Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tolok Ukur Kehidupan Bermartabat

sidiknugroho's picture

Sidik Nugroho*)

Judul Buku: Simply Amazing, Insprasi Menyentuh Bergelimang Makna
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: xv + 188 halaman
Cetakan pertama, April 2009

"Doa melahirkan percaya, percaya melahirkan cinta, cinta melahirkan pelayanan, pelayanan melahirkan perdamaian," begitu Bunda Teresa suatu ketika pernah berujar. Kata-kata ini tepat benar bila disandingkan dengan hidup seorang biarawan bernama Yusuf Biliarta Mangunwijaya, yang akrab disapa Romo Mangun.

Suatu ketika Romo Mangun diundang berbagi gagasan tentang reformasi dalam sebuah acara. Ia menyanggupi asalkan anak-anak asuh yang dibawanya turut serta. Mereka lalu dibawa ke Restoran Morolejar di lereng Gunung Merapi.

Setelah berbicara ngalor-ngidul soal kenegaraan, anak-anak asuh Sang Romo terpana-pana melihat suguhan restoran yang memikat dan memantik air liur: gurame bakar asam manis komplet dengan nasi rojolele yang mengepulkan asap! Mereka pun makan dengan lahap sampai kekenyangan.

Saat itu Sang Romo melihat ada makanan yang tak dihabiskan. Anak-anaknya menyatakan mereka sudah terlalu kenyang. Romo akhirnya meminta remah-reman makanan tidak habis itu untuk dituang ke piringnya. Adegan itu membuat penyelenggara acara terharu. Namun, kalau Anda mengenal siapa Romo Mangun, Anda tahu bukan hanya saat itu, tapi di sepanjang hidupnya, ia adalah tokoh yang sangat greteh (cermat) dalam soal makanan.

Kita yang seringkali menyia-nyiakan makanan, mungkin dapat berefleksi dari cerita ini: Kesederhanaan hidup mendatangkan kebahagiaan. Yang lebih membahagiakan lagi adalah ketika dalam kekayaan yang kita miliki, kita tetap hidup sederhana karena berempati atas kehidupan orang lain yang menderita, seraya berderma untuk menunjang kesejahteraan orang lain. Memang, kemewahan tak selalu buruk, namun kemewahan yang didasari niat pamer dan berfoya-foya sangatlah buruk. Hidup irit itu baik, namun bila selalu medit dan kikir dengan berdalih sedang mengirit itu amat jelek.

Demikianlah beragam pemikiran tentang hidup yang bersahaja, yang disajikan lewat rekam jejak kehidupan para tokoh yang ditemui penulisnya lewat buku Simply Amazing ini. Penulis bernama J. Sumardianta, yang adalah seorang guru Sosiologi SMA De Britto di Yogyakarta ini, merangkai 34 kisah yang menawan dan menyentuh hati. Pak Guru, sapaan akrab untuk penulis, mengumpulkan lagi tulisan-tulisannya -- yang sebagian besar adalah esai-esai tentang perbukuan yang pernah dimuat di media cetak -- yang kemudian dijadikan satu dalam buku ini.

Esai-esai ini umumnya tak tampil dengan bahasa yang berat atau akademis, namun sangat inspiratif. Selain inspiratif, kata-kata yang dipilih Pak Guru benar-benar selektif. Pak Guru lihai memadukan berbagai pribahasa dan falsafah Jawa, slogan atau idiom Yunani, kutipan Hadits, hingga kata-kata retoris beberapa motivator sehingga esai-esainya tampil memikat dan berbobot.

Bobot tulisan-tulisan dalam buku ini juga terletak pada cara pandang Pak Guru dalam menyampaikan gagasan-gagasannya seputar kehidupan yang bermartabat. Martabat, dari esai-esai Pak Guru, sesungguhnya tidak ditentukan dari seberapa kaya dan tenarnya diri kita, tapi dari seberapa tinggi penghargaan yang kita berikan bagi tiap jerih-lelah dan upaya meraih kebahagiaan dalam kejujuran, integritas dan pengorbanan.

Mbah Setyowikromo adalah pria bersahaja yang amat bermartabat. Ia memiliki istri bernama Khatijah. Setiap pagi Khatijah menyuguhkan teh hangat sebelum Mbah Setyo jualan arang ke Yogya yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari Desa Suko, tempat mereka tinggal. Jualan arang tak mendatangkan untung banyak, sehari berkisar antara 2 hingga 5 ribu rupiah.

