Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SOLOBALAPAN

anakpatirsa's picture

Entah darimana ia mendapat nomorku. Akal sehatku sulit menerima bila ia mendapatkannya dari saudara di pedalaman sana. Kami menganggapnya sudah mati dan tidak pernah membicarakannya lagi. Bila ada yang menyebut namanya, seseorang langsung berkata, "Hus... jangan membicarakan orang yang sudah mati, pamali."

Bahkan di depan Tante, ibunya, kami tidak boleh memikirkan nama itu.

Ia pasti tidak mendapatkan nomorku dari Facebook, aku tidak punya akun di sana dan tidak pernah berniat membuatnya. Ia juga tidak bakalan mendapat nomorku dari Google, Yahoo ataupun bing. Nama asliku hanya muncul di satu halaman mesin pencari, aku juga tidak yakin ia tahu tombol Enter. Ia hanya tahu menggunakan tangannya untuk membuat usus orang terburai.

Tidak terlalu penting darimana ia mendapatkan nomorku. Aku harus menemuinya, dan berharap setelah itu ia menjauhi kehidupanku.

***

Pesan singkat yang kuterima tadi berbunyi, Aku main ke Solo, sampai di Stasiun Solo jam 11:23.

Di bawah pesan ada namanya, Sutas.

Stasiun Solo, banyak pendatang tidak menyertakan kata 'balapan'. Bila tidak mengenal kota ini, bisa-bisa aku menjemputnya di Stasiun Brebes atau Purwosari. Sudah tiga tahun tinggal di sini, aku cukup mengenalnya. Stasiun Solo berarti "Stasiun Balapan"-nya Didi Kempot. Aku sering melihat video klipnya yang menghiasai semua lapak CD bajakan di seluruh pelosok kota ini.

Aku hanya mengenal tiga stasiun, Lempuyangan, Tugu, dan Solo Balapan. Di Stasiun Tugu, aku melihat kereta api dari dekat untuk yang pertama kalinya. Di Stasiun Lempuyangan, aku naik kereta api untuk pertama kalinya.  Di Stasiun Solo Balapan, aku turun dari kereta untuk pertama kalinya. Pulauku tidak memiliki kereta api, aku mengenalnya hanya melalui gambar-gambar di buku sekolah. Di buku pelajaran IPA kelas lima, ada gambar yang kusukai, seorang anak kecil mempelajari getaran dengan menempelkan telinganya di atas rel.

Tulisan SOLOBALAPAN terpampang di dinding depan bangunan stasiun. Hati bertanya, mengapa tempat lain menuliskannya Solo Balapan? Pernah kubaca ini karena aturan penulisan nama tempat, tetapi kepalaku sedang penuh. Jadi, aku hanya duduk melamun sambil bersandar pada tiang stasiun, melupakan masalah spasi itu.

Pikiranku melayang ke pulauku.

Aku sudah mendengar cerita, takdir Sutas memang harus berakhir di ujung parang. Takdir itu tertulis di keningnya. Para sangiang atau dukun sudah berusaha menghapusnya, tetapi tanda itu tetap bercokol di dahinya. Selama masih suka berkelahi dan sok jagoan, berarti tanda itu belum hilang. Tanda itu yang membuatnya sedikit-sedikit menantang orang berkelahi, tanda itu juga yang membuat orang ingin memukul kepalanya. Bila ada anak kecil menangis karena dipukul Sutas, sang ibu tinggal menghiburnya dengan berkata, "Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi, Si Sutas itu nanti juga mati karena parang orang." Anaknya pasti langsung diam, merasa terhibur.

"Kereta Sancaka dari Surabaya berhenti di jalur lima," kira-kira begitulah bunyi pengumuman yang kudengar.  Aku tidak terlalu memperhatikannya.

Aku pasti tidak mengenali muka Sutas lagi. Entah sepuluh atau dua puluh tahun kami tidak bertemu, aku terlalu malas menghitungnya. Dulu, setiap "turun gunung", kembali dari Pegunungan Muller, ia pasti main ke rumah. Menghabiskan sebagian hasil penjualan sarang burung waletnya bersama kami. Bila tukang bakso lewat, kami boleh makan bakso sepuas-puasnya. Bila tukang es krim lewat, kami boleh makan es krim sampai sakit perut. Bahkan suatu kali ia memborong pentol. Aku dan adik-adikku tidak akan pernah bisa melupakan rasanya menghabiskan pentol itu sampai muntah.

Lalu, suatu hari, polisi mendatangi rumah kami. Melihat isi rumah sampai ke bawah tempat tidur.

Sejak itu, Sutas mati.

***

Sebuah pesan singkat masuk, Aku sudah turun di Stasiun Solo.

Kubalas singkat, Aku tunggu di pintu keluar, duduk di teras, baca majalah.

Sengaja aku tidak masuk ke dalam, berharap ia tidak menemukanku sehingga langsung pergi.

