Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Uang Logam Seratusan
Darah Sunar tersirap. Matanya menatap lekat di layar TV. “Astaga, apa yang terjadi,” batinnya terkesiap. Cepat-cepat dia menyambar handphone. Jari-jarinya meloncat-loncat gemetaran mencari nomor telepon kawannya.
“Tulalit-tulalit…Nomor yang Anda tuju berada di luar service area….,” terdengar suara jawaban otomatis.
“Mungkin dia memakai nomor satunya,” batinnya. Masih tersisa harapan.
Tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Sunar lalu menelepon temannya.
“Sudah lihat berita di TV?” tanya Sunar
“Sudah. Bagaimana kabar Mayadi?” jawab suara di seberang.
“Justru itu, aku mau tanya.”
Sunar terduduk lesu. Tangannya merogoh uang logam seratusam. Sejenak menimang-nimangya. Matanya menerawang kejadian lima hari sebelumnya.
Siang itu, Sunar baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman kantor jaringan LSM. Mayadi menghampiri dan menariknya di bawah pohon sawo.
“Biar aku saja yang berangkat,” pinta Mayadi, “Minggu depan isteriku akan melahirkan. Aku butuh uang.”
Sunar hanya mendengus. Dia sebenarnya juga membutuhkan uang. Kontrakan rumahnya sudah habis. Tapi Sunar tidak tega melihat wajah Mayadi yang memelas. Dia tahu, isteri Mayadi mengandung bayi yang sungsang. Bayinya dalam posisi duduk.
“Ayo kita tanya Pimpinan,” ajak Sunar, “mungkin bisa diusahakan kita pergi berdua.” Mereka masuk ruang pimpinan.
“Tidak bisa,” jawab Pimpinan, “jatah dalam proposal hanya satu.”
“Tapi kota ini adalah daerah konflik. Banyak terjadi pelanggaran HAM,” kilah Sunar.
“Makanya perlu dikirim dua orang,” tambah Mayadi.
“Anggarannya sangat terbatas,” jawab Pimpinan pendek. Sunar tersenyum kecut. Dia tahu tabiat pimpinan. Kalau sudah menyangkut dana, tak bisa kompromi lagi.
“Baiklah. Kamu saja yang berangkat,” kata Sunar kepada Mayadi.
Di jaringan LSM itu, mereka berdua sebenarnya berstatus relawan. Mereka.bekerja atas dasar dorongan panggilan hati. Meski begitu, mereka mendapat honor jika terlibat program kegiatan. Saat itu ada kesempatan mengadakan pelatihan di daerah konflik dengan dukungan dana dari luar negeri. Biasanya honornya lumayan, karena ditetapkan dengan standard Dollar.
Rapat pleno digelar. Ada dua kandidat yang dikirim: Sunar atau Mayadi. Sunar memberi kesempatan pada Mayadi.
“Tidak bisa begitu,” kata Wulan, “kita harus memisahkan persoalan pribadi dengan profesionlsime.”
“Supaya adil,kita undi saja” usul Anto.
Semua setuju. Sunar bangkit, merogoh uang logam di sakunya.
“Kamu pilih gambar atau angka?” tanya Sunar
“Angka,” pilih Mayadi.
Uang koin berputar di udara. Gamb arangka ada di bagian atas. Mayadi yang berangkat.
Lima hari kemudian bencana alam menggulung kota yang dituju Mayadi.
***
Jaringan komunikasi sudah pulih, tapi Mayadi tak juga berkabar berita. Masih hidupkah dia? Karena jazadnya tidak ditemukan, berarti ada harapan Mayadi ditemukan masih hidup. Mungkin dia terluka berat.
Sunar memutuskan berangkat ke kota itu. Apapun juga, perjuangan mulia harus berjalan terus.Dia akan meneruskan rencana pelatihan itu sambil sedapat-dapatnya mencari Mayadi. Sunar ingin mengabarkan bahwa isterinya sudah melahirkan bayi perempuan. Dia diberi nama “Sunami”.
(Kisah fiksi ini terinspirasi dari kisah nyata. Untuk mengenang sahabatku. Meski belum lama kenal, tapi pertemanan kita sangat berkesan)
__________________
------------
Communicating good news in good ways
Belum ada user yang menyukai
- Purnawan Kristanto's blog
- 5320 reads
Anda Wartawan Sejati
Pak Wawan, Kisah-kisah yang anda tulis di dalam buku Tuhan Yesus Tidak Tidur miskin sekali dengan luapan emosi anda. Begitu juga kisah-kisah nyata yang anda tulis di pasar Klewer ini, bahkan ketika anda bercerita tentang kisah kecelakaanmotor yang anda alami. Saya sering berpikir bahwa anda adalah seorang yang maaf, berdarah dingin atau anda mencopot emosi anda dan menguncinya di laci ketika anda menulis.
Namun ini kali pertama saya merasakan anda meledak-ledak. Ha ha ha ... Walaupun hanya kisah fiksi, namun senang sekali merasakan luapan emosi anda. Ha ha ha ha ha ... Anda memang wartawan sejati, namun anda manusia sejati. Ha ha ha ha ...
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Anda sangat jeli
Koh Hai Hai,
Anda sangat jeli. Memang, saya sangat sulit mengekspresikan emosi saya dengan media apa pun. Ada dua penyebabnya:
1. Bias Jurnalis. Sebagai jurnalis, saya terbiasa memandang sesuatu dengan seobjektif mungkin, tanpa melibatkan perasaan. Ini mungkin yang terbawa-bawa dalam tulisan saya yang lain.
2. Bias Budaya. Sebagai orang yang memiliki budaya Jawa, saya (kami) terbiasa untuk menyimpan emosi. Lihat saja pak Harto itu. Entah dia marah atau dia senang, dia selalu tersenyum. Kira-kira seperti itulah sebagian orang Jawa yang lebih menekankan harmoni. Perbuatan menunjukkan emosi akan dianggap 'ora ilok' (tidak pantas). Jadi jangan harap saya bisa nyaman dalam ibadah yang emosional (teriak-teriak, loncat-loncat, tepuk tangan, menangis, dll). Saya merasa kurang nyaman. Saya lebih enjoy gaya ibadah kontemplatif. Bahkan saya justru bisa tersentuh bila ikut misa-misa Katolik (walau dengan menangis diam-diam he..he...he)
Tapi ini masukkan yang bagus. Saya akan mencoba mengeksplorasi bagian ini.
------------
Communicating good news in good ways
Anda Sudah Melakukannya
Apa yang anda jelaskan sangat masuk akal. Itulah yang saya pahami tentang jurnalis dan orang Jawa dan hal demikian terkadang membuat saya gregetan. Namun dalam tulisan anda ini anda benar benar meletupkan emosi anda. Sangat alamiah dan indah serta menyentuh.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Jadi malu
Ihiks, jadi malu dipuji begitu
------------
Communicating good news in good ways