Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Titah Kadaluwarsa

Purnomo's picture

Pernah, sebelum “badai” meluluh-lantakkan gereja-gereja di daerah tapal kuda Jawa Timur, saya menghadiri kebaktian Minggu di sebuah gereja di Situbondo. Kebetulan hari itu ada baptis dewasa. Gereja itu termasuk kelompok gereja lama, atau biasa disebut main stream. Saya tidak bisa melupakan acara itu karena para baptisan diminta mengucapkan 2 janji yang belum pernah saya dengar di gereja lain.

 
Pertama, berjanji setia memberikan persembahan persepuluhan.
Kedua, berjanji mengajarkan iman kristiani kepada anak-anaknya serta membawa mereka ke Sekolah Minggu.
Janji pertama menuntut peran serta mereka dalam kehidupan Gereja masa kini, dan janji kedua meminta komitmen mereka terhadap kehidupan Gereja di masa mendatang.
 
Meminta baptisan setia memberi persembahan persepuluhan (selanjutnya disingkat ppsp) menjadi sesuatu yang luar biasa ketika gereja-gereja main stream tersipu-sipu bila berbicara tentang kewajiban ini sementara gereja main stick menggebu-gebu meneriakkannya sebagai kewajiban utama di atas mimbar. Kewajiban? Atas dasar apa ppsp ini dijadikan kewajiban?
 
Produk Perjanjian Lama
Memang Abraham memberikan 10% kepada Melkisedek (Kejadian 14:17-20). Memang Yakub menjanjikan kepada Allah 10% dari semua yang dimilikinya (Kejadian 28:20-22). Tapi itu dilakukan berdasarkan inisiatip mereka sendiri, bukan karena perintah. Dari manakah Abraham dan Yakub mendapatkan angka 10% ini? Kemungkinan besar dari kebiasaan dalam agama-agama kuno Timur Tengah yang mewajibkan orang memberikan sepersepuluh hartanya kepada ilahnya, karena angka 10 merupakan simbol keseluruhan atau kesempurnaan.
 
Memang kemudian Tuhan mengharuskan bangsa Israel memberikan ppsp untuk biaya hidup orang Lewi (Ulangan 14:22-29). Itu pun masih ditambah 10% untuk pemerintah (1 Samuel 8:14-17) dan sekian prosen lagi untuk ini dan itu (lihat artikel “Persembahan Perpuluhan”nya Lian Aldora). Tetapi apakah ppsp produk Perjanjian Lama ini masih berlaku dalam jaman Perjanjian Baru?
 
Perjanjian Baru menghapusnya
Segala hukum dalam Perjanjian Lama sudah digenapi Tuhan Yesus. Tidak ada lagi larangan tentang makanan haram. Tidak ada lagi aturan untuk memusuhi bangsa kafir. Tidak ada lagi keharusan menaikkan doa permohonan ampun lewat imam besar. Lihat saja Perjanjian Baru, tidak ada ayat yang mengharuskan kita memberikan ppsp, bukan?
 
Jadi? Ya jelaslah, persembahan oke, tetapi jangan pakai tarip dong! Terima gaji dipotong pajak penghasilan 15%. Uang yang sudah disunat dibawa belanja, kena pajak PPN 10%. Beli rumah kena pajak, lalu tiap tahun kena pajak PBB. Sekarang Gereja mau nodong 10% lagi? Makan angin kita nanti. ‘Kan sudah jelas persembahan itu dasarnya sukarela, tidak dengan duka apalagi dipaksa. Kenapa sih masih diributkan saja? Kalo maksa, bagusan gue cabut dari gereja ini. Nah loe! Kalo sudah diancam begini apa pendeta berani mengkotbahkan ppsp dari atas mimbar? Untunglah saya bukan pendeta sehingga saya tidak risih meneruskan perdebatan ini.
 
Sikap Yesus terhadap persembahan
Dalam kegiatan pelayanan-Nya, Yesus selalu di bawah “pengawasan” musuh-Nya. Apa saja yang dilakukan-Nya dan dinilai tidak sesuai Taurat pasti jadi berita besar. Menyembuhkan orang di hari Sabat, membiarkan diri-Nya disentuh pelacur, bertamu di rumah pemungut cukai, makan bareng dengan orang berdosa, tidak mencuci tangan sebelum makan, tidak berpuasa ketika orang lain melakukannya. Karena tidak ditulis di 4 Injil, saya yakin seyakin-yakinnya Yesus menyetor ppsp. Sebab bila tidak, pasti akan dikritik oleh orang Farisi dan tercatat di Injil.
 