Hasil kecil dari pekerjaan yang telah digeluti Mbah Setyowikromo sejak zaman Belanda ini serta-merta membuat Mbah Setyo tak pernah jajan waktu di Yogya. Ia hanya makan sekali sehari, setelah istrinya yang berdagang daun jati menunggunya tiba di rumah. Dari hidup yang sederhana itu, keduanya ternyata masih sempat menabung. Tujuannya menabung adalah agar bisa menyumbang uang 20 hingga 25 ribu rupiah bila tetangga punya hajatan. "Masak kalau kami diberi bingkisan dengan lauk ayam goreng utuh, kami tega memakannya begitu saja?" kata Khatijah.

Perjuangan, tekad, dan pandangan hidup sepasang suami istri yang dikisahkan ulang oleh Pak Guru dari buku karya Sindhunata Segelas Beras untuk Berdua ini rasanya menjadi cermin yang bening nian bagi gaya hidup manusia-manusia perkotaan yang kadang mencari uang dengan cara tidak halal, sering tidak setia, lupa membalas kebaikan dari orang lain, dan telah rabun akut dalam melihat -- juga turut berempati atas -- upaya-upaya orang lain dalam memaknai dan menghargai hidup.

Upaya Pak Guru menghadirkan esai yang inspiratif sarat dengan balutan nilai-nilai spiritual lintas agama. Dalam sebuah bab Pak Guru mengurai dengan gamblang butir-butir pemikiran Al Ghazali (1058-1111) atas karyanya berjudul Ihya' Ulum Al-Din. Ia menyebut Al Ghazali sebagai pemikir terbesar etika politik Islam yang menekankan pentingnya tasawuf. Tasawuf berperan dalam membangun ortodoksi Islam dengan mengedepankan sufisme sebagai upaya pendisiplinan jiwa yang bermartabat.

Bukan hanya ilmuwan luar negeri, Pak Guru juga mengisahkan beberapa ilmuwan Indonesia yang hidupnya diabdikan total bagi perkembangan ilmu. Adalah Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan terkemuka, yang pernah menyebutkan bahwa beberapa ilmuwan yang ada di Indonesia lahir karena bagi mereka, "hidup ini tidak ditentukan oleh nasi." Mereka mendalami sejarah karena mereka benar-benar cinta sejarah. Sartono pernah menceritakan beberapa orang yang hampir abai terhadap uang, mempelajari sejarah dengan ketekunan yang amat tinggi, hingga ilmu itu bagai menjadi sebuah jalan lain untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Semua kisah dalam buku ini pada akhirnya bermuara pada hakikat hidup manusia yang harus senantiasa kembali kepada fitrahnya: berkarya dan berbuat sesuatu. Fitrah itu, bila dipadu dengan minat dan kemampuan yang memadai, akan menghasilkan sesuatu yang berarti dan berguna. Hasrat yang besar adalah nafas dari perpaduan itu, yang memampukan seseorang untuk terus maju dan tak mudah menyerah. Tampaknya, inilah tolok ukur hidup bermartabat, yang menjadi jejak kembara Pak Guru atas buku demi buku, manusia demi manusia. ***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penikmat buku yang punya blog di http://tuanmalam.blogspot.com

Purnawan Kristanto's picture

@ Tuan Guru Sidik

Tuan Guru Sidik,

1. Tentang menghargai makanan, saya ingat cerita pak Xavier tentang Koh Den [Daniel Alexander]. Kalau makan bersama beliau, sebaiknya kita menghabiskan makanan yang kita ambil. Kalau tidak akan menanggung malu karena beliau akan mengambil sisa makanan kita dan menghabiskannya.

2. Tentang kisah inspiratif: Saya punya teman yang tinggal di wilayah pegunungan seribu, Gunungkidul sebelah selatan. Dia menjadi guru agama Kristen honorer di SMP negeri dan SD Kristen. Tahukah imbalan yang diterimanya? Hanya segelas teh manis yang terhidang di kantor guru. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya, maka dia harus bekerja sebagai tukang batu dan buruh serabutan. Meski begitu, dia menunaikan tugas pelayannnya dengan sukacita.

3. Numpang tanya: Yang baku itu "tolok ukur" atau "tolak ukur"?

 


 www.purnawan.web.id

__________________

------------

Communicating good news in good ways

sidiknugroho's picture

pak daniel mirip romo

pak daniel mirip romo mangun. saya juga sempat dengar kabar-kabar tentang kerohanian beliau. memberkati.

bisa jadi renungan indah sekali, kisah guru itu. matur nuwun sanget, mas wawan.

kelihatannya tolok, mas. :-D