Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ada, Ja

anakpatirsa's picture

“Kamu juga nggak datang ke pernikahanku.”

      Juga? Ada orang lain yang tidak hadir, orang yang seharusnya datang. Aku bisa menebak siapa itu.

       “Sori,” kataku, ingin kubuat seribu satu alasan.

      “Aku benar-benar nggak bisa datang,” aku menambahkan, takut ia memboikot pesta pernikahanku suatu saat nanti.

      Syukurlah ia tidak menanyakan apa yang membuatku benar-benar tidak bisa datang itu. Ia memang tidak perlu tahu itu. Ia tidak perlu tahu kalau aku sengaja tidak datang. Aku pernah begitu dekat dengan seseorang, namanya Merry. Ia sudah punya kekasih, tetapi aku tetap nekad. Itu karena prinsip janur kuning yang kupelajari dari iparku: Selama janur kuning belum melengkung, sah-sah saja mendekatinya. Janur kuning itu memang belum melengkung, tetapi aku tidak mau datang ke pernikahan orang yang selalu menggoda kami, hanya untuk melihat incaranku malah makin lengket dengan kekasihnya.

      Di hari pernikahan itu, aku mengirimi pesan ke sebuah nomor, “Kamu datang ke pernikahan Ernest?”

      Kuberharap sebuah jawaban: “Ikut. Mau kesana sama-sama?

      Itu hanya mimpi siang bolong. Gadis itu, gadis yang lain lagi, mengabaikan pesanku.

      “Teman-teman banyak yang datang,” ia membuyarkan lamunanku.

      “Siapa-siapa saja yang datang?” aku bertanya.

      “Banyak.”

      Aku butuh lebih dari sekedar jumlah, “Siapa-siapa saja?”

      Ia menyebutkan sederatan nama yang baru kukenal di awal tahun. Tebakanku benar, Merry tidak datang, tetapi gadis yang kuharap mengajakku berangkat bareng itu datang.

      “Si Jonpri apa nggak salah tingkah ketika bertemu Nana di sana?” aku bertanya.

      “Biasa-biasa saja,” jawabnya, “soalnya mereka membawa pasangan masing-masing.”

      Di awal tahun, ada dua orang yang terang-terangan menyukai Nana, gadis paling seksi di kelas kami. Di Malam Keakraban, malam perpisahan itu, Dedi ‘menembak’ Nana di depan mata kami. Di depan ratusan pasang mata, Nana berkata, “Maaf, aku tidak bisa.” Si Jonpri mengira dirinya lebih beruntung, Ia maju. Nana hanya berkata, “Maaf.” Di malam itu, Merry menghilang sebelum acara foto bersama, mungkin takut aku melakukan ketololan yang sama. Di malam itu, Nana mencubit lembut tanganku karena aku berkata, “Kamu memang hebat, bisa-bisanya menolak dua cowok dalam hitungan detik.”

      Ia pergi bersama pasangannya.

      Akhirnya aku tahu mengapa ia tidak membalas pesanku di hari pernikahan itu. Aku telah begitu bodoh. Setiap kali bertemu, ia selalu bertanya, “Kapan lagi kita kumpul-kumpul?” Kukira itu karena ia mengingat sarapan kami setelah upacara tujuhbelasan. Aku salah. Kumpul-kumpul yang ia maksudkan bukan seperti itu. Kita itu bukan aku dan kamu.

      Tetapi aku, kamu, Agus, Ernest, Jonpri, dan sederet nama lain termasuk Merry.

      “Heh….” Si pengantin baru menggangguku lagi.

      “Apa?”

      ”Aku punya teman yang masih jomblo…

      Ia benar-benar tahu kalau kisahku dengan Merry sudah tamat. Seraut wajah muncul di benakku. Nana, dan sebuah ajakan makan yang sudah dijawabnya dengan ’boleh, ja’, serta janur kuning yang lurus menembus langit.

      “Aku sedang mengincar seseorang.”

      “Le, ela misi, tapi mbanjur ih.”

      Ia meremehkan kemampuanku mendekati perempuan. Ia memakai analogi memancing. Ia sedang berkata, jangan memancing ikan dengan pisi atau pancing biasa. Ia menyuruhku memakai banjur, sebatang dahan yang dipotong lalu di setiap ujung rantingnya diikatkan tali pancing. Dengan banjur, peluangku mendapat seekor ikan lebih besar.

      

Kukutuki temanku. Seharusnya dari dulu-dulu ia menawariku ikan yang bisa kupancing dengan banjur. Itu bukan ikan jelek. Kulitnya begitu putih dan halus terawat. Aku sampai heran mengapa di profil fb-nya tertulis single.

      Tanpa bisa kutahan, aku tersenyum sendiri.

      “Mengapa senyum-senyum?” ia bertanya.

      Aku merencanakan makan malam dengan seseorang. Gadis yang berkata, ”boleh, ja.” Kuketahui kemudian, itu basa-basi. Lalu, gara-gara analogi pancing, aku berhasil mengajak makan malam seseorang yang benar-benar baru kukenal.

      “Ada ja,” kataku. Aku lebih suka ia menganggapku sinting, daripada bercerita tentang seekor ikan.

      “Ngetawain aku?”

      Aku menggeleng.

      Ia menatapku dengan mata yang entah mengapa tampak nakal.

      Aku kembali tersenyum.

      Kukalahkan sepasang mata itu, ia tersenyum.