Yesus telah menyatakan kedatangan-Nya tidak untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. “Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Matius 5:17). “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (ayat 19).
 
Yesus menggenapi hukum Taurat dan hukum lain dalam kitab para nabi, dalam arti “mengisi semangatnya”. Selama masa Perjanjian Lama, hukum adalah kalimat yang tidak berjiwa. Orang hanya menuruti apa yang tersurat, bukan yang tersirat. “Kuduskanlah hari Sabat,” artinya selain kegiatan beribadah, jangan melakukan apa-apa, termasuk menolong orang sakit karena itu tidak tertulis dalam kalimat “kuduskanlah hari Sabat”.
 
Karena itulah Yesus meminta kita berbuat melebihi apa yang telah dilakukan oleh ahli Taurat dan orang Farisi. Melebihi dalam arti lebih benar, lebih mendalami apa yang tersirat, tahu untuk apa hukum itu diadakan. “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:20).
 
Dan tentang ppsp Yesus berkata, “Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Lukas 11:42). With all my respect, tolong Anda baca kembali ayat di atas pelan-pelan? Jelas? “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” bisa dibaca “Membayar persepuluhan harus dilakukan dan melaksanakan keadilan dan kasih Allah juga harus dilakukan.” Apakah kalimat ini boleh ditafsirkan bahwa Yesus telah meng-“expire”-kan perintah persembahan persepuluhan?
 
Seharusnya inti perdebatan apakah ppsp masih berlaku atau tidak bukan tentang persembahan itu sendiri, tetapi tentang motivasi di dalam memberi persembahan. Jika kita “mengasihi Tuhan, Allah kita, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan kita” (Markus 12:30), maka ppsp kita tidak lagi 10%, bahkan lebih. Bukankah uang adalah unsur utama dari “kekuatan” kita? Bukankah dengan uang kita bisa membeli apa saja? Bahkan trend terbaru adalah uang bisa membeli siapa saja. Karena itu yang menjadi penghalang terbesar dalam memberi ppsp adalah kita menempatkan uang sebagai prioritas utama dalam hidup kita. Maka Markus 12:30 berubah artinya menjadi “Aku mengasihi uang dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi dan dengan segenap kemampuan saya.” Uang seharusnya kita pergunakan untuk mengasihi Tuhan Allah kita. Tetapi sekarang tampaknya tidak aneh bila ada orang yang mempergunakan Tuhan Allah untuk mengasihi uang.
 
Tidak perlu mempergunjingkan orang kaya raya yang memanfaatkan gereja untuk mencari uang. Lihatlah diri sendiri terlebih dahulu. Tanya mengapa Anda dan saya datang ke gereja? Untuk menyembah Tuhan Yesus? Atau untuk menyembah uang?
 
Diam-diam atau berterang-terang saya ingin gereja mempunyai pelayanan yang holistik. Apa arti holistik? Menyeluruh! Gereja harus menyediakan sekolah murah untuk anggotanya tetapi guru-gurunya harus menerima gaji paling sedikit 2 juta rupiah. Gereja harus mempunyai poliklinik dengan tarip murah untuk anggotanya tetapi obatnya bukan generik. Gereja harus bisa memberikan pekerjaan bagi anggotanya yang sedang menganggur tidak peduli yang bersangkutan lulus SD saja tidak. Gereja harus bisa meminjamkan uang untuk anggotanya yang butuh modal untuk buka usaha dan tidak meributkan bila si peminjam tidak ingat mengembalikannya. Gereja harus bisa menyediakan tenaga pendeta yang bisa ditemui anggotanya kapan saja bila mereka dilanda stress baik siang maupun tengah malam.
 
Dengan keinginan seperti ini saya cenderung menghina anggota gereja yang kaya tetapi tidak mampu membuat gereja saya mempunyai pelayanan “holistik” seperti itu sehingga membuat saya frustasi. Saya frustasi karena tidak berhasil menikmati fasilitas gereja yang saya dambakan. Dengan keinginan seperti ini saya cenderung mencari uang receh ketika kantong persembahan diedarkan karena saya memegang kalkulator ketika memasukkan uang ke dalam kantong itu. Saya ingin “membeli” berkat melalui persembahan. Saya telah melakukan sebuah transaksi bisnis ketika memberi persembahan.
Matius 6:24 “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."
 
