Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SI BODE

anakpatirsa's picture

"Masuk!" kata penjaga bermuka kemayu itu setelah membukakan pintu sel buat pria yang masih menyisakan tanda-tanda kemakmuran. Wajah boleh kemayu, jalan boleh gaya bencong, tetapi suara harus galak -- Itu baru namanya petugas.

Rodi mengenal pria ini. Jas dan dasinya sering muncul di televisi.

“Aha...  Aku akan punya cerita untuk orang sekampung kalau keluar nanti,” kata Rodi dalam hati, “sekamar dengan pejabat tinggi negara.”

Kamar? Ia sendiri yakin namanya bukan kamar. Kalau kamar, bila pintunya tertutup, orang lain tidak bisa melihat apapun yang ada di dalam.  Disini, orang bisa melihat apa yang ia lakukan walaupun pintu sudah tertutup. Tidak ada privasi, hanya kotak berukuran setengah kamar mandinya Pamela Anderson, dengan empat dipan menempel langsung pada dinding. Jauh berbeda dengan kamar tidur rumahnya yang beranjang besi berkasur kapuk. Berharap ranjang itu sekarang tidak berisi apapun kecuali istrinya.

“Janganlah istriku mengundang orang lain tidur di  bagian ranjang yang selalu aku tiduri,” kata batinnya. Wanita itu ikut menikmati uangnya. Istri yang setia, tidak menuntut cerai setelah suaminya masuk penjara. Hanya sedikit memberi kesaksian memberatkan, tetapi seperti katanya, “Aku tidak punya pilihan, Pah.”

“Akhirnya di sini aku bisa bertemu orang yang menghacurkan negeri ini. Orang kecil mengambil uang sedikit, mereka ini kelas kakap. Merekalah penghancur ekonomi negara. Aku hanya menjual susu gratis, orang  ini mengambil ratusan milyar. Kami hanya mengambil makanan yang tersangkut di sela-sela gigi negara, mereka ini mengambil langsung dari kulkasnya,” batin Rodi sambil memandangi pintu yang tertutup kembali.

***

Si  Bode duduk di dipan bawah yang kosong. Penjara yang ia bayangkan sebelumnya adalah penjara seperti di film-film perang, ruangan berjeruji berbentuk sangkar burung. Ternyata hanya mendapat ruangan yang catnya sudah mengelupas, berdinding beton dengan lubang ventilasi berjeruji. Ia tidak berniat menggergaji jeruji itu, seratus tahunpun tidak akan terpotong dengan menggunakan tusuk sate.

Tidak ada televisi apalagi AC, ia sudah tahu itu.  Dirinya tidak akan mendapatkan fasilitas apa-apa. Tidak bisa membayar penjaga untuk mendapat fasilitas lebih. Bukan karena mereka idealis -- Bukan!  Mata bangsa ini sedang menonton, jutaan pasang mata berbinar-binar menyaksikan keadilan ditegakkan. Orang-orang di luar sana tidak membiarkan dirinya mendapat kenyamanan, penangkapannya menaikkan rating popularitas. Itulah gunanya sebuah lembaga survei pemilu. Penangkapannya merupakan bukti hidup sebuah janji, lalu sebuah survei akan memberi tahu tingkat kepuasan responden.

Saat isu-isu anti korupsi beredar, saat nama beberapa pejabat muncul di koran dan televisi, ia tahu mereka akan bernyanyi seriosa. Namanya pasti ikut terseret.  Bisa mencium bahaya itu,  tetapi tidak bisa berkelit. Namanya pasti sudah masuk daftar cekal tidak resmi. Hanya menunggu waktu saja sampai namanya muncul di halaman utama semua koran berita dan gosip. Awalnya memang sebagai saksi, kemudian meningkat menjadi terdakwa. Tidak akan ada kesempatan melarikan diri ke luar negeri, ini bukan zamannya Edy Tanzil lagi.

Tetapi ia bisa melakukan satu hal, bersiap-siap masuk bui. Mencari informasi tentang kehidupan dalam penjara.

Dari hasil risetnya, penjara punya level penghuninya. Ada uang hidup enak, tidak ada uang hidup mengucek pakaian kotor. Sudah membaca beritanya, napi tanpa uang atau keluarga yang membayar petugas, harus mencuci atau atau memasak. Ada yang mengerjakan pekerjaan kecil demi sebungkus rokok; ada yang melakukannya demi tabungan sekeluar penjara; tetapi ada yang melakukannya karena memang harus, tidak mampu menyogok petugas untuk tidak mengerjakannya. Golongan napi pekerja ini disebut korve, jargon penjara yang sebenarnya berarti kerja wajib tanpa upah di luar jam kerja penjara. Mereka ini harus tinggal di blok yang satu kamarnya berisi sepuluh atau tiga puluh orang berdesak-desakan seperti sarden.

