Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tuhan,... aku pasti mati.
TUHAN, … AKU PASTI MATI
Seorang Pengelana berjalan menyusuri lereng pebukitan, mencari tempat yang baik untuk berdoa. Sudah beberapa hari ia gagal menemui Tuhan, entah kenapa. Sesekali ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya dengan telapak tangannya yang mulai kisut. Sambil berjalan pikirannya menerawang ke masa lalu, menelusuri perjalanan hidup yang masih diingatnya. Masa kecil yang indah bersama kelima saudaranya. Ayahnya seorang pendekar di sebuah padepokan kecil. Pengelana ini bangga dengan sosok ayahnya yang jujur dan mencintai keadilan. Selain tabiat, dari sang ayah ini juga dia mewarisi ilmu yang dikemudian hari menentukan arah hidupnya. Sebuah kitab tua juga selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Menurut kata sang ayah, isi kitab itu adalah wahyu dari Sang Pencipta yang diturunkan sejak ribuan tahun silam secara bertahap.
Tiba-tiba seekor ular kecil melintas di hadapannya. Sang Pengelana berhenti sejenak dan menatap ular itu dengan tatapan matanya yang sangat tajam. Dengan ketakutan ular kecil itu menyeruak masuk ke semak-semak belukar, dan Pengelana melanjutkan langkahnya.
Tak berapa lama sampailah ia di sebuah goa kecil di lereng bukit itu, dan ia memeriksa keadaan goa tersebut. Hmm, cukup baik dan cocok buat berdoa. Mulut goa itu juga menghadap ke arah sebuah gunung nun jauh di sana, ke arah matahari terbenam. Setelah menaruh bekal yang tiada berapa banyak, segera ia duduk bersila semacam orang bersamadhi. Seorang guru pernah mengajarinya berdoa yang mirip orang bersamadhi. Di beberapa aliran perguruan ada yang mengajarkan, bahwa bersamadhi adalah mengosongkan pikiran, namun, kata sang guru, dengan mengosongkan pikiran, maka roh apa saja bisa nyelonong masuk, memasuki alam roh kita. Yang benar – kata sang guru – adalah: mengisi pikiran dengan TUHAN dan dengan Firman-Nya. Itulah sebabnya Sang Pengelana memutuskan untuk banyak-banyak makan Firman, yaitu membaca dan merenungkan isi kitab ajaibnya. Hafal lebih baik, memahami yang dihafalkan akan jauh lebih baik lagi.
Sebuah pengertian melintas di alam pikiran Sang Pengelana yang berbunyi: “sesungguhnya TUHAN bisa mendengar isi hati seseorang, apalagi yang diucapkan oleh mulutnya”. Pengelana membandingkan “suara” yang melintas di alam pikirannya dan membandingkannya dengan isi kitab ajaibnya, dan: cocok.
Pembaca yang budiman, di awal tulisan ini sudah diberitahukan, bahwa dalam beberapa hari sebelumnya, sang pengelana gagal menemui Tuhan, itu maksudnya begini:
Semenjak Pengelana mendalami ilmu yang dia dapatkan dari kitab ajaibnya, ia merasakan adanya hubungan bathin dengan Sang Pencipta. Walaupun belum pernah melihat Sang Pencipta maupun mendengar suara Sang Pencipta secara langsung, namun ia bisa merasakan “sentuhan” Sang Pencipta. Sang Pengelana juga heran, setiap kali ia “disentuh” Sang Pencipta, secara mendadak “emosinya” akan berubah, dan air matanya membludak keluar tanpa bisa dibendung. Ia terisak-isak bukan lantaran sedih, namun kagum dan kagum lantaran kehadiran-Nya, dan sebagai akhir dari “perjumpaan” itu, hatinya akan sangat lega, sukacita, sejahtera, damai, sejuk. Dalam moment-moment seperti itu, terkadang waktu mulutnya mau ngomong, air matanya mendahului ngomong. Ada sahabat yang bilang: “Kalau kamu ketemu Tuhan kok penginnya menangis, itu karena kamu belum beres, masih ada dosa atau kutuk yang masih mengikatmu.” Entahlah, Sang Pengelana tidak tahu apakah itu sebuah saran yang benar, ataukah “Penghibur sialan kamu semua” (mengutip HAI HAI) , sebab, sepertinya Sang Pengelana sudah seringkali ber-beres sama Tuhan. Semua ilmu sudah dia terapkan untuk supaya suci di hadapan Tuhan. Semua dosa sudah diakuinya, bahkan dosa orang tua, nenek moyang, semua sudah minta ampun kepada Tuhan. Semua orang – sesuai petunjuk kitab ajaib itu – semua orang juga sudah dia ampuni dengan segala kesadaran dan keikhlasan. Jika masih saja ada yang (mungkin) belum beres, setidaknya ia sudah berusaha melakukan dengan segenap kemampuannya, segenap ilmunya dan segenap kepasrahannya kepada Sang Pencipta. Sang Pengelana tetap saja bertanya: Adakah hubungannya antara airmataku dengan kehadiran Tuhan?
