Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Siapakah Manusia?

Diananov's picture

 

 

What is man that You take thought of him,

And the son of man that You care for him?

-Psalm 8:4-

 

Hidup di tengah-tengah roda kesibukan dan kebisingan kota Jakarta, sungguh dapat membuat seseorang menjadi stress dan hilang arah tujuan. Setiap dari kita berlomba-lomba mengisi kekosongan hati dengan mengejar pengakuan dan status, sehingga tanpa sadar kita menjadi budak dari waktu dan uang. Di kesendirian kita, hati kita memberontak dan terlintas di benak kita, “God, am I really made for this?”

Pada kenyataannya, fenomena seperti ini terjadi di seluruh kota-kota besar di dunia. Apa yang terjadi seakan mengatakan semakin maju peradaban manusia, semakin jauh pula pengertian manusia akan identitasnya. Lebih jauh lagi, kita temukan semakin maraknya kasus krisis identitas seksual, laki-laki berjiwa perempuan, dan sebaliknya. Tidak bisa dipungkiri, kita bertanya, “God, who am I really?”

Bagaimana mungkin manusia yang tidak mengerti identitas dan tujuannya dapat berfungsi dengan baik? Terlebih dengan besarnya pengaruh dosa, jangan heran apabila semakin lama semakin banyak terlihat kemerosotan dan pelencengan moral dan budaya manusia. Kita pun melihat kenyataan pahit bahwa hampir tidak ada perbedaan antara orang Kristen dengan yang bukan, sama-sama terhilang. Untuk mampu menjawab jeritan hati ini, kita harus melihat bagaimana Tuhan melihat kita dengan kembali kepada Alkitab sebagai kebenaran Firman Tuhan. Seperti yang dikatakan John Calvin, no man can survey himself without forthwith turning his thoughts toward the God in whom he lives and moves. [1]

Ketika kita memulai mencoba memahami apa yang dikatakan Alkitab mengenai cara Tuhan melihat kita, maka kita tidak dapat terlepas dari apa yang difirmankan pada saat kejadian penciptaan manusia.  

Kejadian 1:26-27: Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

 

Di dalam ayat ini terbagi menjadi dua pernyataan besar yang dapat kita pelajari lebih dalam. Pertama, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya yang diberikan  kuasa atas seluruh ciptaan-Nya. Kedua, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan.

Yang sangat menarik adalah saat menciptakan manusia, secara khusus Allah dengan sengaja memperkenalkan diri-Nya dengan kata Kita[2], bukan Aku. Penggunaan subyek pertama jamak yang menyatakan bahwa Allah tidak sendiri, melainkan berada di dalam persekutuan. Berbeda dengan proses penciptaan sebelumnya, kali ini Allah memulai dengan menyatakan keputusan-Nya, “Baiklah Kita…”.  Dua hal yang menunjukkan signifikansi manusia yang merupakan puncak dari proses penciptaan di mana ia dicipta bersatu di dalam persekutuan Allah. [3]

Banyak sekali penjelasan secara teologis mengenai penggunaan istilah “gambar dan rupa Allah”. Apabila dilihat dari konteks sejarah zaman Timur Dekat Kuno saat Musa menuliskan kitab ini, adalah umum bagi raja zaman kuno seperti Firaun untuk menganggap dirinya sebagai perwakilan (gambar) dewa yang mendapat kekuatan khusus dan hak istimewa untuk memerintah dunia. D. J. A Clines memaparkan ada tiga esensi yang digunakan Musa untuk memperbaiki pemahaman konteks kata “Gambar Allah” yang sebelumnya hanya dipakai untuk seorang Raja, yaitu 1) setiap manusia diberikan kemampuan untuk menjadi (to be) dan menjalankan (to do) kehendak Tuhan, 2) Setiap manusia merupakan perwakilan Allah di dunia, 3) Setiap manusia diberikan kuasa atas seluruh alam semesta [4].

Tujuan manusia sudah ditentukan Allah sejak awal. Manusia tidak diciptakan sebagai pengisi alam semesta sama seperti ciptaan-Nya yang lain, tetapi sebagai penguasa atas segala ciptaan di seluruh bumi, sebagaimana seorang maharaja yang menunjuk pelaksana-pelaksana dalam daerah kekuasaannya dan mendirikan patung dirinya, sehingga rakyatnya mengetahui siapa yang memerintah mereka.[5]

Perihal mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan sampai sekarang masih banyak mengundang perdebatan. Hakikatnya, manusia tidak dapat membantah akan kenyataan adanya dua gender yang diciptakan. Akan tetapi melihat banyaknya agama dan budaya dunia yang meninggikan laki-laki dan merendahkan perempuan, maka pertanyaan kesetaraan laki-laki dan perempuan sewajarnya muncul ke permukaan. Dengan bergeraknya dari zaman modern ke post-modern, pertanyaan pun bergeser dari kesetaraan menjadi penyamaan esensi dari kedua gender. Banyak orang mulai mempertanyakan mengapa laki-laki dan perempuan harus dibedakan? Hal ini mengkhawatirkan karena memicu banyaknya pergerakan seperti Feminism, LGBT movement, pernikahan sesame jenis, dsb.

