengan nada yang rasanya sangat aneh.

"Di kolong rumah," jawabnya.

Ibu sama sekali tidak terganggu dengan kata 'ia' yang kupakai.

"Di atas tumpukan papan," lanjutnya, "kamu langsung turun ke bawah saja sekarang."

Aku tidak menjawab, kulepas ayah. Bisa kurasakan tatapannya yang memandang punggungku saat keluar kamar.

Ada pepatah, gajah mati meninggalkan gading. Konon, gajah bukan hanya meninggalkan gading, ia meninggalkan kelompoknya begitu merasa mau mati. Pergi ke goa atau lembah tersembunyi, berbaring di sana untuk mati. Atik bukan gajah, ia bukan hanya pintar menyembunyikan kotorannya. Ia juga pintar mencari tempat untuk mati.

Kulihat sesuatu di atas tumpukan papan.

Waktu kecil, aku masih bisa berlarian di kolong rumah ini. Sekarang harus membungkuk untuk mencapai tumpukan ini. Ibu menutupi tubuh Atik dengan karung goni, sehingga lalat-lalat hanya bisa beterbangan di sekitarnya. Hal pertama yang kulihat saat menarik penutupnya adalah ekor indah Atik. Ekor yang aku sukai. Kalau berjalan, ekor berbentuk kait ini selalu tegak ke atas. Kait ini juga yang membuatnya mengeong bila tersangkut kursi tali.

Atik, tubuhnya sudah kaku. Aku ingin menangis. Tubuh putih ini dulu suka memanjati pohon jambu di samping teras. Bila mau turun, ia hanya bisa mengeong. Selalu ia ulangi sehingga kami terpaksa membuatkan tangga khusus untuknya. Baru satu minggu mendapat tangga, ia pindah ke atap rumah. Kami lagi yang harus mengalah, membuatkan tangga lain lagi untuknya. Walaupun demikian, aku suka melihat gayanya melenggang di atas bubungan rumah dengan ekor tegaknya.

Ia besar bersama kami, besar bersama masa kecil kami, besar dalam kemanjaannya. Saat krisis ekonomi, ibu terpaksa mengurangi jatah sardennya. Entah mengerti atau tidak, setelah itu, ia suka meletakkan bangkai tikus dekat piring makannya. Walaupun harga sarden selangit, Atik tidak jadi mendapat pengurangan jatah sarden.

Kututup kembali bangkai Atik, lalu naik ke teras belakang rumah. Selalu ada cangkul di sana. Aku menggali tanah di belakang rumah tepat di bawah batang langsat. Pikiranku berkecamuk dengan seribu satu perasaan. Siapa yang menemani ayah dan ibu setelah ini? Tidak ada lagi makhluk manja berbulu putih yang suka meniru gaya sphinx ketika menunggui ibu menyiapkan makanan ayah. Tidak ada lagi makluk kecil yang mengeong sekeras-kerasnya bila mencium aroma ikan goreng. Tidak ada lagi makhluk kecil nakal yang merusak jahitan ibu.

Saat mengangkat tubuhnya, aku teringat makhluk kecil yang bergerak di atas tubuhku. Membuatku terbangun sebentar lalu tidur lagi setelah melihat itu ternyata benda putih yang sedang mencari tempat tidur hangat. Mengingat semuanya, aku ingin menangis.

Menangis karena Atik sudah mati.

"Sudah selesai?" tanya ibu ketika melihatku membuka pintu dapur. Ia pasti tidak sanggup melihat penguburan Atik. Ia hanya bisa menunggu di dapur. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku rasa, ia juga tahu, mata hatiku sedang berkaca-kaca.

"Ya," jawabku singkat. Tidak ingin ia tahu suaraku berubah.

Hari sudah benar-benar gelap.

***

Catatan:

Ini hanya fiksi, kutulis lima bulan lalu. Sebulan setelah itu, aku benar-benar harus pulang. Bukan untuk menguburkan Atik, tetapi ayah meninggal. Atik sendiri mati tiga bulan sebelumnya, dan baru kuketahui saat pulang itu. Ibu sendiri yang menguburnya.

Tante Paku's picture

Atik Amara dan Unyil

     Ternyata keren juga nama kucingnya AP, Atik, pastinya kucing betina ya? Haii yang punya nama Atik, kucing lu!

