Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Trik memanjurkan doa

Purnomo's picture
Jika hari ini ada pendeta yang tidak punya hape walau sudah lama memintanya dari Tuhan, itu berarti ia telah salah berdoa. Harusnya ia berdoa begini, “Tuhan Yesus, saya butuh hape. Mohon pada ibadah hari Minggu nanti ada jemaat yang hapenya ketinggalan dan Tuhan mencegah ia datang kembali untuk mencarinya.”
– o –


/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

“Sebuah doa yang berharap Tuhan memberkati kehidupan kedua mempelai akan dipersembahkan oleh kelompok remaja gereja kita dalam sebuah lagu,” kata Pak Pendeta dan para sepuh yang sudah siap di depan seperangkat gamelan segera mengumandangkan intro sebuah gending. Dari kursi jemaat di baris belakang serombongan orang berseragam batik bergegas maju ke depan yang membuat jemaat berusaha menahan tawa. “Maksud saya,” kata Pak Pendeta sambil senyum-senyum, “kelompok remaja angkatan tahun enam puluhan. Mohon hati-hati berjalan. Ingat, onderdil Bapak Ibu adalah keluaran tahun empat lima.”

 

Entah sudah berapa lama saya tidak ke gereja ini. Namun saya tidak lupa pendetanya memang suka melucu dan – ini yang jarang ada – beliau tidak marah bila ganti dirinya yang dijadikan bahan lelucon. Ingin nanti waktu menyalami kedua mempelai yang biasanya juga didampingi orangtua dan pendetanya, saya bertanya apakah beliau sekarang sudah punya hape.

 

Sekitar 4 tahun yang lalu untuk membantu gereja ini yang terletak di komplek perumahan yang luas di pinggir kota melakukan kegiatan pelayanan bagi masyarakat sekitarnya, gereja kami membentuk satuan tugas yang beranggotakan pendeta, penatua dan aktivis. Saya sebagai aktivis diikutkan dalam satgas ini. Kegiatan yang telah disepakati adalah memberi kursus komputer akuntansi, fogging, sanggar baca, ceramah kesehatan jiwa dan lomba menggambar untuk anak. Semuanya untuk umum dan gratis.

 

Malam itu kami rapat dengan pendeta dan penatua gereja ini di ruang konsistorinya. Di akhir rapat saya berkata kepada pendetanya, “Pak Pendeta, waktu saya menghubungi telepon pastori suaranya tidak jelas dan sering hilang. Apa bisa saya mendapat nomor hape Bapak?”

“Boleh, boleh,” jawabnya.

Seorang rekan bergegas mengeluarkan buku agendanya siap mencatat sehingga saya merasa tidak perlu ikut-ikutan menulis.

“Dicatat ya,” katanya tanpa mengeluarkan hapenya. “Nol delapan satu, dua tiga empat, lima enam tujuh, delapan sembilan.”

Si pencatat melihat kertasnya dan rasa heran muncul di wajahnya. Ketika beberapa orang tertawa, ia baru sadar sedang dipermainkan.

“Saya tidak punya hape,” kata Pak Pendeta sambil ikut tertawa. “Itu nomor cantik yang sudah saya pesan di kios kartu perdana. Tapi belum saya beli karena hapenya belum ada.”

 

Kalau peristiwa ini terjadi pada dekade 1990, bukanlah hal yang aneh seorang pendeta di kota besar tidak punya hape. Saya sendiri baru memegang hape pada tahun 1996 setelah perusahaan membelikannya dan mengharuskan saya selalu mengantonginya dengan ancaman surat peringatan apabila saya menolak. Tetapi peristiwa ini terjadi pada tahun 2005 ketika hape sudah tidak lagi dianggap barang mewah.

“Apa Bapak tidak minta hape kepada majelis?” tanya seorang teman tanpa peduli di situ juga hadir para penatuanya.

“Sudah, sudah lama saya minta. Masih dalam proses, masih dirapatkan.”

Para penatuanya yang ada di ruang itu senyum-senyum saja.

“Jangan-jangan Bapak tidak berdoa,” komentar teman yang lain.

“Ah, mbokyao jangan kejam menuduh begitu. Saya ini ‘kan pendeta. Masa tidak membawanya dalam doa?”