Di tengah-tengah maraknya kontroversi perdebatan gender, pernah tidak kita berpikir bahwa dengan kemahakuasaan-Nya, Allah dapat menciptakan satu jenis manusia, hanya laki-laki, hanya perempuan, atau androgyny? Tetapi Allah tidak melakukan itu. Dan mengapa Allah memilih untuk diwakilkan manusia melalui dua gender, laki-laki dan perempuan? Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Allah memiliki tujuan yang berbeda dan spesifik untuk masing-masing gender.  Lalu sebenarnya apa yang dikatakan oleh Alkitab?

Secara umum, ajaran Akitab adalah laki-laki dan perempuan diciptakan setara namun berbeda. Peran laki-laki adalah sebagai pemimpin, dan perempuan sebagai penolong. Akan tetapi dengan banyaknya pergerakan persamaan hak, banyak bahkan orang Kristen pun yang terjebak di dalam kebingungan akan pemahaman apa itu diciptakan setara tetapi berbeda.

Kita dapat melihat cara Musa menyampaikan pesan bahwa Allah memberikan peran sebagai pemimpinan kepada Adam melalui tiga ayat pendukung, seperti di dalam Kejadian 1:27: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Nuansa yang sama diulang lagi pada Kejadian 5:2: “laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama “Manusia” kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan.” Dan yang sangat menunjukkan besarnya tanggung-jawab yang Allah berikan kepada Adam terdapat di dalam Kejadian 3:9: “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: Di manakah engkau?”

Di dalam ketiga ayat tersebut, saya menekankan kata Manusia dan laki-laki. Di dalam terjemahan bahasa Indonesia, kata manusia terbaca jauh berbeda dari kata laki-laki maupun perempuan. Namun di dalam bahasa aslinya, kata Manusia maupun laki-laki menggunakan kata Ibrani yang sama, yaitu Adam[6]. Mengapa hal penggunaan kata ini menjadi penting?

Beberapa poin penting yang dapat ditarik adalah, yaitu Tuhan menggunakan nama yang sama untuk memanggil manusia dan Adam, dan dengan ini menjadikan Adam sebagai representatif keseluruhan umat manusia. Fakta bahwa Adam diciptakan terlebih dahulu yang menunjukkan hierarki antara laki-laki dan perempuan. Dan sebagaimana Tuhan menjadikan Adam sebagai pemimpin, Tuhan juga menuntut pertanggung jawaban dari Adam tidak hanya atas apa yang dikerjakannya pribadi tetapi juga atas tindakan Hawa, perempuan yang sudah dipercayakan Tuhan kepadanya.[7]

Lalu bagaimana dengan padangan Alkitab terhadap Hawa? Siapakah dia? Kejadian 2:23: “…Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki.” Kegiatan memberi nama di dalam kitab Kejadian memiliki signifikansi yang besar. Pekerjaan pertama yang Allah berikan kepada Adam sebagai penguasa alam semesta adalah dengan memberikan nama terhadap segala binatang dan tumbuhan. Hal ini menunjukkan posisi Adam dalam relasinya terhadap seluruh ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dengan Adam memberikan nama kepada Hawa, hal ini menunjukkan bahwa Adam berkuasa dan bertanggung jawab atas Hawa.[8] Namun apakah ini berarti Hawa setara dengan ciptaan yang lain?

Di sinilah Alkitab menjelaskan dengan indah. Apabila sebelum-sebelumnya, Tuhan Allah selalu mencipta dari debu dan tanah, maka tidak demikian dengan penciptaan Hawa. Tuhan Allah membangun Hawa dengan mengambil rusuk dari Adam. Hawa secara gamblang menjadi perpanjangan dari diri Adam, bukan di bawah Adam setara dengan binatang atau tumbuhan. Hal ini bahkan tercermin di dalam pengakuan Adam ketika pertama kali menerima Hawa (ay. 23) dan pemberian namanya yang di dalam bahasa aslinya adalah is-sah berasal dari nama laki-laki is. Apabila Hawa setara dengan Adam, apakah dapat disimpulkan Hawa juga memiliki peran yang sama?