Aku benar-benar tidak mengenalnya. Pria tigapuluhan akhir yang menepuk keras punggungku itu bukan lagi Sutas yang pernah kukenal. Juga tidak sekurus bayanganku tentang  seorang buronan.

Ia tampak makmur untuk seorang yang sudah mati.

Tidak ada kata manis yang bisa kuucapkan, kecuali, "Hei!"

Aku bergidik saat menyambut tangan itu.

Tangan yang keras, kasar dan berlumuran darah.

Tanganku kutarik cepat. Aku tidak menyukai genggaman hangatnya. Bukan salahku bila bergidik menyentuh telapak yang pernah menusuk perut manusia sampai ususnya keluar.

"Ayo kita cari makan," katanya.

Aku cuma mengangguk. Mengajaknya ke tempatku? Apa kata teman-teman bila tahu seorang pembunuh bersembunyi di kamarku? Bagaimana kalau tiba-tiba polisi mengepung rumah? Aku pasti ikut masuk televisi. Sudah kulihat acara televisinya. Kamera itu lebih menakutkan daripada todongan pistol.

Ia saudaraku. Tetapi kuharap ia melihat penolakan. Kuharap ia tahu diri sehingga menjauhi kehidupan tenangku di kota tenang ini.

"Mengapa kamu ke Solo?" ia bertanya, berusaha membuka percakapan.

Hatiku bertanya, Mengapa kamu juga ke pulau ini? Mengapa ke Solo? Tidak kutanyakan. Percuma. Aku tidak bakalan mendapat kejujuran. Aku sudah tahu alasan sebenarnya, pulau kita sudah menyusut, sehingga terlalu kecil untuk bersembunyi.

Aku tidak menyukai ketenangannya, sama sekali kelihatan rasa takut atau cemas. Duduk tanpa gelisah. Aku berharap sesekali melihatnya menoleh ke belakang, bersikap layaknya buronan di televisi. Aku bermimpi bila berharap ia berbicara pelan dengan mata melirik kiri-kanan. Ia sama sekali tidak mencurigai penghuni meja sebelah sebagai polisi yang menyamar.

Ia akhirnya menyadari penolakkan itu. Tiba-tiba saja berkata, "Aku mau ke Jogja. Kita langsung ke stasiun, ya?"

Mukaku pasti berkata jujur, ia pasti melihat matahari pagi.

Kulihat tatapan itu, mukanya berubah. Seperti perubahan muka keponakanku saat menyadari, tidak ada yang mengijinkannya ikut naik perahu menyeberangi sungai. Aku tidak peduli, salahnya sendiri. Siapa yang menyuruhmu buron? Aku tidak mau berurusan dengan sepupu buron.

Aku langsung bangkit. Ia langsung mengeluarkan dompetnya begitu sampai di depan kasir. Membayari makanan sederhana kami. Aku lebih suka kami membayar sendiri-sendiri makanan itu, tetapi ia sudah berkata, "Semuanya berapa, Bu?"

Kami tinggalkan warung itu tanpa kata-kata.

Untunglah kereta Prameks berangkat lima belas menit lagi, sehingga aku tidak harus menemaninya terlalu lama. Perubahan sikapnya membuatku merasakan sebuah jarak yang sangat jauh. 

Aku menghindari percakapan dengan berpura-pura memperhatikan relief di dinding. Sambil berdiri menunggu kereta, kuperhatikan gambar wanita yang sedang membatik serta tokoh wayang yang mungkin Gatotkaca. Kulihat banyak gambar di sana, ada monyet, gajah, rusa dan candi. Pria yang sedang menarik panah itu pasti Rama dan wanita cantik itu pasti Sinta. Monyet putih itu pasti Hanoman. Lalu di bawahnya ada gambar rangkaian gerbong kereta api.

Akhirnya kereta kuning itu muncul.

Saat ia mau naik, aku tidak berbasa-basi. Tidak kuucapkan kalimat ampuh, "Main ke sini lagi, ya?" Tidak! Aku tidak mau ia mengganggu hidupku.

Ia menjulurkan tangannya. Kali ini kurasakan tangan itu ditarik cepat.

"Terima kasih ya," katanya kaku.

"Sama-sama," jawabku sedatar mungkin.

Senang dan lega tidak bisa kugambarkan saat kereta Prambanan Ekpress itu bergerak ke barat. Sebuah gunung tiba-tiba lepas dari pundak, kutinggalkan Solo Balapan dengan langkah panjang.

Terima kasih Tuhan, Engkau tidak mengijinkan buronan menginap di rumahku.

***

Komputer di atas meja ruang tamu masih hidup. Sengaja tadi tidak kumatikan. Iseng, kuketik nama lengkap Sutas di mesin pencari, ribuan hasil. Lalu kutambahkan kata 'buronan' dan nama provinsi kami di belakangnya.