Napi yang punya sedikit uang, bisa menikmati sedikit hidup enak. Ada blok yang kamarnya hanya bisa muat empat orang. Hanya perlu sekali bayar, tetapi bisa menempati kamarnya hingga bebas. 

Fasilitas penjara yang ia incar adalah blok yang tarifnya berjuta-juta. Ada televisi, DVD Player dan kulkas, serta sebuah springbed.  Sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan berniat menelpon pihak penjara, supaya saat masuk nanti semuanya sudah siap. Segera mengurungkan niat ini mengingat kemungkinan ada pihak yang menyadap telpon.  Ia juga sudah membicarakan masalah ini dengan keluarga, istrinya tidak akan mengajukan tuntutan cerai sambil berpura-pura kaget.

Bersyukur karena media yang berkoar-koar, memberinya waktu berpikir. Bersyukur juga karena orang-orang yang mau menangkapnya sudah berkoar-koar, memberinya waktu membuat persiapan bersama istri. Dari apa yang ia dengar, sekali atau dua kali sebulan, istri bisa menjenguk khusus memenuhi kebutuhan bersama.

Si Bode kecele.

Ia tidak mendapatkannya. Pejabat tinggi yang masuk penjara menjadi pusat perhatian. Para penangkapnya tidak mau masyarakat melihat dirinya hidup nyaman. Orang miskin tidak suka melihat koruptor kelas kakap hidup enak di penjara. Mereka ingin makan ikan asin bersama menteri yang makan nasi campur garam. Uangnya sekarang tidak berguna. Ia harus menikmati layanan penjara kelas ekonomi supaya dunia tahu pemberantasan korupsi negeri ini tidak main-main.

Si Bode harus tinggal bersama maling ayam dan maling kambing.

Tiga bulan pertama ia nikmati bersama penjahat miskin kelas teri. Tidak ada perbedaan perlakukan. Si Bode bukan lagi Pak Menteri. Ia hanya satu dari sekian pejabat tinggi yang menghancurkan negeri ini. Dosanya lebih banyak dari dosa pemerkosa anak kandung atau pembunuh selingkuhan istri.

Sekarang keadaan lebih membaik, ada orang penting barusan masuk penjara. Mata negeri sedikit berpaling sehingga ia boleh mendapat sedikit kelegaan. Bukan kamar kelas atas, hanya kamar berdipan empat. Beberapa petugas berbaik hati setelah perhatian publik mulai teralih. Memberanikan diri menerima sedikit uangnya. Uang yang cukup untuk membayar kamar kelas atas, tetapi demi memperkecil resiko, mereka hanya bisa memberi kamar kelas tiga dengan bayaran kelas satu.

“Bapak akan tinggal bersama satu orang lagi,” kata petugas yang dulu menolak uangnya.  Sudah lama tidak mendengar kata “Bapak”, padahal dulu hanya dua kata yang mengisi jam-jam kantornya, “Ya” dengan anggukan cepat dan “Pak” dengan nada orok memanggil ayahnya.

***

Si Bode memandang pria kecil yang duduk di depannya. Memandangnya tajam, siapa tahu wibawa itu masih melekat. Saat duduk di belakang meja yang terapit dua bendera, tidak ada yang berani membalas tatatan ini. Di blok satu, maling kabel telepon membalas tatapannya sambil mengedipkan mata setengah mengejek. Di blok ini, seorang pria kecil membalas tatapannya dengan penuh kebencian.

“Saya juga membenci kamu,” Si Bode berkata dengan matanya. Penjaga tadi bercerita, teman sekamarnya hanyalah seorang koruptor kelas teri. Kata “hanyalah” ini yang makin menyalakan api kebencian itu.

Menurut Si Bode, bukan golongannya yang menghancurkan negeri ini. Orang-orang kampungan inilah yang menghacurkan keuangan negara.

Negeri yang tidak bisa matematika.

"Aku tidak sudi menyapa duluan," kata Rodi dengan tatapannya juga.  Pria itu jauh lebih kurus dari apa yang ia lihat di televisi -- Menonton televisi bersama merupakan bonus yang selalu ditunggu oleh napi.

"Kamu menyembah jika saja tahun lalu saya berkunjung ke kampungmu. Kalau ada kotoran ayam di atas karpet merah yang sudah kusam itu, pasti kamu jilat supaya tidak kelihatan. Kamu ini seperti semua penjilat, mengisi dinding ruang tamu dengan foto sedang menyalami menteri. Tangan kanan terjulur dengan kepala menunduk serta tangan kiri di dada.”

Tetapi keduanya sama-sama berdiam diri. Hanya mengungkapkan apa yang ada di hati dengan mata, bagian tubuh yang memang tidak pernah berbohong.