Seperti halnya Tuhan Allah sudah memiliki ketetapan tujuan penciptaan manusia secara umum, Tuhan Allah juga sudah menentukan peran Hawa pada saat ia diciptakan. Di dalam Kejadian 2:18: “Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Bahasa Ibrani untuk kata penolong adalah Ezer, yang sering digunakan untuk menjelaskan atribut Tuhan sebagai penolong bangsa Israel, seperti yang dapat ditemukan di ayat-ayat Mazmur 33:20, 115:9, dsb. Meskipun pertolongan yang diberikan Hawa tidak akan dapat setara dengan pertolongan Tuhan Allah, akan tetapi hal ini menunjukkan signifikan dari peran penolong.

Mungkin banyak dari perempuan modern yang akan mengernyitkan dahi tanda tidak setuju akan peran penolong ini. Namun perlu kita mengerti bahwa peran penolong tidak menunjukkan posisinya terhadap orang yang ditlongnya, baik lebih tinggi atau lebih rendah. Ilustrasi yang sangat baik diberikan Wayne Grudem, beliau menggambarkan luasnya bentuk pertolongan seperti guru menolong murid yang kesulitan mengerjakan tugas, atau seperti tetangga yang membantu mengangkat sofa, bahkan seperti seorang anak yang membantu orangtuanya membereskan rumah. Dilihat dari ketiga contoh tersebut, penolong digambarkan memiliki kemampuan yang relatif terhadap orang yang ditolongnya. Namun persamaannya adalah bahwa penolong membantu supaya orang yang ditolongnya dapat bekerja lebih baik dan penolong tidak mengambil peran sebagai pemimpin dan tanggungjawabnya. [9]

Setelah mentelaah poin-poin di atas, maka pemahaman apakah yang dapat kita ambil? Bavinck menggunakan istilah mikrotheos[10] yang dapat diartikan sebagai Tuhan kecil. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, yang ditunjuk untuk menjadi perwakilan-Nya di dunia, menyerahkan dirinya dan menjadi pantulan dari Tuhan Allah, dan bertanggung jawab dalam menjaga alam ciptaan. Dan di dalam penugasan mulia ini, Tuhan Allah memilih untuk diwakilkan melalui relasi laki-laki dan perempuan, di mana mereka diberikan peran dan tanggung jawab yang berbeda.

Sehingga setelah kita sedikit lebih memahami bagaimana Tuhan Allah memandang kita, apakah kita masih mau dihadang terus oleh kegelisahan akan pencarian arti dan tujuan hidup kita? Atau apakah kita mulai dapat menghargai diri kita sebagaimana Tuhan menghargai kita? Akankah kita akan memaknai hidup kita sebagaimana Tuhan memaknai hidup yang diberikannya untuk kita? Masihkah kita akan melontarkan ketidakpuasan akan gender kita? Masihkah kita akan melepaskan peran yang sudah diberikan dan lari dari tanggung jawab?

Baiklah pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perenungan masing-masing dari kita di dalam memaknai hidup.

 



[1] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, (Michigan : Eerdmans, 1989), 1.1.1, 37.

[2] Banyak teori mengenai perujukan arti kata Kita pada pribadi Allah. Salah satu teori berdasarkan Sarna (1989:12) kata kita evokes the image of a heavenly court in which God is surrounded by his angels. Penulis mengambil teori bahwa kata Kita merujuk pada persekutuan Allah Tritunggal.

[3] W.S. Lasor, D.A. Hubbard, dan F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1 : Taurat & Sejarah, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993, 122. dan Jiri Moskala, “The Trinity in the Old Testament,” Andrews University Faculty Publications, 1-1-2013

[4] Clines, “Image of God in Man.” Dikutip dalam Wayne Grudem, Biblical Foundations for Manhood and Womanhood, (Illinois : Crossway Books, 2002), 78-79. 

[5] Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 123.

[6] Terdapat juga pendapat bahwa dalam bahasa Ibrani kata Adam hanya menunjuk pada Manusia, tidak untuk laki-laki. Hal ini disimpulkan atas dasar tata bahasa Ibrani yang akan memakai istilah ben-adam atau isy untuk menunjukkan laki-laki (Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, catatan kaki 6, 116).

[7] Grudem, Biblical Foundations for Manhood and Womanhood, 25-31.

[8] Grudem, Biblical Foundations for Manhood and Womanhood, 27-28. 

[9] Grudem, Biblical Foundations for Manhood and Womanhood, 31-32. 

[10] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics: Vol 2 God and Creation, (Michigan: Baker Academic, 2004), 562.