Nama itu muncul di urutan pertama. Koran online, berita singkat Desember lalu. Beberapa napi mendapat pengampunan dari presiden. Salah seorang napi, Sutas, seharusnya menjalani hukumannya lima belas tahun, tetapi mendapat hadiah natal. Bebas setelah dua belas tahun menjalani hukumannya.  Ia telah membunuh seseorang dalam sebuah perkelahian memperebutkan goa sarang walet.

Aku sama sekali tidak tahu Sutas masuk penjara. Keluarga tante menyembunyikannya. Rasa malu karena ada anggota keluarga masuk penjara membuat mereka menutupnya rapat-rapat. Kalau saja aku tahu, pasti kujenguk Sutas ketika aku pergi ke kota. Akan kubawa pentol sebanyak-banyaknya.

Seandainya tadi aku tahu, aku akan menerimanya di rumah ini. Akan kupamerkan internet padanya. Akan kuajak ke restoran, bukan ke warung murah depan stasiun. Akan kutraktir makan udang, ikan kesukaannya. Setelah itu akan kuajak ke pasar barang antik, supaya bisa menertawai kebodohan kami yang menyimpan barang rusak di loteng. Padahal disini, pecahan kaca lampu petromaks pun orang jual.

Setelah itu, sebelum berpisah, aku ingin mengajaknya makan pentol sebanyak-banyaknya.

Aku tidak perlu malu punya saudara bekas napi. Di televisi, orang penting melambaikan tangannya waktu masuk penjara. Mereka tidak malu, keluarga mereka tidak malu. Jadi mengapa aku harus malu. Artis menjadi bintang tamu talk show sekeluar penjara. Homo pembunuh langsung jadi selebritis begitu masuk penjara. Jadi, mengapa harus malu karena Sutas barusan keluar penjara? Penjara bukanlah aib lagi.

Tiba-tiba ingat, aku masih bisa menghubunginya. Kusambar ponsel dekat sofa. Sebelum lipatannya terbuka, kusadari SMS-nya tadi tercatat sebagai SMS tanpa nomor. Tiba-tiba aku benci operator selular yang membuat orang bisa mengirimkan pesan tanpa kelihatan nomornya. Sudah terlambat, tidak mungkin menyusul ke Jogja. Ia sudah pergi saat aku sampai di sana. Percuma bertanya pada bagian informasi stasiun. Karcis yang ia beli tadi hanyalah secarik karton sebesar uang logam.

***

y-control's picture

darn

sialan AP! rasanya makin iri kalo baca tulisanmu yg makin lama makin bagus :P

kecuali ceritanya yg seperti terlalu pendek, saya suka sekali yang ini.. terutama karena tempat-tempatnya sangat familiar hehe..

 

Don't Swallow the Press

anakpatirsa's picture

Tempat yang kita kenal

Aku anggap ini sebuah pujian, terima kasih.

Tentang cerita yang terlalu pendek. Aku sedang mempraktekkan sebuah teknik, katanya cerpen yang baik, benar-benar pendek, termasuk jangka waktu terjadinya.

Tentang tempat-tempat yang familiar, aku juga teringat sebuah teori. Kata orang, tulislah cerita dengan setting tempat yang kita kenal.

Ngomong-ngomong tentang tempat yang kita kenal. Jadi ingat saat kita makan di hik antara Gramedia dengan toko buku Mawar Sharon. Waktu kesana, ibunya kembali mengirim salam. Dan bertanya, "Mana teman-temanmu?"

greeny's picture

ajarin dunnn

bagus bener tulisannya, buktinya saya tertarik untuk baca:)

ajarin dung gmn caranya

itu pengalaman nyata, atau rekaan?

anakpatirsa's picture

Fakta yang dibumbui

Terima kasih greeny,

Apakah ini pengalaman nyata atau rekaan? Bila kategori blogku adalah "cerpen", maka itu cerita rekaan.

Suatu hari aku ke Stasiun Solobalapan, menjemput seorang sepupu yang kuliah di Jogja. Aku tidak menulis tentang sepupu ini, tetapi teringat adiknya yang sampai sekarang tidak kuketahui rimbanya. Si Sutas (Bukan nama sebenarnya) ini masuk hutan dan mencari sarang walet. Cerita pentol, es krim itu benar-benar terjadi. Ia selalu membelikan kami pentol dan es krim sehabis panen sarang walet.

Cerita pembunuhan itu tidak benar-benar terjadi, tetapi adik Sutas pernah berurusan dengan polisi, ikut mengeroyok dan menusuk orang (walaupun tidak sampai mati). Sutas juga berurusan dengan polisi, tetapi karena kasus lain, lebih merupakan masalah keluarga. Sampai sekarang kami tidak pernah tahu keberadaannya. Ibu pernah bilang, mungkin Sutas benar-benar sudah mati. Kami tidak pernah membicarakannya dengan keluarga Tante. Mereka tidak pernah mau membicarakannya.

Itulah latar belakang cerita ini. Ini hanya sebuah cerita. Seperti kata minmerry, menggabungkan fakta dan fiksi itu menyenangkan.