Seorang ibu meratap-ratap memohon Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan. Tetapi murid-murid-Nya mengusirnya seperti menghalau anjing karena ia orang Kanaan, bangsa kafir. Ketika Yesus menolak membagikan berkat Israel kepadanya, ibu itu meratap. “Saya menyadari di mata Tuhan saya tak lebih daripada seekor anjing. Tetapi ijinkan saya menyuruk di bawah meja anak-anak-Mu, menjilati remah-remah roti yang jatuh di lantai” (Mat 15:21-28).
 
Sekarang kejadian yang menyedihkan ini terulang kembali ketika kita mengatakan tidak menyediakan roti untuk Tuhan! Tuhan, tunggu sajalah remah-remah rotiku yang jatuh ke lantai. Dengan mencari-cari uang receh untuk persembahan, kita telah menempatkan Tuhan di bawah meja makan kita. Maaf, pernyataan ini teramat sangat kurang ajar. Tetapi sulit mencari kalimat yang lebih halus tanpa mengaburkan kekurang-ajaran kita dalam memberi persembahan.
 
Sedikit demi sedikit
Karena ppsp itu bukan lagi tentang angkanya, tetapi semangatnya, marilah kita sedikit demi sedikit berusaha untuk meningkatkan mutu persembahan kita. Jika angka 10% telah kita capai, jadikanlah angka itu sebagai angka minimum. Jangan hanya karena kita sudah menyetor ppsp ke gereja, kita menolak menolong paman sendiri yang sakit tetapi tak punya uang untuk berobat; berkeberatan membantu meringankan uang sekolah keponakan sendiri yang tak mampu.
 
Bagi Anda yang berkekurangan, janganlah berkecil hati bila belum bisa memberi ppsp. Percayalah, Tuhan Yesus tetap mengasihi Anda. “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu” (2 Korintus 8:12). Jadi jangan berhutang ke tetangga hanya karena ingin menyetor ppsp.
 
Bila kerinduan Anda menyatakan syukur dalam ppsp tetap berkobar (dan memang seharusnya terus berkobar), mari melakukannya selangkah demi selangkah. Jika penghasilan Anda 500 ribu sebulan, jangan bergegas menyisihkan 50 ribu rupiah untuk persembahan, walaupun pendeta Anda mengatakan itu keharusan. Saya yakin uang itu akan Anda serahkan dengan berat hati, karena pikiran Anda galau membayangkan uang sekolah anak Anda tidak terbayar bulan ini.
 
Hitung berapa banyak uang yang Anda masukkan ke dalam kantong kolekte setiap Minggu. Seribu rupiah? Itu berarti 4.000 rupiah sebulan. Naikkan menjadi menjadi 5.000 rupiah sebulan. Tidak banyak naiknya, hanya 250 rupiah setiap Minggu. Tetapi sekarang Anda sudah memberikan 1% dari seluruh penghasilan Anda. Setelah 2 bulan, naikkan menjadi 1.5% atau 7.500 rupiah, yang berarti 1.800 rupiah setiap Minggu. Kapan Anda naikkan menjadi 2% atau 10 ribu rupiah sebulan? Gumulilah dalam doa pribadi Anda tanpa mempedulikan tuduhan “Anda sedang mencuri uang Tuhan”. Perkataan seperti itu hanya boleh diucapkan bila Tuhan kita adalah Tuhan yang lemah dan bodoh karena tidak bisa menjaga milik-Nya. Kalau Tuhan tidak bisa menjaga uang-Nya, bagaimana Ia bisa menjaga Anda dan saya yang jauh lebih berharga daripada uang sehingga darah Putera-Nya terkuras habis untuk menebus kita dari tempat pegadaian Iblis?
 
Di dalam memberi persembahan, hanya ada 2 pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Mereka adalah Anda dan Tuhan. Tidak ada pihak ketiga! Jika muncul juga, dia adalah pemeras atau broker yang mengejar komisi. Singkirkan dia dari pikiran Anda. Jika sulit, pindah gereja saja daripada setiap Minggu bertemu dengan calo yang sadisnya melebihi black debt collector.
 
Gajah diblangkoni
Gajah diblangkoni, iso kotbah ora biso nglakoni (bisa kotbah tak bisa menjalani),” begitulah sering orang berkomentar sinis terhadap kotbah yang tidak disukainya. Apakah saya setia memberikan ppsp kepada Tuhan sehingga berani menyuruh orang memberi ppsp? Ya, saya melakukannya dengan diam-diam. Tetapi apakah saya tahu sulitnya orang miskin berjuang membiayai hidupnya sehingga tega-teganya juga menganjurkan mereka untuk mulai memberikan ppsp?
 