“Justru karena Bapak seorang pendeta, hal-hal yang Bapak doakan tentu sangat banyak sehingga lupa berdoa minta hape karena kebutuhan untuk diri sendiri ada di urutan paling bawah.”

“Sebaliknya. Hape itu penting bagi saya. Karena kalau saya punya hape, di manapun saya sedang berada, jemaat yang tiba-tiba membutuhkan saya bisa segera menghubungi.”

“Jika Tuhan belum juga mengabulkan doa seorang pendeta, maaf, pasti Bapak salah berdoa,” kata ketua satgas kami.

“Mungkin saja doa saya salah. Pendeta juga tak luput dari kesalahan, bukan? Nah, sekarang ajari saya bagaimana berdoa dengan betul,” katanya dengan wajah serius.

“Seharusnya dalam doa Bapak berkata begini. ‘Tuhan Yesus, saya butuh hape. Mohon pada ibadah hari Minggu nanti ada jemaat yang hapenya ketinggalan dan Tuhan mencegahnya datang kembali untuk mencarinya.’”

Ruangan itu mendadak dipenuhi suara tawa. Bahkan para penatuanya yang seharusnya tersinggung dengan pernyataan-pernyataan kami yang pating ceblung ini, ikut terkekeh-kekeh. Pasti mereka telah diberitahu oleh pendetanya kami ini orang macam apa. Saya tidak ikut berkomentar. Sayangnya saya mudah terkontaminasi oleh lingkungan sehingga ketika suara tawa telah reda saya berkata,

“Pak Pendeta, mungkin yang dimaksud teman saya dengan ajarannya yang vulgar itu adalah kita harus berdoa dengan rincian yang jelas. Seperti yang diajarkan oleh seorang pendeta tenar Korea Selatan yang bukunya berjudul Dimensi Ke Empat pernah laris manis di sini. Bapak harus mengatakan hape merek apa, warnanya apa, nomor serinya berapa.”

“Dan itu harus dikatakan dalam doa syafaat waktu ibadah Minggu,” sigap Pak Pendeta menyambung perkataan saya. “Tidak perlu sampai seminggu pasti doa ini telah terjawab.”

Kembali kami riuh berhahahihi.

– o –

Tentang doa bersama kata Firman di Matius 18:19, Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.” Apalagi bila didoakan oleh hampir 200 orang dalam sebuah ibadah Natal kaum muda, pasti dikabulkan lebih cepat.

“Dan kami tidak lupa membawa Ina dalam doa kami, ya Tuhan,” kata beliau yang memimpin doa syafaat. “Tuhan tahu kerajinan, ketulusan dan dedikasi Ina dalam melayani Engkau di gereja ini. Tuhan tahu betapa ia selalu mendahulukan Tuhan dalam segala hal. Baginya Tuhan adalah segalanya lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini. Karena itu kami maklum ya Tuhan bila tunangannya memutuskan hubungannya dengan dia. Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah mengijinkan peristiwa ini terjadi di mana kami bisa bercermin kepada Ina yang telah Tuhan ubah seluruh hati dan pikirannya. Sedikit pun ia tidak mendendam kepada mantannya. Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Dan kami percaya Tuhan telah menyediakan penggantinya. Tolonglah Ina ya Tuhan agar mereka bisa cepat bertemu supaya pada malam tahun baru ini Ina tidak datang beribadah seorang diri.”

Salahkah cara berdoa seperti ini? Pasti salah bila beliau belum memberitahu gadis itu bahwa namanya akan disebut. Tidak setuju pun akhirnya Ina akan (terpaksa) setuju bila diberitahu jika namanya tidak disebut nanti Tuhan tidak tahu siapa yang dimaksud. Bukannya meragukan Tuhan itu Mahatahu, tetapi bukankah Tuhan sering berpura-pura tidak tahu? Ini kata orang lho yang doanya tidak terkabul.

Kira-kira apa reaksi jemaat muda yang mendengar doa syafaat itu?

“Mana sih yang namanya Ina?” tanya seorang sambil memanjangkan lehernya agar matanya bisa mendapat pandangan yang lebih luas.

“Orangnya cantik enggak? Umur, tinggi, berat badannya berapa?” Memangnya mau beli kambing?