Nah, dalam beberapa hari itu, Sang Pengelana gagal menemukan moment indah bersama Tuhan dalam beberapa kali dia berdoa, maka dia mencari tempat yang baik sampai menemukan goa di lereng bukit. Sekarang, mari kita intip apa yang dilakukan Sang Pengelana yang “gila Tuhan” ini selanjutnya.
Merasa diingatkan bahwa Tuhan mendengar bahkan suara hati, maka ia menata hatinya. Ia berusaha agar hatinya jangan ngomong yang enggak-enggak tentang Tuhan. Emosinya masih stabil, belum dirasakannya luapan. Menuduh Tuhan tidak adil adalah kebodohan. Menuduh Tuhan bengis adalah kebodohan. Menuduh Tuhan kejam adalah kebodohan. Tetapi memang Tuhan bisa berlaku kejam jika “didahului”; Dia (terpaksa) bisa kejam kepada siapapun yang lebih dahulu berbuat kejam. Menjaga diri dari perbuatan kejam dan bengis akan meluputkan seseorang dari perlakuan kejam Tuhan. Menuduh Tuhan sebagai tidak peduli adalah fitnah, namun Ia bisa berlaku tidak peduli kepada siapapun yang mengabaikan hukum dan ketetapannya, Firman-Nya. Dalam “bencana alam” di Sodom dan Gomora, Tuhan “tidak peduli” kepada jeritan ratusan orang yang mati gosong dihujani belerang panas, sebab penduduknya menolak kebenaran dan hukum-Nya. Bencana alam dan “ketidak-pedulian” Tuhan bisa merupakan ujian Tuhan JIKA mayoritas penduduk yang terkena musibah itu sudah taat Firman. Tetapi ketidak-pedulian Tuhan dalam sebuah bencana bisa menjadi sebuah teguran, bahkan hukuman, jika mayoritas penduduk menolak Firman Tuhan. Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang melintas di alam pikiran Sang Pengelana yang dengan cermat dibandingkan dengan kebenaran kitab ajaibnya, namun emosinya masih stabil.
(Sementara itu Tuhan dari Sorga menatap apa yang dilakukan Sang Pengelana dengan senyum yang tersungging di bibir-Nya yang Maha Indah, namun DIA masih menahan diri).
Sang Pengelana berkata dengan segenap hatinya: “Tuhan, Engkau tahu bahwa hamba-Mu ini sangat mengasihi Engkau”. Sampai disini Mujizat kesetrum Tuhan, sehingga dipaksa menghentikan sejenak jari jemarinya di keyboard, untuk mendengar suara-Nya, agar bisa mengakhiri kisah Sang Pengelana ini.
“Tuhan, aku ini milik-Mu, lakukan apa saja yang Engkau pandang baik terhadap hamba-Mu ini. Sebab bukan aku yang memiliki Engkau, namun Engkaulah yang memiliki aku. Aku mau Engkau tahu, bahwa hamba-Mu ini merasa bersyukur menjadi milik-Mu. Boleh mengasihi-Mu saja sudah membuat hamba-Mu ini merasa beruntung. Lakukan apa yang Engkau pandang baik. Jika Engkau marah, marahlah. Jika Engkau hendak memukulku karena mengasihi-Mu, pukullah, dan hamba-Mu ini tiada akan pernah bergeser satu inci pun dari hadapan-Mu. Dari-Mu-lah kehidupanku, dan kepada-Mu-lah akan ku kembalikan dengan utuh. “
“Jika Engkau muak padaku, beritahukan penyebabnya, agar hamba-Mu ini menyadarinya, namun janganlah Engkau terdiam begitu. Jika Engkau membuangku, hamba-Mu ini pasti binasa, sebab tiada mungkin hamba-Mu ini berpaling kepada yang lain selain Dikau. “ Mujizat tidak sanggup meneruskan lagi menuliskan kisah anak manusia ini.
Akhirnya, setelah lebih dahulu menjamah Mujizat, maka TUHAN juga mengulurkan tangan-Nya menjamah Sang Pengelana. Mujizat trenyuh melihat kegigihan Sang Pengelana dalam mencari Tuhannya. Ia masih melewatkan berjam-jam bersama Tuhan, dan Tuhan begitu menyayangi anak manusia yang tergila-gila pada-Nya ini.
Haleluya.
Referensi:
Firman yang mungkin dilanggar suatu negeri:
Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Matius 17:5)
Mujizat
- mujizat's blog
- Login to post comments
- 3895 reads