Saya sering mengunjungi rumah orang miskin untuk memastikan apakah ia layak disantuni oleh Gereja, atau ia hanya berpura-pura miskin. Ketrampilan saya menilai ini bukan karena saya bekerja di HRD yang sering mewawancarai calon pegawai baru. Tetapi karena saya “gajah disalami”, bisa kotbah karena mengalami.
 
Waktu remaja saya hidup dalam kemiskinan, sangat miskin bahkan. Saya ingat suatu malam Ayah membangunkan saya yang tidur di ruang depan. “Papa rasanya sudah tak kuat lagi,” katanya berbisik. “Kalau nanti Papa dan Mama pergi, dan tidak kembali, kamu sebagai anak tertua atur adik-adikmu seperti dalam catatan ini. Tapi catatan ini jangan ditunjukkan kepada siapa pun,” katanya sambil memberikan secarik kertas. Dalam cahaya lampu minyak tanah saya melihat ada 2 kolom dalam catatan itu. Kolom pertama berisi nama anak-anaknya, dan setiap nama diberi garis penghubung ke kolom sampingnya yang berisi 3 nama panti asuhan dan 1 nama teman akrabnya. “Kamu mengerti?” tanyanya. Saya mengangguk, dan ia kembali ke kamar tidurnya.
 
Saya tidak bisa berpikir sedikit pun. Otak saya kelu. Tetapi saya tahu, kemiskinan kami sudah mencapai titik nadir, di mana ribuan burung gagak telah menutupi matahari. Kemiskinan kami sudah berbau kematian, yang tersirat dalam kalimat “kalau nanti Papa dan Mama pergi dan tidak kembali”. Kami tidak pernah tahu besok bisa makan atau tidak. Satu persatu perabot rumah tangga dijual. Pakaian ayah dan ibu saya helai demi helai dititipkan di rumah gadai dan tidak pernah bisa ditebus. Tetapi berkat Tuhan datang setiap hari melalui pertolongan yang tak terduga. Dan pertolongan-Nya inilah yang membuat “surat wasiat” ayah saya tidak memenuhi syarat “undang-undang kebangkrutan”.
 
Karena itu saya kepingin banget memberikan ppsp sebagai ungkapan terima kasih saya, walaupun pendeta saya tidak pernah mengkotbahkannya, walaupun waktu katekisasi ppsp hanya berupa anjuran. Saya merasakan kasih sayang Tuhan Yesus dalam kemiskinan saya. Hampir setiap malam ketika berbaring menjelang tidur saya menaikkan doa dengan suara pelan, dengan mata terbuka. Saya benar-benar merasa Tuhan Yesus datang duduk di tepi tempat tidur saya, mendengarkan keluh kesah saya. Saya merasakan keakraban yang luar biasa. Saya mohon Tuhan Yesus mengijinkan saya memberi ppsp! Padahal setiap hari Minggu saya tidak pernah memasukkan uang serupiah pun ke dalam kantong kolekte karena setiap akhir bulan bos saya memberikan amplop yang berisi sedikit uang dan beberapa lembar bon hutang saya.
 
Suatu saat saya menerima gaji utuh! Aduh, saya senang sekali! Segera saya sisihkan sepersepuluhnya, yang bila dikurs nilai uang sekarang berjumlah 50 ribu rupiah. Saya bungkus dengan secarik kertas koran. Ketika kebaktian Minggu berlangsung, antara sebentar saya meraba saku, kuatir uang itu hilang. Tetapi apalah artinya uang sejumlah itu untuk gereja ini yang dalam 1 hari Minggu mengumpulkan kolekte sebesar 35 juta rupiah? Seumpama Allah Bapa sedang mendirikan tembok kota Yerusalem, saya ini hanya menenteng semen 1 ons sementara orang lain mengirimkan pasir, batu, semen berton-ton. Apakah uang ini punya arti? Bukankah lebih berguna bagi keluarga saya yang miskin daripada untuk gereja kaya ini? Pikiran saya kalut ketika kantong kolekte diedarkan. Masukkan tidak, masukkan tidak. Dan, uang itu saya masukkan ke kantong kolekte.
 