“Mumpung gue juga baru diputusin. Lu kenalin gue dong. Perasaan sih gue nih yang Tuhan pilih buat dia.” Ini orang memang gampang ge-er. Semua main perasaan saja.

“Kalau saja fotonya sekalian ditayangkan di layar, aku bisa bandingkan dengan jadianku.” Waduh, gereja bisa jadi ajang kompetisi kecantikan.

 

Pasti Anda berpikir saya mengada-ada karena tidak pernah mendengar doa syafaat persis seperti ini. Tetapi apakah dalam ibadah Minggu Anda tidak pernah mendengar doa dengan tangga nada yang sama?

“Ya Tuhan, kami ingat akan Ibu Marta yang saat ini sedang berkesusahan. Bulan lalu Tuhan telah panggil suaminya yang selama ini menafkahi Ibu Marta berserta ketiga anaknya. Tuhan, berilah dia kekuatan dan pekerjaan. Kami percaya kasih Tuhan kepadanya. Kami percaya Tuhan tidak membiarkan anak-anaknya tidak bersekolah karena ketiadaan dana.”

 

Orang bisa berbeda pendapat atau malah bingung terhadap doa-doa seperti ini. Tetapi apa pun kata orang, ini adalah doa karena memang diucapkan dalam bentuk doa.

– o –

Sebuah SMS masuk ke hape saya. “Tolong bantu dalam doa agar Tuhan sediakan uang. Anakku kena db dan mau masuk rs.”

Apakah saya langsung berdoa? Seharusnya. Tetapi salah bila saya hanya berdoa saja karena kalimat “tolong bantu dalam doa” adalah salah ketik. Seharusnya ditulis “tolong bantu dalam doana – doa dan dana.”

 

Dari tiga contoh di atas jelaslah kekuatan sebuah doa syafaat. Tetapi contoh-contoh itu – boleh Anda tambahkan kasus lainnya – juga menunjukkan bahwa doa bisa hanya sekedar berfungsi sebagai wahana untuk mengumumkan SOS kepada orang lain. Karena itu tidak heran bila ada orang yang marah ketika pendetanya “bercerita” kepada Tuhan dalam doa syafaat di ibadah Minggu tentang musibah yang baru dialaminya. “Aku tidak ingin dikasihaniiiiiiiiiiiiii,” dia melolong di internet.

 

Seorang teman masuk ke rumah sakit karena trombositnya anjlok sehingga badannya terasa lemas dan mudah kena flu. Hasil observasi mengatakan ia kena pre-leukemia. Hari Minggu kemarin ia sudah hadir dalam ibadah. Tetapi ketika saya cari ia menghilang. Setelah tanya sana-sini saya diberitahu ia dengan beberapa teman sedang berada dalam sebuah ruang tertutup. Ia ingin didoa-syafaatkan.

Doa syafaat tanpa tanda petik tentunya.

(the end)

 

Daniel's picture

+1

Tuhan, saya mendoakan Purnomo supaya tulisannya tidak membuat orang-orang jadi makin mules...

Purnawan Kristanto's picture

Mules lagi


1. Koh Purnomo harus siap-siap dituntut karena membuat perut orang menjadi mulas karena membaca tulisan ini.

2. Judul alternatif untuk tulisan ini: "Doa yang Menodong."

3. Bagaimana kelanjutan cerita pendeta sepuh yang tak punya HaPe itu?


__________________

------------

Communicating good news in good ways

sandman's picture

@Pak Pur bagaimana..

Tantangan bagi anda untuk "menyembuhkan" orang yang baca tulisan ini dengan blog anda?

 

Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.

__________________

joli's picture

Purnomo.. ASEMMM

Purnomo, memang menyebalkan.. 

Tapi akan kuingat tulisan ini, Joli akan PM dikau, karena nggak bisa sms  (no hp Purnomo juga LUPA ke save ternyata..) bila suatu saat  butuh satu orang lagi tuk genapi firman (Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.”) untuk bantuin doa Joli, meski doanya menyebalkan, namun banyak sepakat-nya kayaknya.. Nggak tahu ya, ada yang aneh ni, kenapa bisa lebih mudah sepakat dengan beliau yang menyebalkan ini, dibandingkan dengan beliau yang bermanis mulus di atas mimbar..

 Met Natal ya Purnomo, Salam Natal juga buat Istri dan dua putri tercintanya..