     Sementara Samuel Franklin menamakan kucingnya dengan Amara, kalo ini mah jelas jantan dan suka pesbukan. Haii Amara, kenapa kamu disebut kucing?

     Kalo hai hai jelas suka anjing, ada yang dinamakan Unyil, halah. Padahal Unyil baru sampai kloter 10 udah mabok berat. Halo Unyil, kamu ternyata bukan nama boneka atau blogger saja lho, anjing juga unyil!

     Memang menyenangkan punya binatang kesayangan itu. Pada dasarnya aku juga suka binatang. Pernah punya ayam jenis Wareng, dari Kuthuk kupelihara waktu aku masih kelas 5 SD. Lucunya itu ayam kalo tidur minta kelon di sampingku. Keselnya, kalo berak tidak mau turun, alhasil, aku selalu belepotan tai ayam  ketika bangun. 

     Tapi dia ayam setia juga loh, setiap pulang sekolah bisa menyambutku, dan kalo aku santai di kursi panjang sambil baca, ayam itu naik ke kakiku dan mendekam sembari merem melek matanya, sesekali "didis", paruhnya membersihkan bulu-bulunya. Hasil akhirnya, kakinya kena tai-nya juga.

     Akhirnya, ayamku itu hilang dicuri tetangga yang menyukai kegagahannya. Walau  umurnya masih muda, udah bisa berkokok dengan penuh gaya, itu yg membuat tetanggaku tertarik utk mencurinya. Aku tau, tapi kubiarkan saja, hanya berharap kalo dilepaskan pasti akan balik ke rumah. Eh ternyata enggak, cuma dikurung, kemudian dijual karena dia butuh uang.

     Begitu juga ketika aku piara Bebek, mulai dari Meri (anak bebek baru menetas), ternyata juga punya naluri setia terhadap tuannya. Ketika bebek itu pergi menuju sungai yg kuperkenalkan, lebih kurang 2000 meter jauhnya, begitu aku tau, langsung kupanggil : "Ri...ri....ri....ri....!" Sontak, empat bebek yg belum tumbuh bulu lilinnya secara sempurna itu, balik dan berlari menuju kepadaku. Dari sinilah aku mengetahui kesetiaan bebek kepada tuannya yg memberi makan.

     Memang paling asyik memelihara binatang itu ketika masih kecil, kesetiaannya patut kita acungin jempol. Terkadang binatang yang kita sangsikan bisa jinak, ternyata bisa juga. Teman saya memelihara burung Parkit sejak menyuapinya, ketika besar burung itu tidak mau terbang, selalu ikut majikannya kemana saja pergi, bahkan burungnya itu dibawa ke tempat kerja dan di teruh di pundaknya. Untung burung parkit, tainya sedikit dan kecil!

Selain anjing, saya masih suka memelihara JANGKRIK!

 


__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

Daniel's picture

+2

Hahaha... anakpatirsa dan Tante Paku, dua gaya yang berbeda, nyaris bertolak belakang, tapi sama-sama unik, dua-duanya menjadi favorit saya.

Yang satu melankolis abis, kalo baca rasanya kayak nonton film Korea yang sering menampilkan adegan hujan gerimis di tengah jembatan, sedangkan yang satunya kocak abis, tapi sentilan kanan-kirinya berbobot juga.

Tetaplah menulis dan menyegarkan SS yang panas ini dengan tulisan-tulisan kalian. Selamat Natal!

Purnawan Kristanto's picture

Kesetiaan Hewan


Sewaktu saya masih balita, keluarga kami memelihara anjing kampung di kota Wonosari.  Saat kami pindah rumah ke wilayah pinggiran yang jaraknya sekitar 3,5 km, anjing ini kami bawa serta. Uniknya, setiap pagi dia mengikuti bapak saya yang berangkat mengajar menggunakan sepeda. Selama bapak saya mengajar, anjing itu bermain di lingkungan bekas rumah kami. Kebetulan sekolah tempat bapak saya mengajar tak jauh dari bekas rumah kami. Saatnya bapak pulang ke rumah, anjing ini sudah menunggu di dekat sepedanya. Hal seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun hingga anjing ini tiba-tiba menghilang dan tak kembali lagi.

Kesetiaan hewan juga ditunjukkan oleh kucing yang dipiara oleh Nenek saya.  Saat majikkannya meninggal, kucing itu setiap hari mengunjungi nisan majikannya. Hal ini berlangsung sampai kucing itu mati.


__________________

------------

Communicating good news in good ways