Mendadak saja saya menangis tanpa suara. Hati saya terperas haru karena menyadari pada akhirnya Tuhan ijinkan saya memberikan persembahan persepuluhan dalam kemiskinan saya. Rasanya Allah Bapa duduk di samping saya dan berbisik: “Well done, My son. Aku tidak akan mengijinkan orang menghina uang itu, karena Aku melihat semua milikmu ada di situ – justru yang sangat kamu perlukan untuk hidupmu” [Markus 12:41-44].
 
Pengalaman rohani yang luar biasa ini tak pernah saya lupakan, dan kemudian menjadi penggerak semua kerja pelayanan saya untuk Tuhan Yesus. Inginkah Anda mengalaminya juga?
 
(selesai bagian ke-2 "Memberi itu tidak gampang")
 
Memberi itu tidak gampang,
bag.1 – Derma untuk Gereja
bag.2 – Titah Kadaluwarsa
bag.3 – Kau lah segalanya bagiku
bag.4 – Mengebiri Kitab Maleakhi

 

Samuel Franklyn's picture

Lukas 11:42 untuk orang Farisi bukan untuk orang percaya

Lukas 11:42 untuk orang Farisi bukan untuk orang percaya.

Luk 11:42
(42)  Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.

Kalau ini untuk orang percaya maka kita juga harus memberi persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran. Apa ada yang pernah memberi perpuluhan dalam bentuk sayuran? Apa ada gereja yang mengajarkan bahwa persepuluhan itu boleh dalam bentuk sayuran? He he he. Ayat diatas harus ditafsirkan sebagai teguran kepada orang Farisi bahwa mereka melupakan keadilan dan kasih Allah walaupun mereka menjalankan perpuluhan. Itu tafsiran yang wajar dari ayat diatas.

Purnomo's picture

Matius 16:6 bukan untuk kita.

(Matius 16:6) Yesus berkata kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki."

Dengan mempergunakan konsep berpikir SF di atas, maka Matius 16:6 juga bukan untuk orang percaya. Sekarang tidak ada orang Farisi dan Saduki. Dua kelompok ini juga tidak bisa diartikan para rohaniwan gereja (pendeta, penginjil, gembala sidang) masa kini karena mereka tidak memiliki atau berjualan ragi. Jika mereka ingin menyantap tape, mereka membeli tape, bukan membeli ragi dan singkong. Dengan demikian kita tidak perlu berwaspada. He he he.

SF, jika saya mendengar seorang anak SD mengatakan 5 + 2 tidak sama dengan 7, saya berani langsung berdiskusi dengannya. Tetapi bila pernyataan itu datang dari seorang graduate, saya tidak berani langsung berdiskusi. Saya harus mengetahui terlebih dahulu “What’s beyond the statement?”

Karena itu terhadap komen SF, saya tidak menjawab “menerima” atau “menolak”. Setelah menyimak artikel-artikel SF, saya yakin ada “hidden positive will/input” di balik statement SF.

Berdasarkan statement ini saya terinspirasi untuk menulis bagian ke-4 di bawah judul “Mengebiri Kitab Maleakhi”.

Thank so much untuk masukannya. GBU.

Samuel Franklyn's picture

Yesus mendukung persepuluhan dalam konteks PL

Yesus mendukung persepuluhan dalam konteks PL (Perjanjian Lama). Pada saat Yesus berkata kepada orang Farisi maka PL masih berlaku dan PB (Perjanjian Baru) belum dimulai. Jadi konteksnya Yesus mendukung persepuluhan kepada orang Lewi dan fakir miskin dalam Perjanjian Lama. Apakah pada saat ini PL sudah tidak berlaku? PL masih berlaku akan tetapi tidak buat orang percaya. Orang tidak percaya berada dibawah pengendalian Perjanjian Lama/Hukum Taurat. Yang berlaku buat orang percaya adalah Perjanjian Baru.

Kolose 2:13-14
(13)  Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita,
(14)  dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib:

Kolose 2:13-14 (KJV)
(13)  And you, being dead in your sins and the uncircumcision of your flesh, hath he quickened together with him, having forgiven you all trespasses;
(14)  Blotting out the handwriting of ordinances that was against us, which was contrary to us, and took it out of the way, nailing it to his cross;

Col 2:13-14 (Basic English)
(13)  And you, being dead through your sins and the evil condition of your flesh, to you, I say, he gave life together with him, and forgiveness of all our sins;
(14)  Having put an end to the handwriting of the law which was against us, taking it out of the way by nailing it to his cross;

Perjanjian Baru itu sederhana sekali:

Yohanes 13:34
(34)  Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

Dan memberi adalah salah satu ekspresi kasih kita.