“Aku memang pendatang baru sel ini, tetapi tidak sudi berbicara duluan.” Kata batin Si Bode.

“Najis berbicara dengan koruptor,” Rodi juga hanya berkata dalam hati.

Keduanya berbaring tanpa kata-kata. Rodi memandang dipan kosong di atas sambil menyangga kepala dengan tangan. Membatin, “Aku sekamar dengannya sampai keluar dari  tempat ini. Dasar koruptor, di penjarapun masih main suap.”

“Dasar pegawai rendahan. Licik seperti ular, pasti menyuap penjaga di hari pertamanya masuk penjara.” kata Si Bode sambil memandang pria itu dengan sudut matanya. Sibuk dengan pikirannya sendiri, melakukan perhitungan di luar kepala.

Dunia memang tidak adil. Negara ini tidak adil, negara kacau. Korupsi terjadi di tingkat RT, kecil-kecilan tetapi hampir semua melakukannya. Jika semua hasil korupsi itu diambil sebagai barang bukti, tidak terhitung jumlah gudang yang dipakai untuk menyimpannya. Pegawai paling rendahpun tidak tahan melihat uang lima ribu rupiah, menukarnya dengan empat ribu. Tetapi manusia memang senang melihat hal yang besar-besar, sehingga orang-orang tertentu mendapatkan keuntungan.

Ini membuatnya marah, tambah marah lagi karena harus menghabiskan malam bersama satu dari masyarakat terbawah yang melakukan korupsi. Dalam piramida makanan, ia menghabiskan sebagian hidupnya bersama anggota piramida bawah, rantai makanan yang paling banyak anggotanya. Ia harus menghabiskan hari-harinya sekamar dengan ketua RT yang menjual susu gratis. “Susu yang seharusnya bisa mencegah penyakit the lost generation, tetapi orang tolol ini menjualnya. Membuat bayi-bayi miskin kembali minum air tajin. Koruptor seperti inilah yang seharusnya dibunuh masal, seperti jaman PKI dulu. Merekalah bahaya laten itu, bahaya bagi kelangsungan hidup negeri,” kata Si Bode dalam  hati dengan sedikit berfilsafat.

“Tetapi orang hanya bangga memberantas korupsi kelas atas. Kelas bernama kakap memang selalu punya nilai tambah, menjadi alat kampanya yang baik. Orang-orang berteriak, ‘Berantas korupsi! Penjarakan koruptor kelas kakap!’ masyarakat yang tidak tahu matematika senang memilih orang-orang tegas seperti ini. Orang tegas yang tidak bisa matematika.” Si Bode hanya bisa mendesah.

Rodi punya pikiran sendiri.

Ia sudah membayangkan apa yang akan ia banggakan saat keluar penjara. Dirinya bukan maling ayam. Tidak perlu pindah kampung setelah keluar. Buktinya seorang calon anggota dewan bisa menuntut KPU karena mencoret namanya sebagai caleg dengan alasan pernah dituntut penjara. Padahal tuntutan hakim kurang dari lima tahun, karena kasus korupsi. Artinya ia, Rodi, tidak perlu malu dipenjara karena korupsi. Sudah tidak sabar untuk keluar, menceritakan pengalamannya di penjara. Bercerita kalau pejabat tinggi yang masuk penjara tidaklah menderita. Mereka masih main sogok, membayar penjaga supaya hidup enak. Tidak percaya? Ia, Rodi adalah saksinya. Ia, Rodi, melihat dengan mata kepala sendiri seorang pejabat berbaring di tikar berkasur, sementara napi miskin berdesak-desakkan seperti orang Yahudi di kamp konsentrasi Nazi.

***

Seorang penjaga melewati  lorong blok itu, memandang tanpa sepatah katapun ke dalam selnya Si Bode.

“Dasar perusak bangsa,” kata hatinya sambil memukul tongkat ke jeruji, menunjukkan siapa yang sedang berkuasa. Senang ide kepala penjara yang menggabungkan koruptor di satu sel. “Kalianlah perusak negeri ini. Inilah istana kalian sebelum masuk neraka.”

Penjaga tidak tahu  dua orang di dalam sel punya pikiran yang sama.

“Penjaga yang tidak layak. Manusia kotor yang mau menerima suap dari koruptor,” kata Rodi dalam hati sambil memandang ke arah pintu.

Si Bode punya pikiran yang hampir sama, “Kamu bertingkah seperti semua manusia birokrasi negeri ini. Robot tolol yang duduk di belakang meja. Selalu minta uang untuk memperlancar urusan. Orang birokrasi seperti kamu ini waktu sekolahnya pasti tidak suka pelajaran matematika. Manusia-manusia tolol yang mendapat sepuluh besar setiap kali penataran P-4”

Dan kehidupan penjara itupun terus berlanjut.